MENGENAL RADEN MAS PANJI SOSROKARTONO
Raden Mas Panji Sosrokartono atau RMP Sosrokartono adalah tokoh pergerakan, intelektual dan humanis yang telah berjasa besar bagi Indonesia. Ia adalah salah satu tokoh penting dalam pembentukan kebangsaan Indonesia, terutama melalui Indische Vereeniging , cikal bakal dari Perhimpunan Indonesia . Dalam bidang intelektual, dia memiliki gagasan dan pemikiran yang secara tidak langsung terdapat nilai-nilai humanistik di dalamnya yang dibungkus dengan nilai-nilai masyarakat Jawa.
Besarnya perhatian Sosrokartono terhadap kemanusiaan tercermin dari seluruh hidupnya yang diberikan untuk perjuangan kemanusiaan, terutama membantu dan melayani orang-orang yang lemah, menderita, dan tertindas. Dia rela hidup miskin dan menderita demi mengabdi pada kemanusiaan, padahal dia adalah sarjana bumiputra lulusan Belanda paling awal dengan pengalaman internasional, yang dengan modal itu dia bisa mudah mendapatkan pekerjaan bagus dan hidup lebih layak jika dia mau. Akan tetapi dia lebih memilih mengabdi pada kemanusiaan walaupun hidupnya sulit.
RMP Sosrokartono yang lahir di Mayong, Jepara, pada 10 April 1877 adalah anak seorang bangsawan. Dia berasal dari keluarga bupati. Ayahnya, RM Adipati Ario Sosroningrat, adalah Bupati Jepara dan kakeknya, RMAA Condronegoro IV, adalah mantan Bupati Demak. Sosrokartono juga merupakan kakak dari Pahlawan Nasional RA Kartini .
Dilahirkan sebagai anak yang cerdas dan berasal dari keluarga bangsawan, ia memiliki keuntungan tersendiri dalam mendapatkan pendidikan. Dia dengan mudah dapat memasuki sekolah-sekolah terbaik saat itu. Setelah menamatkan pendidikannya di Europeesche Lagere School di Jepara, Sosrokartono melanjutkan pendidikannya ke Hogere Burgeschool (HBS) di Semarang. Selanjutnya, dia melanjutkan pendidikannya ke negeri Belanda pada tahun 1898. Mula-mula dia masuk di Jurusan Teknik Sipil, Polytchnische School di Delf. Dia hanya bertahan selama dua tahun di Delf. Merasa tidak cocok, dia pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden. Di dalamnya dia merasa menikmati belajar. Sosrokartono merupakan mahasiswa Indonesia angkatan pertama yang melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda (Wahyudi, 2021: 69-82).
RMP Sosrokartono mulai bersentuhan dengan dunia pergerakan saat menuntut ilmu di Negeri Belanda. Dia termasuk salah satu tokoh penting berdirinya Indische Vereniging (Perhimpunan Hindia) pada tanggal 15 November 1908 bersama teman-temannya seperti Hossen Jajadiningrat, RN Noto Suroto dan beberapa pelajar lain yang sedang belajar di Belanda. Setelah semangat keindonesiaan semakin menguat, nama organisasi ini diubah menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) pada tahun 1922, dan kemudian namanya diganti menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925.
Selama di Belanda, Sosrokartono bergabung dengan majalah Bintang Hindia yang kemudian berubah namanya menjadi Indonesia Merdeka tahun 1923. Tidak lama setelah bergabung, dia diangkat menjadi tim redaksi. Di majalah inilah Sosrokartono menyebarkan semangat nasionalisme melalui tulisan-tulisannya. Saat diundang menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda di Gent, Belgia, Sosrokartono menyampaikan pidato dengan judul " Het Nederlandsch in Indie " (Bahasa Belanda di Hindia), yang isinya dia mencerminkan hak-hak warga bumi putera di Hindia Belanda yang tidak diperhatikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dia menyuarakan tuntutan kepada pemerintah Belanda agar memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat bumiputra, terutama masalah pendidikan (Muhibuddin, 2019: 105 dan 111).
Setelah memperoleh gelar sarjana di Universitas Leiden, Sosrokartono sempat melanjutkan pendidikannya pada program doktor di almamaternya, namun belum selesai. Dia selanjutnya mulai bekerja sebagai penerjemah di Wina, Austria. Saat Perang Dunia II meletus di Eropa, Sosrokartono ikut mendaftar sebagai wartawan perang untuk surat kabar The New York Herald . Untuk memudahkan dia mempunyai akses yang luas dalam meliput pertempuran, Sosrokartono diberi pangkat walikota oleh sekutu. Meskipun hanya bekerja selama satu setengah tahun di The New York Herald , ulasan yang dia tulis tentang perundingan dalam Perang Dunia II juga melambungkan namanya di dunia jurnalistik. Meskipun demikian, dia akhirnya memutuskan berhenti dengan alasan tidak mendapat ketenangan. Selanjutnya dia bekerja sebagai juru bahasa untuk Sekutu dan selanjutnya menjadi penerjemah pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dibentuk tahun 1918 (Wahyudi, 2021: 69-82; Maulana, 2017: 64-68).