By Zulkarnain Elmadury
Di ujung timur Pulau Madura, tepatnya di Jalan Pahlawan Karangduak, Sumenep, terdapat satu keluarga yang hidup dalam kesederhanaan, namun menyimpan harapan yang begitu besar. Keluarga ini adalah keluarga Syamsuri, dan Zulkarnain Elmadury adalah kepala keluarganya. Zulkarnain adalah sosok ayah yang sederhana namun penuh tekad, terutama ketika bicara tentang masa depan anak satu-satunya, Ayatullah Mumtazi. Dalam hati kecilnya, Zulkarnain menyimpan cita-cita besar agar anaknya tumbuh menjadi sosok yang sholeh, yang berbakti kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepada orang tua.
Saat keinginan Ayatullah untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mencuat, Zulkarnain merasa harapan ini sekaligus menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya. Bagi keluarga yang hidup dengan serba pas-pasan, melanjutkan pendidikan tinggi adalah perjuangan luar biasa. Namun, keinginan sang anak begitu kuat, sedangkan kasih sayang seorang ayah yang mengalir dalam diri Zulkarnain jauh lebih besar dari segala keterbatasan.
Dengan keyakinan yang teguh, Ayatullah diterima di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Namun, di titik inilah ujian yang sesungguhnya dimulai. Tak ada modal, tak ada cadangan, hanya tekad seorang ayah yang siap berjuang hingga akhir. Zulkarnain bekerja keras, mengorbankan segala yang dimilikinya, walaupun dia tahu itu tak akan pernah cukup. Demi menyokong biaya kuliah anaknya, Zulkarnain mengupayakan berbagai macam cara selama masih halal. Setiap rupiah yang terkumpul menjadi tetes air mata harapan dan doa yang tak pernah putus.
Zulkarnain tak pernah tahu pasti berapa biaya yang akan dihabiskan untuk menyelesaikan pendidikan sang anak. Di setiap jalan yang dia tempuh, dia meminta bantuan pada teman dan saudara. Berbagai tokoh dan orang ternama di lingkungan Muhammadiyah yang dikenal Zulkarnain, mulai dari Bapak Dahlan Rais, Bapak Syafiq, Bapak Din Syamsuddin, hingga Bapak Haedar Nashir, menjadi tempat Zulkarnain mencurahkan keluh kesahnya. Meskipun seringkali bantuan yang diharapkan tak selalu hadir, setiap usahanya adalah doa yang digantungkan pada langit, memohon pada Sang Khalik agar anaknya tak berhenti mengejar ilmu.
Di tengah perjalanan yang penuh liku, Zulkarnain mendapatkan dukungan istimewa dari seseorang yang amat dihormatinya: Ayahanda Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Di balik sosoknya yang sederhana dan rendah hati, Ayahanda Haedar menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya kepada Ayatullah, seolah-olah dia adalah anaknya sendiri. Tak hanya lewat bantuan finansial, tetapi juga dalam bentuk perhatian yang hangat, Ayahanda Haedar memperlihatkan keteladanan seorang pemimpin yang tak hanya memimpin dengan kepala, tetapi dengan hati.
Semester demi semester berlalu, dan dukungan Ayahanda Haedar terus berlanjut. Saat-saat penuh haru itu adalah napas bagi Zulkarnain, yang selama ini berjalan dalam kelelahan. Setiap langkah yang diambil Ayahanda Haedar memberikan Zulkarnain sedikit ruang untuk menghela napas, meskipun hatinya masih terus dihimpit kekhawatiran. Ayahanda Haedar, dalam kesibukan dan beban tanggung jawabnya yang besar, seolah tak pernah lupa akan janji kasih sayang yang diberikannya pada Ayatullah. Ketulusan itu menginspirasi, mengajarkan bahwa seorang pemimpin yang sesungguhnya adalah mereka yang tak membiarkan orang-orang di bawah naungannya terabaikan, meskipun dia sendiri tengah berjuang.
Namun, dalam keikhlasan dan kebaikan seorang manusia, tetap ada batas. Begitu pula Ayahanda Haedar. Setelah melewati semester demi semester, keterbatasan itu mulai tampak. Zulkarnain memahami hal ini. Tak ada keinginan dalam dirinya untuk menjadi beban, namun setiap kali dia mengingat harapan besar pada anaknya, dia menengadahkan tangan, memohon kepada Allah agar kiranya ada jalan keluar yang akan selalu terbuka.
Kini Ayatullah sudah berada di semester sembilan, hampir menyentuh akhir dari perjalanan panjangnya. Di tiap detik perjuangan ini, ada doa seorang ayah yang tak pernah putus. "Ya Allah, rahmati mereka yang telah membantu anakku. Berilah keberkahan bagi mereka dan keluarganya," begitu doa Zulkarnain pada tiap akhir sujudnya.
Begitulah, di tengah ujian kehidupan yang terasa berat, cinta dan doa seorang ayah menjadi lentera yang tak pernah padam. Semoga, Allah melimpahkan rahmat-Nya pada mereka yang telah menolong dan membimbing. Dan semoga, suatu hari, Ayatullah Mumtazi dapat berdiri di puncak yang dia damba, menggapai cita-citanya dengan kebanggaan dan kebahagiaan yang dulu selalu menjadi impian seorang ayah bernama Zulkarnain Elmadury.
Tahun-tahun berlalu, perjalanan Ayatullah Mumtazi di bangku kuliah semakin mendekati akhir. Setiap lembaran tugas, ujian, dan skripsi yang dia hadapi seolah mengingatkannya pada pengorbanan sang ayah, Zulkarnain Elmadury. Setiap lembar kertas itu bukan hanya soal akademik, tetapi juga cerita tentang kerja keras, air mata, dan doa yang tanpa henti dipanjatkan. Tak ada satu haripun yang berlalu tanpa rasa syukur dan harapan, meskipun sering kali diselimuti kekhawatiran akan kekurangan biaya.