Mohon tunggu...
Kheyene Molekandella Boer
Kheyene Molekandella Boer Mohon Tunggu... Dosen - Apapun Yang Terjadi Jangan Pernah Menyalahkan Tuhan

seorang Ibu dari anak Bumi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ngopi Yuk, Sebuah Gaya Hidup Kekinian

1 Mei 2019   22:30 Diperbarui: 2 Mei 2019   07:22 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "1 cangkir kopi jika Anda tidak tahu harus memulai dari mana

2 cangkir kopi jika Anda ingin mengubah suasana hati Anda

3 cangkir kopi jika Anda ingin memecahkan masalah Anda

4 cangkir kopi jika Anda ingin mengetahui semua hal tentang kopi"

 

(Edy Panggabea, adalah penggagas Standart Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SK KNI) Produksi Kopi Luwak serta penulis buku tentang kopi.)

 

Budaya minum kopi telah melegenda hampir diseluruh belahan dunia. Kopi dikenal sebagai minuman yang mampu merubah kondisi sosikologis hingga sosial bagi siapapun yang menikmatinya. Kebiasaan menyeduh kopi  panas nampaknya kian digemari bukan saja untuk kalangan orang tua tetapi kini anak muda juga gemar menyeduh.

Kebiasaan minum kopi atau nongkrong di caffe ini menjadi sebuah rutinitas berulang dikalangan anak muda. Fenomena ini dinilai sebagai hausnya identitas public terhadap pengakuan social atau semacam prestise untuk bertahan hidup di dunia yang semakin penuh dengan hiperealita ini. Konsumerisme adalah goal dari semua yang terjadi disekitar kita, masuknya produk asing, iklan membabi buta, rayuan sales disemua sisi ruang public.

SEJARAH MINUM KOPI

Sejarah minum kopi di Indonesia yang biasanya dilakukan di warung kopi (warkop), yaitu sebuah tempat dengan fasilitas meja dan kursi kayu ala kadarnya, sesak dan didominasi oleh orang-orang tua. 

Warkop juga memiliki fungsi sosial, yaitu tempat bertemu dan bertukar fikiran, membicarakan topik mulai dari pertandingan sepak bola hingga mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Warung kopi memang akhirnya memainkan peran sebagai salah satu pusat interaksi sosial (Saputra,2008:88). Fungsi sosial ini menjadi keunggulan dimana masyarakat semakin kritis terhadap isu-isu yang terjadi.

Akan tetapi, fungsi sosial tersebut mulai bergeser, semenjak menjamurnya coffee shop seperti Starbucks yang berusaha memindah ritual minum kopi versi Indonesia menjadi lebih modern.Starbucks menawarkan konsep minum kopi dengan fasilitas super mewah, seperti meja dan kursi kayu yang berkualitas internasional, sofa-sofa empuk dan wifi berkecepatan tinggi. 

Kopi yang disajikan-pun berbeda, Starbucks memiliki lebih banyak varian, seperti frappucino dan ice blanded. Minum kopi semacam cappucino atau espresso sampai kini tetap menjadi gaya minuman masyarakat elite, artinya hanya bisa dinikmati oleh orang yang berkemampuan ekonomi cukup tinggi (Saputra,2008:12), tentunya dengan harga jauh lebih mahal daripada kopi di warkop.

Menurut Adi W. Taroepratjeka, seorang konsultan kopi banyak orang yang datang ke kedai kopi hanya untuk menikmati fasilitas yang ada bukan untuk secangkir kopi. Bahkan yang berkunjung ke-kedai kopi ini tak semuanya memesan kopi, banyak yang lebih memilih memesan iced blended, ice tea atau minuman lainnya (Indriyani,2012. dalam Fenomena Kedai Kopi Lokal,19 September 2013).

"Internet, Nongkrong. Bukan Kopi-nya"

Budaya nongkrong di tempat kopi banyak bertujuan bukan untuk sekedar meikmatoi sau cangkir kopi, melainkan memanfaatkan akses wifi super tinggi dan menghabiskan waktu ditempat yang dinilai elit ini. Menghabiskan waktu dengan tman, komunitas, merayakan ulan tahun atau sekedar mentraktir kawan secangkir kopi untuk menyita wakyunya selama dua jam untuk benostalgia.

Konsumen Indonesia bukanlah konsumen yang cerdas, dalam mengkonsumsi kopi seperti Starbucks dan merek lainya, mereka masih bertujuan demi mendapatkan gengsi, pengakuan dari lingkungan sekitar. Konsumen yang cerdas adalah konsumen yang memiliki cita rasa tinggi terhadap sumber daya alam seperti kopi, alias tahu benar bagaimana kualitas kopi terbaik entah dari mereka terkenal atau kopi pinggiran sekalipun.

Seiring perkembangan zaman, kopi kini sebagai komoditi bernilai jual tinggi. Menjadi minuman favorit penduduk dunia. Banyak elemen yang dirombak untuk menyajikan kopi sebagai sebuah santapan yang tidak biasa, mulai dari packaging, adonan kopi dengan varian seperti cream, susu dan sebagainya agar menghasilkan cita rasa berbeda dan lebih bernilai tinggi, hingga cara penyuguhan. 

Starbucks juga  merubah desain tempat lebih modern pengganti warung kopi. Starbucks memiliki desain-desain unik, nyaman dan lengkap. Atribut penunjang inilah yang menjadikan Starbucks berani menjual kopi-kopi mereka dengan harga yang tinggi. 

Meskipun begitu, masyarakat tak merasa keberatan untuk rutin datang kekedai Starbucks hanya sekedar membeli kopi dan membawanya pulang atau memilih menikmati kopi didalam kedai ditemani wifi yang semakin membuat orang betah menghabiskan waktunya berjam-jam disana.

Gaya hidup hidup minum kopi di Indonesia masih tertinggal jauh, fakta ini diperkuat oleh pernyataan Ronald Prasanto, seorang pakar gastronomi molekuler kopi Indonesia menjelaskan bahwa di Indonesia, minum kopi cuma bergaya bukan untuk mencari tahu kopi yang enak itu seperti apa. 

Sedangkan di Australia konsumen sudah pintar dalam mengidentifikasi kopi yang enak dan tidak enak, jika tidak enak mereka akan minta dibuatkan yang baru dan itu tidak terjadi pada konsumen Indonesia. Masyarakat Indonesia minum kopi hanya sebatas untuk gaya atau sebatas mencari colokan listrik, selain itu masyarakat Indonesia masih menikmati kopi bukan dengan apa adanya, mereka lebih menyukai kopi yang dicampur dengan aneka varian seperti cokelat, susu dan cream.(2013,dalam Ngopi Dongl,21 Oktober 2013).

Meskipun begitu, tetap saja kebiasaan minum kopi sudah mendunia, termasuk Indonesia. Fungsi social berkumpul, ngobrol atau sekedar pelepas penat menjadikan kopi sebagai hidangan utama dan favorit bagi pengunjung warung kopi atau caffe. Semoga, warung warung tradisional perlahan tidak tergerus oleh industri kopi dunia yang akhirya menjadikan warkop sebagai identitas ngopi kelas menengah kebawah dan caffe diperuntukan kelas menengah keatas. 

Cita-Cita dan harapan ingin melihat anak-anak muda ikut melestarikan budaya minum kopi diwarung tradisional, memberikan kehangatan dengan berinteraksi, berbicara satu sama lain bukan sekedar sibuk dengan gadget masing-masing, bukan sekedar sibuk upload foto si-kopi atau lainya namun fungsi sosial tetap berjalan sebagaimana mestinya atau keinginan ngopi didalamnya bukan sekedar nengkrong di caffee demi gengsi belaka.

 So...NGOPI YUK...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun