OLEH: Khoeri Abdul Muid
Politik bukanlah ilmu eksakta yang serba pasti dan rasional. Politik, kata sebuah adagium, memang lebih sebagai sebuah seni (art) dari pada ilmu, yakni seni memainkan kemungkinan (the art of the possible). Banyak skenario politik yang mungkin saja terjadi dalam Pilpres 9 Juli 2014 nanti. Salah satu skenario yang mungkin saja terjadi adalah terjadinya hanya satu pasang capres cawapres.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Indonesia Margarito (deticom, 10/4) membenarkan bahwa dalam politik skenario apapun mungkin saja terjadi, termasuk pilpres diikuti satu pasang capres meskipun kecil kemungkinannya.
SKENARIO CALON TUNGGAL DAN PROBLEMATIKANYA
Rasional skenario itu berangkat dari 2 asumsi, pertama, bahwa hasil final pileg 9 April lalu itu tidak jauh berbeda dengan hitung cepat (quick count) oleh banyak lembaga survey yang menunjukkan PDIP sebagai di posisi pertama dengan raihan 18,90 persen suara. Disusul Golkar 14,30 persen dan Partai Gerindra 11,80 persen. (Mengingat hasil hitung cepat itu antara lembaga survey yang satu dengan yang lainnya relatif hampir sama). Kedua, jika angka elektabilitas Jokowi tidak menunjukkan trend menurun dan benar-benar menjadi magnet kuat bagi partai-partai lain.
Bahwa simpulan hasil pileg tersebut membuat ketiga parpol itu sama-sama memiliki peluang mengusung capres dengan hanya menggandeng masing-masing 1 parpol koalisi. Sebagaimana diketahui, pasangan capres hanya bisa diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional dalam pileg.Dan, sebagaimana diketahui pula sementara ini ketiga parpol itu telah memiliki capres masing-masing, Jokowi (PDIP), Aburizal Bakrie alias Ical (Golkar), dan Prabowo Subianto (Gerindra).
Namun demikian tidak tertutup kemungkinan salah satu atau ketiga partai itu justru bergabung dengan satu capres dan cawapres, mengingat dari banyak hasil survey menyimpulkan elektabilitas Jokowi sebagai capres sangat tinggi hingga mencapai 40 persen. (Angka itu jauh di atas elektabilitas Prabowo, dan Ical). Bahkan dalam perkembangan up-date ada kecenderungan kuat bahwa partai-partai papan tengah yang kekuatannya relatif sepadan itupun mulai bergerak melirik kekuatan Jokowi.
Sahdan. Jika diasumsikan banyak partai berbondong-bondong merapat ke Jokowi maka bukan tidak mungkin di Pilpres 2014 nanti hanya diikuti oleh satu capres cawapres. Karena magnet Jokowi yang begitu besar sementara jika Gerindra tidak mau merapat ke kubu PDIP juga maka bisa jadi Prabowo menjadi sendirian tanpa koalisi dan tak punya 'boarding pass' ke Pilpres, sementara elektabilitas Ical juga masih sangat memprihatinkan dan Golkar akan kesulitan mendapat mitra koalisi. Pertanyaannya adalah apa yang akan terjadi jika Pilpres hanya diikuti 1 pasang capres?
Dalam menjawab hal ini Margareto Pakar HTN UI mengatakan, "Oke katakanlah itu bisa terjadi. Kalau itu terjadi, ya tidak ada pemilu. Pilpres harus berhenti. Pemilu stag. Ini bisa bahaya buat negara. Karena hal tersebut tidak diatur dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Keharusan pemilu diikuti dua pasang capres itu sudah bunyi Undang-Undang Dasar. Jadi tidak ada solusinya. Tidak bisa dengan perpu atau lainnya, tidak ada solusi lain kecuali parpol-parpol harus dewasa dalam menentukan pilihan agar tetap ada capres yang dimajukan di luar kandidat capres terkuat " (detikcom11/4/2014).
Semantara itu Ketua KPU Husni Kamil Manik (detikcom,10/4) menilai, “Meski salah satu skenario pencapresan bisa mengarah pada satu capres, namun pemilu presiden tidak memungkinkan hal tersebut. KPU mengacu pada ketentuan Undang-undang, menyebut minimal harus ada 2 orang capres. Pasal 24 ayat 2 UU 42 tahun 2008 tentang Pilpres, dalam hal salahsatu pasangan calon berhalangan tetap saat mulai kampanye sampai pemungutan suara sehingga kurang dari 2 pasangan, tahapan pilpres ditunda oleh KPU paling lama 30 hari. Parpol dan gabungan parpol yang pasangannya berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lama 3 hari sejak berhalangan tetap". .
