Mohon tunggu...
Humaniora

Kedhono Kedhini

8 Februari 2016   20:07 Diperbarui: 8 Februari 2016   20:46 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua berawal dari kedua anak raja yang kabur dari perang untuk menyelamatkan diri. Mereka memasuki hutan dan tinggal disana. Keduanya saling menyayangi sebab mereka memegang amanat untuk selalu menyayangi satu sama lain bagaimanapun keadaannya. Kedhono, saudara tua yang seharusnya menjadi putera mahkota kini hanya hidup berdua bersama adiknya, Kedhini. Dia berusaha mengayominya.

Kedhono dan Kedhini hanya tinggal di sebuah gua kecil di dalam hutan dekat sungai. Bekal yang diberikan ibu mereka telah habis, kini mereka harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sisa harta mereka tinggal 2 ekor kuda saja sekarang, dan jika mereka ingin bertahan hidup maka harus ada salah satu kuda milik mereka yang dikorbankan agar dapat bertahan hidup. Kedhini akhirnya merelakan kudanya untuk disembelih, sekarang tingal kuda milik Kedhono saja yang tersisa. Rencananya kuda tersebut akan dibiarkan hidup supaya digunakan sebagai kendaraan.

Kedhono pamit untuk mencari pekerjaan diluar sana. Ia berjanji kepada Kedhini untuk kembali secepatnya. Kedhini pun menyetujuinya  serta dengan berat hati ia melepas kepergian kakanda tersayangnya itu. Kini ia hidup sebatang kara, mencari kebutuhan hidup tanpa ada bantuan dari kakak ataupun dari kuda piaraannya lagi.

Kedhini sangat merindukan kakandanya, siang malam ia menunggu kedatangannya. Ditunggunya kakandanya itu hingga satu bulan berlalu, dua bulan sampai lima bulan pun berlalu. Namun ia tetap setia menunggu kakandanya, barangkali kakandanya baru pulang dari perantauannya yang sangat jauh. Sembari menunggu, biasanya Kedhini pergi ke tengah hutan untuk mencari bahan makanan agar dapat bertahan hidup, alias mengisi perut. Setidaknya akan ada makanan untuk mengganjal rasa laparnya.

Keadaan Kedhini masih sehat saja, tiada tampak sakit pada dirinya. Meskipun sedih hatinya menunggu kakandanya, adakalanya ia berusaha tegar seperti apa yang telah ibunya ajarkan dahulu. Ia menikmati kehidupannya kini. Hingga dua tahun dan tiga tahun pun telah berlalu, Kedhini masih tetap sendiri dan masih selalu dalam penantian untuk kepulangan kakaknya.

Pada suatu hari, ada sebuah merpati hinggap dibahunya. Paruh merpati itu memukul-mukul pada lehernya. Sepertinya ada pesan yang hendak disampaika. Kedhini meraihnya lalu dibelainya merpati cantik itu. Ia memberinya makan lalu membiarkan burung tersebut terbang lagi. Ia tidak tahu kalau ternyata ada pesan yang dibawa si merpati lewat sikap burung tersebut terhadapnya. Kedhini  benar-benar tidak menghiraukannya, ia asyik bermain rumput dan belalang. Ia menangkap banyak belalang. Kedhini memasang banyak rerumputan hijau di dalam bajunya, tepatnya di depan perut kurusnya. Setiap satu belalang yang ia dapat, dimasukkannya ke dalam rerumputan di dalam bajunya.

“Untuk rumah mereka sementara,” katanya.

Tidak berapa lama kemudian isi di dalam bajunya sudah penuh sehingga terlihatlah ia seperti orang yang hamil dan hendak segera melahirkan. Dipegangnya baju bagian bawah agar belalang tersebut tidak melarikan diri untuk terbang lagi. Sesampainya di gua, ia menyalakan api dan menumpanginya dengan periuk tanah liat yang berisikan air. Kedhini hendak memasak sayuran yang diperolehnya tadi siang, sedangkan si belalang-belalang tersebut akan disangrai untuk makan malam sekaligus sarapan keesokan harinya.

Dengan penuh semangat Kedhono memacu kudanya menuju hutan tempat adindanya berada. Ia membawakan Kedhini pakaian baru dan perhiasan. Kedhono kini menjadi raja, setelah ia berhasil menaklukkan pengkhianat ayahnya dahulu, yang sempat menduduki tahta dan dipangil dengan sebutan raja. Kedhono akan membawa adindanya kembali ke istana dan menutup hari-hari kelamnya di hutan. Kedhono berangkat sendiri tanpa ada yang tahu akan keberangkatannya kecuali penasehat agung kerajaan yang diamanati menggantikannya untuk sementara waktu saat ia pergi.

Kedhini masih asyik memasak sayuran, sesekali ia pergi ke sungai untuk mengambil air. Kedhono hampir sampai, tampak samar-samar ia lihat adiknya sedang membawa periuk kecil dari arah sungai. Kedhono sangat senang dan mengucap syukur karena Sang Hyang Widhi karena selama ini Dia masih menjaga adiknya. Ia turun dari kuda, sebenarnya ia berniat untuk memberikan kejutan kepada adiknya kalau ia telah datang padanya. Kedhono menali kudanya di pohon jati yang letaknya agak jauh dari gua tersebut. Dengan membawa sebuah karung berisi pakaian dan perhiasan, ia memantapkan langkah penuh kebahagiaan untuk menghampiri adindanya.

Langkahnya semakin dekat, ia melihat wajah adiknya yang semakin cantik saja. Ketika sudah sangat dekat, sirnalah semua kebahagiaan serta kasih dan cintanya kepada adindanya. Kedhono melihat perut adiknya yang buncit, ia mengira adiknya telah berbuat tidak senonoh yang merusak nama baiknya serta kerajaan. Naiklah darahnya, wajahnya sudah merah akan amarah.Tidak dapat lagi ditahan emosinya. Ia melempar semua yang dibawanya untuk adiknya, timbulah bunyi dari arah semak-semak karena jatuhnya karung Kedhono. Kedhini mendengarnya, tampaklah dari sana kakandanya telah datang untuk menjemputnya. Kedhini berlari dengan tergopoh-gopoh menuju kakandanya. Ia pegangi perutnya, di hatinya sudah tidak mampu menahan kerinduan akan kakandanya itu. Kedhono mengambil langkah garang sembari mencabut keris keramatnya dan bersiap siaga untuk membunuh adiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun