Oleh: Zulkarnain Elmadury
Muhammadiyah, sebagai gerakan Islam yang membawa cita-cita berkemajuan, kini menghadapi tantangan serius dalam mengakar pada warganya. Simbol "berkemajuan" yang melekat pada Muhammadiyah sering kali hanya tampak di permukaan, tanpa tercermin secara nyata dalam pola pikir sebagian besar warga Muhammadiyah. Fenomena keterbelakangan berpikir ini menjadi persoalan mencemaskan yang semakin mencengkeram di berbagai tingkatan organisasi, dari ranting hingga pusat.
Dari sudut pandang nalar, sikap phobia terhadap pemikiran yang berbeda terasa menjadi warna negatif yang kian membayangi perkembangan Muhammadiyah. Alih-alih mendorong warga untuk berpikir maju, banyak di antara mereka terjebak dalam sikap taklid buta yang merugikan. Bukannya mencerminkan prinsip "berkemajuan," kenyataannya justru menunjukkan keterpurukan dalam memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai Muhammadiyah.
Akar Masalah
Akar dari permasalahan ini adalah lemahnya ruang lingkup pemikiran yang seharusnya menjadi motor penggerak kemajuan. Dengan bertambahnya jumlah murid, siswa, dan mahasiswa di berbagai amal usaha Muhammadiyah, tampaknya pemahaman agama justru semakin tergerus. Pendidikan di perguruan tinggi Muhammadiyah, misalnya, sering kali hanya menyajikan materi umum tanpa adanya upaya mendalam untuk menanamkan pemikiran yang sesuai dengan nilai-nilai Muhammadiyah.
Lebih menyedihkan lagi, pembelaan terhadap individu-individu tertentu yang dianggap cerdas dan berkontribusi besar sering kali dilakukan secara membabi buta, bahkan ketika individu tersebut terbukti menyimpang dari ajaran Muhammadiyah. Sikap ini menciptakan kesan bahwa Muhammadiyah lebih mengutamakan kontribusi daripada prinsip. Padahal, Muhammadiyah adalah milik bersama, bukan milik perorangan atau kelompok tertentu.
Urgensi Perubahan
Jika Muhammadiyah ingin tetap relevan dengan semangat berkemajuan, maka diperlukan perubahan mendasar dalam pola pikir dan cara kerja organisasi. Perubahan ini harus dimulai dari tingkat ranting hingga pusat. Muhammadiyah perlu membangun ruang diskusi yang lebih inklusif dan mendorong warganya untuk berpikir kritis tanpa rasa takut.
Selain itu, pendidikan Muhammadiyah harus diarahkan untuk tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga mampu mencetak generasi yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam berkemajuan. Langkah ini membutuhkan evaluasi mendalam terhadap kurikulum dan pendekatan pendidikan yang ada saat ini.
Menjaga Integritas Muhammadiyah
Muhammadiyah bukanlah tempat untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, sikap suka atau tidak suka terhadap individu tidak boleh menjadi ukuran bermuhammadiyah. Keberadaan Muhammadiyah harus didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan, kebenaran, dan akhlak yang mulia.
Jika sikap taklid buta dan phobia terhadap perubahan terus dibiarkan, Muhammadiyah akan semakin jauh dari cita-cita yang diembannya. Sebaliknya, dengan mendorong warga untuk berpikir maju dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam, Muhammadiyah dapat kembali menjadi motor penggerak perubahan di tengah masyarakat.
Penutup
Cita-cita Muhammadiyah berkemajuan hanya akan terwujud jika seluruh elemen organisasi mampu bangkit dari keterpurukan. Dengan memperbaiki cara berpikir dan memperkuat pemahaman agama yang benar, Muhammadiyah dapat kembali meneguhkan posisinya sebagai gerakan Islam yang membawa perubahan bagi umat dan bangsa.
Zulkarnain Elmadury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H