Mohon tunggu...
Kherjuli ,
Kherjuli , Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ada disini : http//kherjuli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Catatan Reuni: Wajah Bidadari Kecilku

11 Maret 2013   01:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:00 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Fiksi. Karya : Kherjuli

Pagi itu, mentari tidak seperti tiga puluh tahun yang lalu. Sinarnya tak lagi mampu menembus lantai semen halaman SMP 3 yang relatif sempit. Bukan karena tertutup bangunan baru atau terhadang awan hitam, tetapi karena terhalang kain parasut yang disusun berjejer.

Ada sekitar tujuh buah tenda yang sengaja disusun pihak sekolah dan panitia reuni akbar. Keberadaannya menutupi dua pertiga dari luas halaman sekolah itu. Sinar mentari hanya mampu menyentuh kurang dari sepertiga luas lantai semen. Karena telah singgah diatas kepala pembawa acara dan mereka yang sedang menghibur para alumnus angkatan tahun 1966 hingga 2012.

Tiga puluh tahun yang lalu, aku dan teman-teman tidak pernah merasakan suasana seperti itu. Tidak pernah duduk atau berdiri dibawah tenda, di halaman sekolah.  Diatas kepala kami hanya ada langit dan matahari. Sinarnya menyengat, menembus seragam olah raga yang terbuat dari kain katoon.

Warna seragam kaos olah raga itu merah tua bercampur hitam. Dibagian belakang tertulis “SMP NEGERI 3” yang disablon tebal setengah lingkaran melingkar keatas. Warna dasar gelap membuat sinar mentari betah singgah di badan. Gerah sekali rasanya. Bahkan, keringat yang keluar dari ketiak ku tak berfungsi sebagai pendingin. Tetapi sebaliknya, semakin membuat tubuh ini serasa dipanggang.

Aku dan teman-teman sering berkumpul di halaman sekolah ini saat pelajaran olah raga tiba. Hati terasa senang. Karena pelajaran olah raga tidak terlalu menuntut aku harus berpikir, menghafal, membaca, menulis dan berkata-kata. Tidak seperti pelajaran matematika, atau bahasa Inggris.

Meskipun demikian, aku benci dengan baris-berbaris. Padahal, itu termasuk bagian dari olah raga juga. Tak tahu, lutut ini selalu bergetar dan betis terasa sejuk kalau disuruh baris berbaris. Dari pada  baris berbaris, lebih baik aku memilih push up atau scot jump. Pokoknya, aku tidak suka baris berbaris.

Ternyata, Pelajaran Baris Berbaris (PBB) juga memerlukan kesiapan pikiran dan insting. Otak kecil ku terasa terusik dengan sejumlah aba-aba. Kuping harus dibuka lebar. Mata tertuju kepada sosok instruktur yang tak lain adalah guru olah raga yang dikenal sangat tegas dan disiplin serta sedikit strong man. Mungkin itu sebabnya yang membuat lutut dan betis kalah sebelum berlaga.

“Haluan kiri maju,… jalan !”

Itu merupakan salah satu dari sekian banyak aba-aba yang harus diingat. Kalau lupa, penggaris panjang yang terbuat dari kayu, singgah dipantat. Kalau berulang kali melakukan kesalahan, dari pantat beralih ketas ubun-ubun.

“Keletuk !”

Terasa sakit dan malu juga. Sudahlah sakit, ditertawakan lagi sama teman-teman. ironisnya, teman-teman ku juga tidak terlalu pintar PBB. Sama seperti diri ku. Hanya saja, nasip dan keberuntungan lagi berpihak dengan mereka. Dewa penyelamat sedang mendampinginya.

Tanpa disadari, aku telah larut dalam masa lalu ku. Walaupun sejenak, cukup mengasyikan juga. Sekarang, aku dalam suasana yang penuh sesak. Bersama ratusan alumnus dari semua angkatan.

Aku sedang mencari satu wajah. Ya, wajah yang pernah singgah di hati ku tiga puluh tahun yang lalu. Wajah yang pertama kali mengenalkan aku dengan cinta monyet, cintanya anak ingusan. Wajah yang membuat aku sering melamun, menghayal, tak enak makan dan susah tidur. Wajah yang membuat jiwa ini terbang melayang keangkasa.

