Karya : Kherjuli
[caption id="attachment_286933" align="aligncenter" width="300" caption="Illustrasi"][/caption]
Disebutkan dalam hikayat, pada suatu petang, Puteri Tempayan datang ketempat pemandian Kerajaan. Ia datang sendirian tanpa dikawal dayang-dayang. Kedatangannya kali ini bukan untuk mandi melainkan untuk menyaksikan prosesi Mandi Langir atau mandi membersihkan najis dan hadas setelah berakhirnya masa datang bulan (haid) yang pertama kali, bagi keluarga Kerajaan.
Prosesi Mandi Langir merupakan ritual dan tradisi kerajaan untuk mengakhiri masa anak-anak dan menyambut datangnya masa-masa gadis. Biasanya dilakukan kepada anak-anak perempuan Raja. Tapi kali ini dilakukan kepada mantan anak Raja yang sudah menjadi Raja. Yaitu Puteri Bening yang telah dinobatkan menjadi Raja/Ratu Bertuah oleh Ayahnya Raja Ali pada usia dini.
Puteri Tempayan menempati kursi yang telah disediakan diatas Mimbar. Tak lama kemudian, iring-iringan Ratu yang dikawal dayang-dayang kerajaan, sampai ke tempat pemandian. Tempat itu dikenal dengan nama Perigi Puteri. Perigi dan bilik mandi dihias kain Songket bercorak warna dasar putih dan kuning sebagai simbol kesucian dan kejayaan.
Segala keperluan Mandi Langir seperti gayung dan timba yang terbuat dari kayu Nibung, Kembang Tujuh Rupa, Tepak Sirih, Tepung Tawar, Air Mawar dan lain sebagainya telah disiapkan dalam berbagai bentuk tempat yang terbuat dari bahan perak yang hiasi kain songket. Ada yang berbentuk seperti kepala burung Merak, ada yang berbentuk seperti kelopak bunga, sepatu dan lain sebagainya.
Prosesi Mandi Langir pun segera dimulai. Mak Dara sebagai orang yang memiliki pengalaman dan dipercaya Kerajaan untuk memandu prosesi Mandi Langir sudah membersihkan daun Inai yang menempel di seluruh jari kaki dan tangan serta telapak tangan Puteri Bening. Mak Dara membasuhnya dengan Air Mawar.
Mak Dara lalu melanjutkan prosesi Mandi Langir dengan menyampaikan tata caranya dalam bentuk syair dan pantun.
“Wahai bulan dan buah hati Raja. Telah datang bulan seminggu yang lalu. Kini Ia akan kembali dan Tuan Puteri akan menjadi dewasa”, kata Mak Dara menatap semua hadirin di Majlis Mandi Langir itu.
Mak Dara mengatur nafas dan bersiap membaca syair. “Inilah Syair pusaka negeri “, katanya.
"Bunda mengandung sembilan bulan
Setelah lahir Ia susukan
Ajarkan dongeng dalam buaian
Supaya Puteri jadi tauladan
Bulanpun datang beri petanda
Masa berganti jadi dewasa
Ayah dan Bunda jangan dilupa
Jagalah hati jaga dunia
“Di hulu sungai air mengalir
Akan menuju mudik ke hilir
Pandu perangai awal dan akhir
Kendalikan nafsu, banyak berpikir”
Setelah pembacaan Syair pusaka yang dilantunkan dengan nada dan irama suara, Mak Dara kemudian melanjutkan pembacaan petuah.
“Syair adalah untaian kata-kata. Mengandung makna kebaikan dan budaya. Dirangkai dalam empat baris per bait saja. Memiliki kesamaan lafas diujungnya. Semua baris merupakan isi dan makna. Membuka banyak mata dan menutup jendela dunia. Supaya hidup berjaya. Sopan santun hendaklah selalu dijaga. Ayah dan Bunda jangan dilupa. Supaya Perangai tidak tercela. Hidup berakal, mati dikenang jua”.
“Inilah Pantun pusaka negeri Bertuah dalam menyambut masa-masa gadis”, kata Mak Dara.
“Bukan awan sembarang awan
Awan beriring tanda nak balik
Bukan bulan sembarang bulan
Bulan datang di akil balig
Anak dara mudik ke hulu
Melintai sungai menembus rimba
Dunia anak-anak telah berlalu
Masa dewasa jangan disia-sia
Mak Dara lalu membacakan segudang mantra. Mulutnya kumat-kamit. Ia lalu memanggil dan mempersilakan Ibunda Ratu, Puteri Tempayan sebagai orang yang pertama menyiramkan air mawar dari atas kepala hingga ke ujung kaki Ratu Puteri Bening. Mantra-mantra terus dikumandangkan.
Mak Dara memanggil saudara perempuan dari ayah Puteri Bening. Ada beberapa orang yang berkesempatan ikut dalam prosesi Mandi Langir itu. Apa yang mereka lakukan, sama seperti yang Puteri Tempayan lakukan. Kemudian Mak Dara mempersilakan saudara perempuan dari ibu pula. Namun, tak satu orang pun yang tampil kedepan mimbar. Semua yang hadir termasuk Mak Dara memandang kearah Ibunda Puteri Tempayan. Didalam benak mereka mungkin tersimpan banyak pertanyaan. Antara lain, dari mana asal Puteri Tempayan itu sebenarnya ?
Puteri Tempayan tak mampu menjawab permintaan Mak Dara menghadirkan saudara-saudaranya. Dia hanya bisa menghadapkan wajahnya keatas dan menatap langit.
Tiba-tiba, datang delapan ekor burung merpati putih dari semua penjuru arah. Dua ekor dari arah barat, dua ekor dari arah timur, dua ekor dari arah utara dan dua ekor lagi dari arah selatan.
Burung-burung merpati putih itu menghampiri Puteri Tempayan. Kemudian terbang lagi menuju baskom yang berisi tujuh kembang dan air mawar. Kedelapan paruh burung merpati itupun menyentuh kembang dan air mawar. Setelah itu, burung-burung merpati itu terbang keangkasa dan menghilang dari pandangan semua orang.
Spontan membuat Mak Dara dan hadirin bertanya-tanya dalam keadaan berbisik. Ada apa gerangan yang telah menimpa Ratu Puteri Bening ?
Diatas mimbar, Puteri Tempayan terlihat seakan merasa bersalah telah membuat prosesi Mandi Langir menjadi kurang hikmat. Memunculkan banyak pertanyaan tentang dirinya dan delapan ekor burung merpati putih itu. Merasa tidak enak berlama-lama ditempat pemandian itu, Puteri Tempayan lalu bergegas pergi meninggalkan semuanya.
Dalam perjalanan menuju komplek Istana, Puteri Tempayan tidak dapat menahan kesedihan. Air matanya jatuh menimpa tanah. Tanpa Ia sadari, air matanya yang jatuh ke tanah tadi berubah menjadi air mancur. Ada sembilan air mancur diperkarangan Istana. Ia tidak menyadari hal itu. Pandangannya tertuju kedepan. Ia ingin segera bertemu Suami tercinta, Raja Ali dan menangis sekeras-kerasnya.
“Ada apa gerangan hingga membuat Adinda menangis tersedu-sedu ?“, tanya Raja Ali.
“Adinda sedih Kanda”,
“Sabarlah dan katakan kepada Kanda, mengapa air mata Adinda jatuh ke tanah ? “
“Sudah sampai waktunya Dinda untuk meninggalkan Kanda dan Puteri Bening”
“Apa,...?”
“Benar Kanda. Dinda sedih sekali dan Dinda minta maaf”
“Waktunya telah tiba ?”
“Iya Kanda. Waktu yang pernah Dinda janjikan dulu telah tiba”
“Benarkah Adinda sudah dijemput untuk kembali ke Kayangan ?”
“Benar Kanda. Delapan saudara Dinda tadi datang menjemput Dinda. Mereka menjelma menjadi burung merpati. Ayahnda Raja Tirta sang penguasa air, memerintahkan Dinda kembali ke Kayangan setelah fajar nanti. Dinda sedih karena Dinda sangat mencintai Kanda dan Puteri Bening”
“Berhentilah menangis dan hapus air mata Adinda. Nanti malam sebelum fajar, akan Kanda jelaskan perkara ini sama Puteri Bening anak kita”
Diluar Istana, sinar mentari sudah terhadang awan hitam. Mendung hampir menyelimuti semua sisi langit negeri Bertuah. Hari semaki gelap padahal matahari belum terbenam. Sesekali terdengar suara petir. Itu petanda bahwa hujan lebat akan datang tak lama lagi.
Ternyata benar, hujan pun turun dengan deras. Sangat lebat sekali. Petir sahut menyahut. Badai angin kencang seakan menari-manri. Sepertinya, baru pertama kali negeri Bertuah ini mengalami hujan selebat ini yang disertai dengan angin kencang, petir dan badai topan.
Waktu terus berlalu. Raja Ali, Puteri Tempayan dan Ratu Puteri Bening baru saja selesai makan malam. Mereka kemudian meninggalkan ruangan makan menuju ruang peristirahatan keluarga Istana. Para pengawal diminta untuk meninggalkan tempat itu. Nyaris tak ada penjagaan lagi disana. Tempat itupun diyakinkan bebas dari keberadaan manusia lain sehigga tak ada yang bisa menangkap pembicaraan mereka bertiga.
“Ananda, Ayahnda ingin menjelaskan sesuatu yang sangat penting”, kata Raja Ali.
“Ampunkan Hamba Ayahnda. Sesungguhnya Hamba sudah mengetahui semuanya. Hamba rela dan ikhlas melepaskan kepergian Bunda”, jawab Puteri Bening.
“Bagaimana Ananda bisa mengetahuinya, sementara kami belum pernah menceritakkan hal ini kepada Ananda ?”, tanya Raja Ali.
“7 hari yang lalu, Ananda bermimpi bertemu delapan puteri cantik dari Kayangan. Mereka semua saudara kandung Bunda”, balas Puteri Bening lagi
“Apa, Ananda mimpi bertemu saudara Bunda ?” tanya Raja Ali heran.
“Benar Ayahnda. Dan mereka telah datang menjemput Bunda tadi petang. Mereka menjelma menjadi burung merpati. Mereka menyampaikan pesan Raja Tirta agar Bunda kembali ke Kayangan”, kata Puteri Bening sambil menangis sedih.
Susana berubah menjadi hening. Mereka bertiga larut dalam kesedihan.
Waktu berlalu tak dapat ditahan. Fajar mulai menyingsing. Puteri Tempayan yang ditemani suami dan anaknya berjalan menuju depan Istana. Hujan lebat belum juga berhenti sejak tadi. Tiba-tiba terlihat cahaya dari langit. Seketika hujan pun berhenti. Ajaib. Tak ada setetespun air yang jatuh dari langit. Luar biasa. Hujan lebat bisa berhenti seketika.
Diatas langit terlihat delapan puteri cantik dengan pakaian yang indah. Mereka menggunakan pakaian kebesaran kerajaan. Perhiasan yang mereka kenakan berkilau melebih kilauan mutiara laut. Sepintas kedelapan puteri cantik itu seperti Ibu Peri dalam film-film dan dongeng-dongeng tentang kehidupan. Semuanya menggunakan Mahkota yang terbuat dari berlian. Sungguh menakjubkan.
Ratu Puteri Bening dan Ayahnya Raja Ali kali ini telah siap melepas orang yang paling mereka sayangi. Mereka yakin, dalam kehidupan memang tidak ada yang kekal abadi. Semuanya akan berakhir. Hanya waktu yang menentukan kapan saatnya mereka akan berjumpa dan saatnya berpisah. Ada waktunya dimana sebuah peritiwa itu mulai, dan akan berakhir. Ada awal pasti ada akhir.
Sebelum naik kelangit menyusul saudara-saudaranya yang telah menanti sejak tadi dan supaya mereka bisa bersama-sama menuju ke Kayangan, Puteri Tempayan memperkenalkan satu persatu kakak-kakaknya. Sejak dahulu, Puteri Tempayan belum pernah bercerita tentang asal usul dirinya dan keluarganya secara panjang lebar.
“Izinkan Adinda menjelaskan keberadaan mereka wahai Kanda”, kata Puteri Tempayan meminta persetujuan suaminya.
Raja Ali mengangguk petanda menyetujuinya. Namun belum sempat Puteri Tempayan melanjutkan penjelasannya, salah seorang puteri cantik diatas langit itu berucap.
“Cukup ! Waktu kita hampir habis. Fajar sudah menegur ku”, katanya.
“Sebentar saja Kanda Puteri Awan. Beri Dinda sedikit waktu sebelum mereka Dinda tinggalkan”, kata Puteri Tempayan berharap kepada kakaknya yang pertama.
“Tidak, Puteri Tempayan ! Kami tidak mau berkhianat kepada Ayahnda Raja Tirta. Kami tidak ingin Baginda murka dan malapetaka menimpa kita”, kata Puteri Awan.
“Tolonglah Kanda”, harap Puteri Tempayan lagi.
Tiba-tiba sekujur tubuh Puteri Tempayan terangkat kelangit dengan begitu cepat. Di bumi terdengar teriakan Puteri Bening memanggil-manggil nama ibunya.
“Lihatlah disekeling Istana. Ada sembilan Tempayan (Kendi/Gentong) berisi air dan tulisan prasasti disana”, kata Puteri Tempayan terus menghilang.
Tak disangka-sangka, hujan lebat disertai angin, petir dan badai datang kembali. Raja Ali dan Puteri Bening segera meninggalkan halaman Istana menuju ketempatnya masing-masing.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H