Majelis ilmu di masjid kecil itu penuh sesak oleh para jamaah yang ingin mendengar kajian sore dari Ustaz Abdullah. Namun, tak semua orang datang hanya untuk mendengar. Di pojok ruangan, seorang pemuda bernama Salim tampak gelisah. Ia mengangkat tangannya, memotong kajian ustaz dengan sebuah pertanyaan tajam.
"Ustaz, teman saya bilang mengenakan pakaian melebihi mata kaki itu haram. Benarkah demikian? Bukankah itu hanya masalah kecil yang tidak perlu diperdebatkan?"Â tanyanya dengan nada menantang.
Semua mata tertuju kepada Salim. Beberapa jamaah tersenyum kecut, menyadari bahwa perdebatan akan segera dimulai.
Ustaz Abdullah tersenyum tipis. "Salim, pertanyaanmu bagus. Apa yang dikatakan temanmu ada benarnya. Bahkan, larangan ini sangat jelas tertuang dalam banyak hadis Nabi Muhammad . Mari kita kaji bersama."
Ia membuka kitab hadis di depannya. "Rasulullah bersabda: 'Apa yang lebih rendah dari kedua pergelangan kaki dari sarung, maka tempatnya di neraka.' (HR. Bukhari no. 5787). Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda: 'Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan dilihat oleh-Nya, tidak akan disucikan, dan mereka akan mendapatkan azab yang pedih: orang yang menyusulkan pakaian, orang yang suka pamer, dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah palsu.' (HR. Muslim no. 106). Apa pendapatmu tentang ini, Salim?"
Salim menelan ludah. "Tapi, Ustaz, bukankah yang dilarang itu jika pakaian panjang itu disebabkan kesombongan?"
"Benar sekali," jawab Ustaz Abdullah sambil tersenyum. "Namun, perhatikan hadis lain: 'Sarung seorang Muslim hingga setengah betis, tidak ada dosa atau kesalahan antara betis dan kedua pergelangan kaki. Apa yang lebih rendah dari kedua pergelangan kaki maka tempatnya di neraka.' (HR. Abu Dawud no. 4093). Larangan ini bersifat umum, baik karena sombong maupun tidak. Jika dilakukan dengan niat sombong, dosa itu menjadi jauh lebih besar."
"Tapi, Ustaz,"Â Salim tidak menyerah. "Bukankah Abu Bakar juga pernah memakai sarung yang melorot, dan Nabi tidak melarangnya?"
"Benar, hadis itu juga sahih," jawab Ustaz Abdullah dengan tenang. "Abu Bakar berkata kepada Nabi : 'Wahai Rasulullah, sarung saya melorot kecuali saya menjaganya.' Nabi menjawab: 'Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.' (HR. Bukhari no. 5784). Namun, apakah engkau yakin bahwa kita, manusia biasa, bebas dari niat sombong? Dalam kasus Abu Bakar, Nabi memiliki wahyu yang menyaksikan niatnya. Kita tidak memiliki pembelaan semacam itu."
Salim terdiam. Ia mulai memahami inti pembicaraan ini.
Seorang jamaah tua, Pak Ahmad, tiba-tiba angkat bicara. "Ustaz, lalu bagaimana dengan perempuan? Bukankah mereka harus mengenakan pakaian yang panjang?"
Ustaz Abdullah tersenyum lagi. "Bagus sekali pertanyaannya, Pak Ahmad. Rasulullah bersabda: 'Biarkanlah pakaian perempuan itu turun sejengkal.' Ummu Salamah bertanya lagi, 'Jika demikian, akan terlihat telapak kaki mereka.' Nabi menjawab, 'Biarkan pakaian itu turun sejengkal lengan, dan jangan lebih dari itu.' (HR. an-Nasa'i). Ini menunjukkan bahwa perempuan diberi kelonggaran karena kebutuhan mereka untuk menutup aurat."
Salim mengangguk perlahan. "Jadi, Ustaz, intinya adalah kehati-hatian. Kita menjaga agar pakaian kita tidak melebihi mata kaki, karena itu lebih dekat kepada ketakwaan, dan menjauhi hal-hal yang dapat membawa kesombongan."
"Benar sekali," kata Ustaz Abdullah. "Ingatlah, kesombongan itu halus, dan bisa masuk ke dalam hati tanpa kita sadari. Oleh karena itu, berhati-hatilah. Semoga Allah selalu membimbing kita semua."
Majelis Itu Pun Berakhir
Setelah majelis itu selesai, para hadirin mulai beranjak pulang. Namun, seorang pemuda yang sejak tadi tampak ragu-ragu mengangkat tangan dan memanggil ustaz Zulkarnain. "Ustaz, mohon maaf, bolehkah saya bertanya lagi? Saya masih bingung tentang hukum isbal."
Zulkarnain tersenyum, menyadari bahwa topik ini belum selesai bagi sebagian orang. Ia memberi isyarat kepada pemuda itu untuk mendekat dan duduk di salah satu sudut masjid yang kini mulai lengang. Bersamanya, beberapa jamaah yang masih penasaran ikut mendekat, termasuk seorang pria yang tampak lebih tua dan berwibawa, mengenakan sorban putih.
Pemuda Menggugat dengan Logika
Pemuda itu memulai dengan nada sopan namun kritis, "Ustaz, saya memahami hadis-hadis yang Anda sampaikan tadi. Namun, bukankah inti dari larangan isbal adalah karena kesombongan? Jika saya memastikan bahwa niat saya bukan kesombongan, bukankah itu cukup untuk membebaskan saya dari dosa?"
Zulkarnain menatapnya tajam namun ramah. "MasyaAllah, pertanyaan yang baik. Tapi izinkan saya menjawab dengan hadis. Rasulullah bersabda: 'Apa yang lebih rendah dari kedua pergelangan kaki dari sarung (pakaian), maka tempatnya di neraka.' (HR. Bukhari). Perhatikan, tidak disebutkan niat dalam hadis ini. Apakah menurutmu kita bisa memastikan bahwa diri kita terbebas dari kesombongan?"
Pria bersorban putih yang sejak tadi diam tiba-tiba angkat bicara. "Ananda, kesombongan adalah sesuatu yang sulit dilihat, bahkan oleh diri sendiri. Seorang yang sombong jarang menyadari bahwa ia sombong."
Pemuda Membawa Contoh Abu Bakar
Namun pemuda itu tak menyerah. "Tapi, Ustaz, bukankah Abu Bakar pernah berkata kepada Rasulullah bahwa sarungnya sering melorot tanpa disengaja? Dan Rasulullah menjawab, 'Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.' Apakah ini tidak menunjukkan bahwa niat itu penting?"
Zulkarnain mengangguk pelan. "Benar, tetapi kasus Abu Bakar adalah pengecualian. Wahyu sendiri yang menegaskan bahwa ia tidak sombong. Kita ini siapa dibandingkan Abu Bakar? Bisakah kita yakin bahwa hati kita sebersih hatinya?"
Perdebatan Kian Seru
Pemuda lain yang baru bergabung menyela, "Tapi, Ustaz, bukankah dalam hal ibadah kita harus berfokus pada niat? Jika pakaian panjang saya tidak mengganggu ibadah saya dan niat saya bersih, mengapa harus dilarang?"
Zulkarnain tersenyum lebih lebar. "MasyaAllah, kalian benar-benar haus ilmu. Namun ingatlah, syariat itu tidak hanya bergantung pada niat. Ada aspek ketaatan yang tidak boleh diabaikan. Allah berfirman, 'Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.' (QS. Al-Hasyr: 7). Rasulullah melarang isbal, baik dengan niat sombong atau tidak, kecuali ada udzur. Bukankah mengikuti sunnah adalah bentuk ketaatan tertinggi?"
AKHIR PERDEBATAN
Pria bersorban itu menutup diskusi dengan bijak. "Ananda sekalian, ingatlah bahwa kita berdebat bukan untuk menang, tetapi untuk mencari kebenaran. Jika kita berselisih pendapat, jangan sampai hati kita retak. Rasulullah bersabda, 'Barang siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.' Maka, menghindari pakaian yang melebihi mata kaki adalah jalan selamat, terlepas dari niat kita. Mengapa mengambil risiko ketika ketaatan itu lebih mudah?"
Pemuda pertama menunduk, merenungkan jawabannya. Sementara yang lain perlahan bangkit, merasa puas dengan penjelasan tersebut. Majelis tambahan itu berakhir dengan salam dan doa, meninggalkan jejak ilmu yang mendalam di hati mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H