Waktu terus berlalu. Aku masih belum menemukan wajah itu. Hampir 700 lebih wajah alumnus yang ada di sekolah itu. Ada yang sedang duduk dan berdiri dibawah tenda dan ada pula yang sedang lalu lalang. Mata ku melirik kesana sini. Hati kecil ku berharap dapat menemukan wajah itu. Namun Tuhan belum mengizinkannya. Aku bingung, mau cari kemana lagi ?

Matahari sudah mau tegak. Acara yang disiarkan secara luas melalui Radio, tiba-tiba terhenti. Ada sedikit gangguan akibat aliran listrik padam. Namun acara Reuni Akbar yang baru pertama kali diselenggarakan sejak sekolah itu berdiri pada tahun 1965 terus berjalan sampai dipenghujung.

Aku berpaling untuk menatap langit. Sinar mentari terasa menyengit. Wajah wanita yang ku cari belum juga ketemu. Padahal, aku yakin sekali sangat mengenal wajah itu. Walaupun usianya sudah bertambah 30 puluh tahun, namun wajahnya tak mungkin bisa dilupakan. Lagi pula diwajahnya memang ada tanda sejak lahir yang tidak bisa terhapus usia.

Aku semakin gelisah. Wajah yang kudambakan belum juga nampak. Sementara, wajah-wajah yang tak kuharapkan bermunculan. Banyak wajah yang tidak ku kenal menyapa. Sebagai tanda keakraban sesama para alumnus.

Dari sekian banyak wajah, ternyata ada yang mirip dengan Ibu ku dan ada pula yang mirip dengan paman dan bibi ku. Ada wajah-wajah yang seusia dengan kakak/abang dan adik ku, dan ada juga yang seusia dengan anak ku. Ada wajah yang pernah kulihat sewaktu sekolah disini dulu. Ada bapak dan ibu guru yang belum pensiun dan ada pula guru baru.

“Nah, itu dia !”.

Itu dia sosok wanita yang mengenal wajah yang ku cari. Sekarang dia sudah menjadi seorang Ibu. Meskipun demikian, tinggi badannya masih seperti tiga puluh tahun yang lalu. Tidak membungkuk atau menyusut karena beban hidup. Namun demikian badannya sedikit melar dan ada kerutan diwajahnya. Tetapi, dia masih kelihatan bersahaja. Hal itu dapat dilihat dari senyumnya, walau dari dikejauhan. Sepertinya, Ia seorang ibu biasa, bukan wanita karir atau istri seorang pejabat. Apalagi seorang selebritis. Dan politikus.

Padahal, dulu dia adalah siswi yang sangat cerdas dan menonjol didalam kelasnya.  Dari sekian banyak siswi, dia mewakili kuota 30 persen kecerdasan dan prestasi perempuan didalam kelasnya. Ia selalu membela kepentingan kaumnya didalam kelas.

Memang, kecerdasan diwaktu kecil tidak menjamin seseorang selalu bernasib baik dan beruntung diusia dewasa dan usia lanjut. Ada yang dikala kecil biasa-biasa saja, tetapi setelah dewasa menjadi orang yang beruntung dengan segudang gelar dan pangkat kehormatan. Adapula yang semasa kecilnya tidak terlalu pintar dan bandel, eh malah menjadi orang yang sukses menggapai karir dan prestasi.

Soal nasip dan keberuntungan memang menjadi hak Tuhan. Oleh karena itu, aku selalu tidak sependapat bila reuni dijadikan ajang perbandingan nasip seseorang. SMP bisa sama, tapi nasib orang siapa yang tahu. Kelas boleh sama tapi tak semua bisa sama-sama beruntung. Nasip seseorang tidak bisa diseragamkan.

Mungkin sudah kodrat alam, yang menonjol selalu diagungkan dan yang kurang, menenggelamkan diri dalam minder dan rasa malu. Itulah sebabnya kenapa kegiatan reuni terkadang dianggap kegiatan yang kurang bermanfaat dan tidak mendapat simpati. Namun banyak pula yang tidak setuju dengan pandangan itu. Buktinya, walau ada beberapa orang yang ditonjolkan dalam reuni, yang lainnya tidak berkecil hati. Mereka datang untuk bernostalgia. Yang ditonjolkanpun sadar diri. Memberi kontribusi dengan nilai yang lebih tinggi. Tapi ada pula yang bikin sebel. Sudah ditonjolkan, malah gak mau peduli.

