Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah Sor Pring]. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP (maaf WA doeloe): 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kembalikan UN Ke Pangkuan Guru

14 April 2014   17:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Tiga hari ke depan yang ber-start hari ini, siswa kelas XII SLTA melakoni ritul “menakutkan” yang disebut UN (Ujian Nasional). UN pada dasarnya merupakan peristiwa biasa-biasa saja karena pada dasarnya hanya bagian proses rutin dalam dunia pembelajaran sehari-hari.

Kemudian kini UN seolah menjadi momok atau setidaknya menjadi sesuatu banget (bahkan menjadi/ dijadikan headline berita-berita media massa) karena barangkali pertama, UN dijadwalkan serentak seantero nusantara sehingga meratingnya sebagai peristiwa berskala nasional, bahkan karena menyangkut Sekolah Indonesia di luar negeri jika misalnya ada kasus tertentu mungkin malah-malah bisa jadi sorotan internasional.

Kedua, UN melibatkan banyak pihak, yakni di samping tentu saja jumlah siswa dan guru yang terlibat langsung dalam UN di tiap jenjangnya sangat banyak, UN yang merupakan penilaian pembelajaran itu yang notabene hak mutlak dan kewenangan siswa dan guru kini oleh regulasi dengan dalih "membantu" justru juga melibatkan (diintervensi /diinfiltrasi) oleh fihak luar, seperti dosen, birokrat pendidikan bahkan tenaga pemantau dan keamanan (Polri, Satpam, bahkan tentara).  Sementara guru hanya berperan sebagai panitia pelaksana/pengawas ruang saja.

Ketiga, UN dalam kacamata pendidikan sebenarnya adalah peristiwa pengukuran penguasaan standar kompetensiyang dikuasai siswa yang dilihat dari indikator-indikator tertentu, kemudian dkaitkan dengan kriteria tertentu pula sehingga berfungsi sebagai alat evaluasi pembelajaran. Dan, paling banter difungsikan sebagai pertimbangan kelulusan siswa.

Namun sekarang (bahkan semenjak kelahirannya) UN ditempatkan fungsinya sebagai macam-macam, misalnya pertama, tahun ini sebagai faktor penentu kelulusan SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Kedua, sebagaimana rasional para birokrat pendidikan untuk menyentralisir ujian ini secara nasional yang sebagai media tolok ukur nasional akan kwalitas pendidikan (meski dalam hal ini sebenarnya UN telah dikartu merah oleh MA tetapi tetap saja kini asyik bermain).

Dan, bahkan yang ketiga, ada juga yang berargumen bahwa UN sebagai alat pemersatu bangsa. Padahal, realitasnya banyak negara multikultural yang juga luas dan besar layaknya Indonesia tetapi tidak menyentralisir ujian karena diserahkan keweangan itu kepada sekolah/guru nyatanya negranya juga tidak bubar dan kwalitas pendidikannya justru bagus.

Justru karena ketiga faktor salah urus ujian itulah yang justru menambah berjibunnya problem pendidikan tak terpechkan, misalnya karena mayoritas berbentuk soal pilihan ganda maka UN mendorong kelas-kelas sekolah berubah menjadi kabin drilling, yang notabene tidak menjadikan siswa bisa lebih kreatif.

Tersiar bahwa terkait keterlibatan dosen dalam membuat soal UN karena kepentingan SNMPTN, mereka berusaha menambah tingkatan berfiir yang lebih tinggi dalam butur-butir soal UN yakni tidak sekedar berkutat di sekitar hafalan atau pemahaman tetapi juga lebih berupa soal analisis. Namun karena yang bentuknya tertutup, yakni pilihan ganda maka tentu saja obsesi tersebut bisa jadi merupakan upaya bertepuk sebelah tangan belaka.

Banyak dan panjang sudah upaya-upaya perbaikan UN namun hingga sekarang belum menemukan hasilnya yang memuaskan. Menurut saya, oleh karena hal-hal yang saya sebut di atas perlu kiranya dipikirkan kembali kembalikan saja kewenangan ujian itu kepada si-empunya aslinya, yakni guru. Sebagaimana kewenangan penjatuhan vonis perkara yuridis adalah keweangan dan hak hakim. Jika dikatakan pembuatan soal UN selama ini sudah melibatkan perwakilan guru, kemudian guru yang mana? Perwakilan yang bagaimana? Dan, keperwakilan tersebut dalam praktik justru menimbulkan problem baru yakni sebagai quasi partisispasi guru yang tidak benar-benar partisipasi. Trims***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun