Mohon tunggu...
Kherjuli ,
Kherjuli , Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ada disini : http//kherjuli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Reuni : Ketika Monyet Bercinta

15 Maret 2013   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:44 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Fiksi Karya : Kherjuli

Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah. Tiada kisah paling indah, kisah kasih di sekolah. Tiada cinta paling indah, cinta kasih di sekolah”.

Aku masih ingat, bait lagu itu dulu pernah dipopularkan oleh Obie Mesakh.

Pada malam keakraban reuni akbar SMPN 3 ini, lagu itu dikumandangkan kembali. Kali ini yang menyanyikannya bukanlah Obie Mesakh, akan tetapi seorang yang tengah berkuasa di negeri Gong gong. Dia adalah alumnus angkatan 86 yang baru saja menjadi Walikota. Tidak tahu, apakah beliau punya pengalaman pribadi yang berkaitan dengan lirik lagu itu atau hanya sekedar untuk membuka memory masa lalu para alumnus saja. Yang pasti, lagu itu memang sangat tepat dinyanyikan untuk mengenang masa-masa indah di sekolah.

span> Aku lagi sendiri disudut ujung taman hotel bintang empat yang indah. Sambil mendengarkan suara merdu Walikota, aku teringat saat-saat kuliah dulu. Ada mata kuliah budaya dasar. Saat itu, dosen kami menjelaskan tentang Amor menurut beberapa pendapat para pakar dengan  konsep teorinya. Aku mencoba menghubungkan Amor dengan cinta.

Pikiran ku ikut bekerja. Sebuah konsep tentang amor dan cinta sedang dipadukan. Aku mencoba merumuskan konsep baru. Ini dia konsepnya. “Cinta tidak hanya ada di sekolah, tetapi ada dimana-mana. Cinta berasal dari bumi. Cinta dikelompokan kedalam tiga jenis. Pertama cinta hitam, yaitu cinta yang penuh dengan kebohongan, penghianatan dan penyesatan. Kedua cinta putih, yaitu cinta yang penuh dengan kejujuran, ketulusan dan keikhlasan. Ketiga cinta abu-abu, cinta yang penuh dengan kemunafikan”.

Cinta hitam berujung dan bermarkas di neraka. Cinta putih di surga dan cinta abu-abu berujung dan bermarkas diantara langit dan bumi. Cinta abu-abu bergentayangan dan berselingkuh kesana kemari. Terkadang baunya wangi tapi pada kenyataannya sangat busuk dan menjijikkan”, ungkap ku.

Aku sadar, analisis ku tentang amor dan cinta sudah terlalu jauh. Sudah menyimpang dari esensi lagu diatas. Aku mulai melakukan analisis baru, mengaitkan cinta dengan yang lain. Agar lebih sesuai dengan lagu itu, aku mengaitkan dengan binatang. Ada cinta Monyet dan ada adapula cinta Srigala.

Cinta Monyet adalah cintanya anak-anak ingusan atau anak-anak umur belasan. Sedangkan cinta Srigala diartikan seperti mencintai orang yang berhati buas, yang bisa menjadikan orang yang mencintainya sebagai mangsa. Menyakiti hati kekasihnya sendiri dengan cara-cara yang sadis. Hati selalu miris dan menangi”, kata ku

Dalam hati ku berkata, “Wih,.. ternyata berbeda ya, antara cinta Monyet dengan cinta Srigala ?” Kata orang, cinta Monyet tidak mengenal malam pertama. Tidak seperti cinta Srigala, yang selalu menjadikan malam pertama sebagai icon “makan besar”. Menghisap darah kekasihnya, setelah itu ditinggal pergi. Dengan kata lain, malam pertama adalah symbol kejantanan dan keperawanan Srigala. Sedangkan Monyet, tidak mengenal istilah itu dan tidak sampai menghisap darah. Monyet hanya makan buah-buahan segar saja.

Aku masih ingat saat pandangan pertama dengan seorang siswi cantik jelita di sekolah dulu. Dia adalah adik kelas ku. Saat itu usia ku baru 15 tahun. Terpaut setahun saja usia kami. Osi namanya.

Dari pandangan mata itu, hati ku luluh. Jantung berdebar-debar. Seperti baru selesai lari 100 meter. Padahal, tatapan matanya berlangsung dalam durasi singkat. Tak sampai dua detik. Namun, debaran jantung ku berkepanjangan. Berlarut-larut sampai satu minggu lamanya. Semakin hari semakin terasa. terlebih ketika sedang pipis dan mau tidur. Nyut…nyut…nyut…! Virus cinta yang bersarang dikelopak mata, telah menembus hati ku dan mulai berkembang biak.

Aku heran, pada usia yang tergolong masih anak-anak dan bau kencur itu, rasa cinta sudah mulai datang.  Rasa ingin mencintai dan dicintai lawan jenis ku sendiri semakin kuat. Apakah ini sesuatu yang wajar terjadi pada diri manusia ? Apakah nabi juga mengalami peristiwa yang sama, atau mungkin lebih muda lagi ?

Aku masih ingat, saat pertama kali menitip salam untuknya. Mak comblangnya juga aku masih ingat. Namanya Friska. Ada yang lebih ku ingat lagi, yaitu ketika salam pertama ku berbuah manis. Jenis buah-buahan yang menjadi santapan favorit semua jenis Monyet. Waktu itu, dia menerima salam ku dengan tulus dan kami kepakat untuk menjalin hubungan lebih dekat lagi.

Aku masih ingat saat pertama menulis surat kepadanya. Ada sekitar 19 lembar kertas yang sudah ku tulis, dirobek lagi. Banyak alasannya. Ada yang karena tulisan jelek-lah, salah tulis-lah, ada coretan-lah, kata-katanya kurang pantas-lah, tandatangan mirip cakar ayam-lah, kertasnya kurang wangi-lah dan lain sebagainya.

Saat menulis surat, kadang-kadang otak ini lancar seperti air yang mengalir deras. Kalimat demi kalimat dapat diselesaikan secara cepat. Tapi, sayang isinya pula yang meragukan. Maknanya sulit ditangkap. Lalu aku robek lagi, dan tulis kembali.

Kali ini, polpen nyaris tak bisa bergerak karena otak ku beku dan takut salah kata-kata. Aku menghentikan menulis surat, sebab tak ingin membuat dirinya duka. Lalu kertas yang berisikan beberapa kata diantaranya, “Dear”, diremuk dan dibuang. Memang tak mudah meluangkan isi hati diatas kertas. Banyak sekali godaannya.

Aku masih ingat, saat pertama kali membaca surat balasan darinya. Sebelum dibaca, hampir semua sisi amplop dan surat itu dicium. Aku tak ingin bau wanginya menguap sebelum singgah dihatiku. Aku tak ingin, lobang hidung ini kalah cepat menangkap wangi aura kekasih dari kejauhan.

Aku masih ingat saat pertama kali apel kerumahnya. Malam minggu itu, dengan berjalan kaki sekitar 1 km dari rumah ku, akhirnya dengan sedikit berkeringat, aku sampai juga ke rumahnya. Aku masih ingat, rasa malu tertutup keyakinan dan keberanian. Diri telah digerakan oleh kekuatan hati. Bukankah hati selalu mengarah kepada kebaikan ? Itu sebabnya, walaupun bapaknya seorang Tentara, tapi aku tak pernah takut diusir. Alhamdulillah, justru disambut hangat dan bahkan oleh semua anggota keluarganya.

Tiung..tiung..tiuang… berbunga-bunga hati ini.

Aku masih ingat saat pertama kali menyentuhnya. Didepan teras rumahnya yang ditutup pohon penghijauan dan bunga-bunga. Aku dan dia duduk berdua. Lagi-lagi, hati menggerakan tangan ini untuk menyentuh tangannya. Ternyata, ditanggapi dengan baik dan tidak ditepis.

Kali ini, aku tak tahu, apakah gerakan hati tau bukan. Dengan tulus, aku mencium pipi kirinya. Dia pun menanggapi mesra dan tidak membalasnya dengan tamparan tangan atau kata-kata. Sekarang baru aku tahu, bahwa itu juga merupakan gerakan hati. Wajar, bila dulu ada sedikit keraguan hati. Sebab, pada kenyataannya, tak selamanya gerakan hati dibalas dengan kebaikan hati pula. Ada yang justru dibalas dengan siksaan.

Aku masih ingat saat pertama kali menerima kado darinya. Saat itu tanggal 14 Februari. Ya, hari Valentin. Aku menerima kado yang dibungkus sampul warna merah jambu. Saat dibuka ternyata isinya secarik kertas dan sebuah gelas kaca yang unik. Bila diangkat dari permukaannya, dari sisi bawah gelas itu mengeluarkan musik klasik Mozart Italy. Pasti harganya mahal sekali. Bila uang jajan sekolah ku per hari harus ditabung untuk membeli kado indah itu, tentu memerlukan waktu selama 2 X 365 hari.

Dari semua peristiwa yang terkait dengan pernak-pernik cinta pertama ku, ada satu hal yang sampai hari ini belum mampu ku jawab. Jujur, aku tak tahu, mengapa sampai dia meninggalkan aku begitu saja. Tanpa basa-basi atau kabar yang pasti. Tidak pernah ada satu kalimat dan tulisan “putus” yang keluar dari mulut dan lentik tangannya. Sikapnya berbalik, berubah 360 derajat dari yang ku kenal. Dia sudah tidak bisa ku temui lagi. Padahal dia masih tetap sendiri dan kami belum dipisahkan oleh kematian.

Pada malam keakraban reuni akbar ini, aku berharap bisa menemukan jawabannya. Tetapi sayang, wajahnya tak kelihatan. Sudahlah, itu dulu. Sekarang, sepasang Monyet itu sudah berubah menjadi “orang hutan”. Sudah tua dan ada etika, budaya, moral dan agama yang membatasi ruang gerak sesama muslim yang bukan muhrimnya.

Aku bersyukur ada acara Reuni Akbar karena bisa memutar peristiwa lucu tentang cinta Monyet yang pernah terjadi tiga puluh tahun silam. Aku berharap, semoga dengan semakin berkembangnya kemajuan teknologi informasi, kegiatan reuni tidak berhenti sampai disini. Kalau tidak, tentu akan ada acara lain yang serupa yang dibikin menjadi meriah. Yaitu acara Curhat Akbar.

Bisa dibayangkan, bila itu terjadi, akan ada air mata, dusta, fitnah, darah, penghianatan, perkelahian dan kekerasan massal. Paling tidak, akan membuat orang yang terlibat dalam curhat tersebut menjadi geram dan berwajah suram.

Benar, curhat tidak selalu identik dengan kejahatan. Tetapi, curhat sudah terlanjur dikonotasikan sebagai ajang curahan hati yang terluka.

Tak lama setelah cerpen fiksi ku yang berjudul “Ketika Monyet Bercintabooming dipasaran dan aku sudah mulai dikenal banyak orang, tiba-tiba dia datang ke Facebook ku dengan cara tiba-tiba. Aku menyambutnya dengan sangat senang hati. Konfirmasi pertemanan diterima. Pesan pertama yang ku dapat darinya berisikan, “Aku tak ingin melihat gadis satu angkatan mu kecewa. Karena dia juga mencintai mu”.

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun