“Ampun, tuan, Jendral… Hamba bukan bajak laut. Hamba bukan hendak merampok. Tapi justru hamba menolong… Karena prahu yang ditumpangi tuan putri ini terbalik digulung angin kencang, Tuan Jendral…”.
Beruntung Hasan dan Sorah, nara praja kerajaan Turki yang memang ditugasi Pangeran Yusuf, putra sultan dari istri selir, untuk memata-matai Jendral Mohamad, datang.
“Mohon maaf. Permisi, Tuan Jendral Mohamad. Jangan emosi. Ada apa ini?”.
Jendral Mohamadpun terkejut bercampur marah dengan kehadiran dua narapraja ini.
“Janganturut campur, kau saudara Hasan dan saudara Sorah. Aku di sini ditugasi untuk mengawal adik sultan, Tuan putri Rokhana. Jadi aku berkewajiban atas keselamatan beliau”.
“Tapi jangan sepihak mengadili seseorang atas tuduhan suatu kesalahan. Karena hanya penguasa Turkilah yang berhak mengadili tindak durjana di Turki. Jadi, Tuan Jendral. Mari kita hadapkan saja orang ini ke hadirat Sultan Abdul Aziz, Tuan”.
Akhirnya, Siti Rokhana yang masih pingsan ditandu dibawa ke istana. Dan, Sadi diborgol dibawa oleh prajurit ke istana pula untuk diadili.
(BERSAMBUNG).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H