Wajah perempuan setengah baya itu memang jarang tampil dimuka public. Photo dan namanya tidak pernah ku lihat di media. Jangankan media cetak dan elektronik (TV), di media jejaring sosial yang murah meriah saja tak pernah. Tak tahu apa alasannya.

“Di mana ibu itu tadi ?”, dalam hati ku berkata. Bola mata ku tertutup lalu lalang para alumnus dari berbagai angkatan. Tubuhnya yang tinggi semampai, tertutup tubuh-tubuh lain yang sama tinggi atau lebih tinggi darinya. Wajahnya menghilang ditengah kerumunan.

Aku merasa kelabakan, kehilangan satu sosok wajah dan satu sosok wajah yang sampai detik ini belum juga ketemu. Informasi tentang sosok wajah penting yang sedang kucari, tak berhasil kudapatkan. Aku yakin, andaikan bisa bertemu dengan perempuan tadi, tentu dia tahu sosok wajah yang sedang aku cari. Dia pasti ingat, “”sepasang monyet” sedang bercinta di kantin sekolah. Saat itu, dia dengan setia menjadi “mak comblangnya”. Dia adalah saksi hidup dari sebuah kado yang kuterima dari temannya di hari Valentin.

Jumlah alumnus sudah semakin berkurang. Susasana di sekolah sudah mulai lenggang. Leher ku terasa tegang. Dari tadi menoleh arah kiri, kanan, kedepan dan kebelakang. Dua sosok wajah yang ku cari, belum juga bertemu.

Aku pasrah dan tak ingin membuat sahabat-sahabat ku yang ada disekolah ini curiga. Memang, sejak tadi mereka memperhatikan gerak-gerik ku. Aku tak ingin dibilang kurang bersahabat. Aku merasa berdosa telah membiarkan wajah-wahaj mereka ditatap dengan seadanya. Padahal mereka semua teman sekelas dan seangkatan ku yang yang baik hati dan lucu.

“Maafkan Aku duhai sahabat kepompong”. Lirih ku.

Hampir tiga jam sudah berlalu. Semua rangkaian kegiatan sudah dilewati dengan penuh hikmat dan meriah. Aku harus meninggalkan SMPN 3 yang penuh dengan cerita indah dan ilmu pengetahuan. Ya, banyak sekali ilmu pengetahuan yang aku dapatkan disini. Termasuk, ilmu tentang bagaimana sepasang monyet bercinta. Ilmu alam yang tidak didapat dari guru.

Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil menyapa ku dari belakang. “Om, om, ini Oom punya”, tanya dia. Aku menoleh kebelakang dan terkejut menatap wajah cantik ibu setengah baya yang menggunakan kerudung berwarna ungu. Tuhan telah mempertemukan aku dengan wajah yang penuh arti.

“Osi ?”, tanya ku

“Eh, Rizal ya ?” tanya dia

“Iya, Aku Rizal”, jawab ku

“Qori gak datang ya dan dia ada dimana sekarang ?” tanya ku lagi

Osi diam sejenak. Sementara, anak kecil berusia kurang lebih 4 tahun disampingnya tengah memperlihatkan sebuah benda ditangannya. Ia lalu berkata, “Ini Oom punya tadi jatuh”, katanya sambil memperlihatkan sebuah cincin perak yang bertuliskan “Qori 86”.

Aku mengambil cincin itu dari tangannya. “Terimakasih ya,.. namanya siapa ?”, tanya ku lagi.

“Priska Om”, jawabnya polos.

“Ini anak mu ya Osi ?”, tanya ku kepada Osi

“Iya, ini anak ku”, jawabnya. “Qori sudah meninggal Zal. Dia meninggal dalam kecelakaan lalulintas di Banjirmasin tujuh hari yang lalu”, jelasnya.

Dalam hati ku berkata, “Tuhan, tempatkanlah Qori disisi Mu. Jadikanlah dia sebagai kekasih Mu. Karena sesungguhnya, janji mu tentang kematian adalah benar. Dan aku pasti menyusulnya. Ampuni dosa-dosanya. Amin ya robbal alamin”.

Aku tak berdaya. Ternyata wajah yang ku cari telah menghilang untuk selamanya. Sekarang dia berada di alam kubur. Semoga dia diberikan kesenangan dalam menghadapi penantian, dan bila sampai waktunya nanti, akan dimasukkan kedalam surga.

Selamat jalan bidadari kecil ku. Semoga Allah mencintai mu. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun