CINTA BERSPASI ANTARA AKU DAN MAMA
Oleh Kinanti Khinan
PESERTA NO : 33
Karena sejak kepergian Bapak ke panggkuan Ilahi, otomatis Mama mengambil peran untuk menjadi kepala rumah tangga. Selain pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga, Mama harus bekerja keras untuk membiayai kebutuhan hidup kami bertiga. Sebelum adzan Subuh, Mama sudah berkutat di dapur. Mengerjakan semua perkerjaan rumah sebelum akhirnya berangkat kerja di luar rumah. Mama bekerja sebagai pembantu rumah tangga demi tetap menjaga kelangsungan hidup kami.
Itu bukanlah pekerjaan yang diharapkan semua orang. Namun demi kami, anak-anaknya, Mama rela melakukan perkerjaan itu. Mama memilih bekerja paruh waktu sehingga sore hingga malam bisa menemani kami di rumah. Terlebih jarak yang tidak terlalu jauh membuat Mama rela menghemat ongkos dengan hanya berjalan kaki saat berangkat kerja.
Aku masih ingat, sejak Mama mulai bekerja, aku dan adikku selalu menunggu Mama pulang kala sore menjelang. Karena sehari tanpa Mama, aku sangat merindukannya. Hingga aku dan adikku selalu berharap hari segera sore dan bisa melihat Mama kembali ke rumah lagi.
Lalu sore itu, saat Mama pulang dengan sebuah bungkusan, aku dan adikku segera menghambur dalam pelukannya. Bukan karena bungkusan itu yang menjadi tujuanku. Tapi karena rasa kangen karena sehari tanpa Mama. Aku lihat wajah letih Mama berubah senyuman saat kami berpelukan. Kemudian Mama membuka bungkusan yang katanya sebagai oleh-oleh buatku dan adikku. Ah, sebuah benda yang sederhana dan tidak terlalu mahal tapi aku sangat menyukainya. Sebuah ikat rambut Hello Kity dengan dua warna pink dan kuning. Ini karena Mama tahu warna kesukaan anak-anaknya, hingga ikat rambut pun selalu dipilihkan sesuai dengan warna kesukaan anak-anaknya. Namun, kenangan itulah pada akhirnya yang bisa kurekam dalam otakku saat bersama Mama.
Saat usiaku sembilan tahun, semua tiba-tiba saja berubah. Tiba-tiba malam itu Mama meninggalkan kami untuk diasuh Kakek dan Nenek. Mama memilih pergi bersama laki-laki yang kemudian menjadi Bapak tiriku. Aku hanya bisa menangis seraya memeluk adik yang saat itu masih kecil. Harapan menunggu sore untuk menyambut Mama pulang ke rumah lagi tidak akan pernah terjadi kembali.
Aku hanya ingat kata terakhir dari Mama kala itu. “Jadilah anak yang penurut. Jaga adik baik-baik,” pesanmu padaku sebelum Mama pergi bersama suami baru Mama.
Mama, tahukah kau, aku dan adik hampir tiap malam selalu menangis sejak Mama pergi. Kami menahan rindu untuk bisa bertemu Mama. Meski Kakek, Nenek dan para Om menghibur untuk melupakan kesedihan, tetap saja masih terasa ruang hampa di hati kami. Hingga perlahan seiring berjalannya waktu mampu membuat kami terbiasa tanpamu.
Mama, sejak kau pergi, aku merasakan sesuatu yang sangat sakit di hati ini. Meskipun Kakek dan Nenek berperan penuh sebagai pengganti Mama dan Bapak, namun orang tua tetaplah yang aku dan adik harapkan. Aku tahu kasih sayang kakek dan Nenek teramat besar padaku dan adik. Namun karena itu pula, timbul rasa kecemburuan diantara anak-anak Kakek yang masih saudara Mama.
Tahukah Mama, saat itulah aku merasakan kebencian pada Mama. Bahkan aku berandai, jika Mama masih bersamaku, aku tidak akan merasakan sakit hati. Saat aku dan adik menjadi tempat luapan amarah dan sikap kasar dari Om yang masih saudara Mama. Betapa aku tidak akan pernah diperintah-perintah untuk memenuhi segala keinginannya. Saat itu aku hanya bisa diam seribu bahasa. Pada siapaaku harus bercerita, Ma?
Padamu? Aku tidak punya cukup uang untuk meneleponmu, Ma. Uang saku sebulan milikku akan habis seketika jika sekedar melepon dan menceritakan semuanya padamu. Saat itu yang bisa kulakukan adalah menangis diam-diam saat malam tiba. Seringkali aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa Mama pergi meninggalkan kami? Mengapa Mama malah menitipkan kami, anak-anakmu di sini bersama Kakek dan Nenek? Namun pertanyaan itu hanya bersarang di dalam hatiku saja.
Hingga suatu hari, tanpa sengaja aku mendengar obrolan Kakek dengan temannya. Kakek katakan Mama diizinkan menikah lagi asal kami, anak-anak, tidak dibawa. Mama menerima syarat yang Kakek berikan lalu menikah dan meninggalkan aku dan adik bersama Kakek. Mendengar itu semua hatiku sakit, tega sekali Mama melakukan itu pada kami. Kemudian aku mengartikan, Mama lebih memilih kebahagian sendiri dibandingkan kami, anak-anakmu. Mama lebih memilih merajut bahagia membuka lembaran baru dengan laki-laki yang kini menjadi Bapak tiriku daripada mempertahankan anak-anakmu.
Sejak Mama pergi meninggalkan aku dan adik, ada waktu tertentu untuk sekedar berkumpul kembali. Yaitu saat hari lebaran Idul Fitri tiba. Itulah hari yang aku dan adik nantikan hanya sekedar bertemu Mama saat pulang mengunjungi kami. Anehnya, pertemuan itu membuat kami lebih memilih diam dan tak banyak bicara padamu. Seakan aku dan adik sengaja membuat jarak padamu. Kami lebih memilih untuk menyembunyikan rindu padamu daripada meluapkan kegembiraan sebuah pertemuan.
Seringkali pula di hari-hari terakhir kunjungan Mama, aku berulah hingga berujung pertengkaran antara kita. Aku melakukan itu agar Mama tak lagi pergi, namun tetaplah di sini bersama kami. Tetapi Mama malah menganggap sikapku pemicu pertengkaran. Kemudian Mama akan bilang jika lebaran selanjutkan tidak akan pernah berkunjung lagi. Tidak akan pernah menemui kami, anak-anakmu lagi.
Ternyata itulah ancaman yang benar-benar Mama lakukan padaku dan adik. Saat kami mulai beranjak remaja, maka jarang pula Mama pulang mengunjungi kami. Bahkan kami tidak lagi mendengar ucapan selamat ulang tahun darimu saat usiaku dan adik semakin bertambah. Mungkinkah Mama sudah lupa hari lahir kami?
Hingga hari itu tiba, saat awal roda kembali berputar. Jum`at pagi di tahun 2011, saat aku mengendarai motor menuju tempatku bekerja. Sepuluh menit sebelum aku tiba di kantor, kecelakaan itu terjadi. Dalam keadaan sadar, aku mencoba berdiri. Tapi kakiku terasa berat dan nyeri. Sayup-sayup kudengar orang-orang di sekitar bilang “Kakinya patah.”
Tiba-tiba saja aku limbung. Benarkah kakiku patah? Aku mencoba menghubungi atasanku dan salah satu Omku. Atasanku tiba lebih dulu ke lokasi kejadian. Lalu dengan intruksinya, aku dibawa ke rumah sakit terdekat. Tidak pernah menyangka sebelumnya, kini aku terbaring di Rumah Sakit yangkulewati setiap pagi. Jaraknya hanya lima menit dari kantorku.
Ma, saat itu aku dengar Mama syok mengetahui berita tentang kecelakaanku dari Om yang meneleponmu. Padahal aku rasa masih baik-baik saja. Rasa nyeri tidak terasa ketika selang infus terpasang di tanganku. Bahkan aku masih menggerak-gerakkan jari-jari kaki yang patah. Sebelum akhirnya dokter mengatakan bahwa aku harus segera di operasi. Jika tidak, tulangku yang patah akan menusuk dan merobek dagingku. Karena patahan dari tulang kaki yang terjadi sangat runcing, jika tidak diambil tindakan operasi kecil maka kakiku bisa diamputasi.
Seketika, aku menangis, panik dan takut. Segera aku meneleponmu. Dari balik telepon Mama mencoba menguatkanku, “Jangan nangis! Nanti Mama cari tempat berobat yang bagus, biar kamu cepat sembuh. Tunggu Mama tiba di sana.” Ucapanmu membuat tenaga dan kekuatan baru buatku.
Setibanya Mama di rumah sakit tempatku dirawat, aku melihat wajah lelahmu tampak jelas setelah menempuh perjalanan sepuluh jam. Namun kau tetap berusaha tak memperdulikannya. Dan segera menemui dokter yang merawatku.
Saat Mama mengambil keputusan, tidak menyetujui surat persetujuan operasi tapi malah membawa aku pulang ke rumah, kembali aku kesal sekali. Kenapa Mama tidak mau aku dioperasi saja. Aku membentak Mama saat itu. Namun dengan tenang Mama menjawab, “Dirawat di rumah saja, itu lebih baik. Ada cara lain selain operasi. Kamu bisa sembuh tanpa harus operasi.” Tegasmu dan aku tetap saja merengut.
Malam itu juga mobil ambulans mengantarkanku pulang. Kenalan Uwak yang biasa mengobati patah tulang telah menungguku di rumah. Entah kenapa ketika dia mengobatiku, lampu sempat mati dua kali. Kakiku yang patah ditarik lurus, setelah itu digips dengan dua bilah papan yang mengapit kaki kiriku dan diikat dengan kain perban. Lalu dia membaca sesuatu di segelas air putih. Air yang sudah berjampi itu diciprat ke kakiku. Jika kakiku terasa sakit, cipratkan saja air itu, begitulah pesannya. Aku skeptis dengan cara pengobatan seperti ini, namun ketika air itu kucipratkan, kakiku yang tadinya sakit tak terasa nyeri lagi.
Saat itu selama sebulan penuh Mama merawatku. Memasak makanan untukku, mengelap badanku dengan air hangat agar aku senantiasa bersih. Mama juga tidak pernah mengeluh saat tengah malam aku membangunkannya sekedar meminta minum. Atau pun membantuku buang air kecil/besar. Keseluruhan kegiatanku memang hanya berbaring di tempat tidur.
Seperti yang dikatakan Mama dulu “Bisa sembuh.” Seiring waktu kesembuhanku mulai terlihat. Perlahan-lahan kakiku sudah mulai bisa digerakkan, meski belum bisa dipakai jalan. Aku sudah bisa bergerak dengan cara menyeret-nyeret badanku. Andai Mama tinggal lebih lama, pasti bisa melihat kemajuanku. Di minggu ke-enam aku sudah bisa menggunakan kruk. Lalu beberapa minggu kemudian aku mulai berjalan tanpa kruk dengan tertatih-tatih.
Ada hikmah di balik musibah yang kualami. Ketika aku sakit saat itulah Tuhan menunjukkan padaku betapa Mama sangat menyayangi kami, anak-anaknya.
Keputusannya menikah lagi dan meninggalkan kami adalah keputusan yang berat baginya. Pak Di (Bapak tiriku) bercerita bahwa Mama menangis sepanjang malam karena merindukan kami. Foto kami berdua selalu menjadi obat rindu baginya. Kini aku menyadari segala kekeliruanku padanya. Tidak ada ibu yang rela berpisah dengan anaknya.
Bahkan, setiap bulan Mama mengirimkan uang untuk biaya sekolah kami. Selalu berdoa buat kebaikan kami setiap saat. Serta masih banyak bukti cinta yang tak pernah terlihat oleh kami. Dia memang tidak pernah mengucapkan kata-kata cinta pada kami.
Maafkan Kinan, Mama. Maafkan bila aku, anakmu ini telah berprasangka buruk terjadapmu.
Kini, kesembuhanku yang terbilang cepat, tentulah karena Mama. Selalu memberikan makanan sesuai yang disarankan, menghiburku kala aku murung, merawatku penuh kesabaran. Entah apalagi kebaikan yang dia berikan padaku. Semua tidak bisa kujabarkan satu per satu. Sekarang aku sudah bisa berjalan kembali bahkan berlari. Beraktifitas layaknya orang normal.
Ma, meski kita sekarang tetap berjauhan, meski suara jarang terdengar, aku tahu Mama selalu mendoakan kebaikan untuk kami di sini. Kami tahu, Mama sangat mencintai kami. Meski kata itu tak terucap, tapi kami tahu melalui hembusan angin yang berkata, Mama sayang pada kami.
Ma, kami akan belajar dan bekerja sungguh-sungguh, mengumpulkan uang agar jarak dan biaya bukan lagi menjadi alasan untuk kami mengunjungimu disana.
Terimakasih Mama. Terimakasih untuk segala pengorbanan yang Mama lakukan padaku dan adik. Terimakasih pula karena telah melahirkan kami ke dunia dengan pertaruhan nyawa. Terimakasih untuk cinta yang Mama berikan pada kami yang mungkin tidak kami sadari.
Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali bagaikan surya menyinari dunia.
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FBFiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H