Dan, bila demikian halnya bagaimana jalan keluarnya jika skenario capres cawapres cuma 1 itu benar-benar terjadi? Jika katakanlah UU tidak memungkinkannya apakah benar UUD 1945 juga tidak memungkinkannya, sebagaimana dikatakan Margareto? Dan, juga benarkah skenario capres cawapres cuma 1 akan membahayakan demokrasi sehingga mendorong keharusan dibikinnya satu lagi pasangan capres cawapres badhut?
BUTUH PINTU DARURAT
Demokrasi bukan tujuan, tapi demokrasi merupakan suatu media, suatu bagian dari proses untuk mencapai tujuan negara. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat memang merupakan fenomena baru di negeri ini, yang muncul sebagai ikutan dari formasi NKRI merdeka. Kerajaan-kerajaan pra-Indonesia adalah kerajaan feodal, yang dikuasai oleh raja-raja autokrat. Meskipun demikian nilai-nilai demokrasi hingga taraf tertentu telah berkembang dalam budaya Nusantara dan dipraktikkan setidaknya dalam unit politik kecil, seperti DESA di Jawa, NAGARI di Sumatra Barat, BANJAR di Bali dlsb (Yudi Latif, 2012: 387).
Menurut Hatta, setidaknya adatiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu masyarakat Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antar manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya (Hatta dalam Yudi Latif, 2012: 386).
Menurut analisa Hatta pula, mengapa demokrasi asli Nusantara itu dapat terus bertahan di bawah feodalisme? Adalah karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa. Karena pemilikan bersama atas tanah desa ini, hasyrat tiap-tiap orang untuk memanfaatkan tanah ini harus mendapatkan persetujuan kaumnya.
Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah bersama yang merembet pada urusan-urusan lainnya, termasuk mengenai hal-hal pribadi seperti mendirikan rumah. Dan, adat hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum, yang diputuskan secara MUFAKAT (kata sepakat). Seperti disebut dalam pepatah minangkabau: “Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat) (Hatta dalam Yudi Latif).
Dan, dari perspektif inilah dapat dikatakan bahwa implementasi demokrasi dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dikutip oleh Ketua KPU sebagai melarang calon tunggal capres cawapres sungguh merupakan sebuah konsep demokrasi yang benar-benar tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia karena hanya mengadopsi konsep demokrasi sebagai 50%+1 dan menutup rapat-rapat MUFAKAT.
Menurut saya, sesuai jiwa Pembukaan (Preambule)-nya UUD 1945 tetap memberi peluang absyahnya calon tunggal capres dan cawapres. Secara spesifik UUD 1945 Amandemen Ke-4 Bab III Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 6A mengatakan: Presiden dan Wakil Presiden DIPILIH dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam UU.
Dalam pasal itu tidak ada larangan capres cawapres tunggal. Kata DIPILIH jangan diartikan sebagai pasti harus menyediakan pilihan alternatif. Karena memilih capres cawapres tunggal pun sebenarnya telah memenuhi amanat pasal 6A tersebut, yang DIPILIH itu. Dan, dalam praktik ketatanegaraan di tingkat Desa, calon tunggal juga sudah merupakan preseden syah. Bahkan bisa jadi karena semua unsur tidak lagi ada yang mau menyaingi (baca: justru malah mempersilahkan) calon tunggal tersebut untuk melenggang memenangi Pilpres, maka pada hakikatnya di dalam proses Pilpres calon tunggal itupun telah terjadi praktik MUFAKAT dalam model pilihan.
Sehingga jikapun UU yang sekarang ada, yakni UU 42/2008 tidak mampu mengakomodir realitas kemungkinan capres cawapres tunggal, maka perlu kiranya diadakan perubahan UU ataujika dengan demikian keadaan dianggap darurat maka Presidenpun bisa membuat Perpu sebagai pintu darurat pula. Sehingga Pilpres dengan skenario calon tunggal tersebut tidak akan stag dan membahayakan demokrasi sebagaimana pendapat Profesor Margareto. OK?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H