Mohon tunggu...
Kherjuli ,
Kherjuli , Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ada disini : http//kherjuli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-Bayang Berdoa

25 Desember 2012   09:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:04 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Kherjuli

Dari belakang pintu kamar Bidan berukuran tiga meter persegi, aku menatap bayang-bayang lelaki ditembok dinding disebalik ruang persalinan. Bayang-bayang itu terlihat dengan jelas. Jaraknya lebih kurang 3 meter dari tempat ku berdiri.

Saat itu, aku tengah mendampingi istri tercinta yang baru beberapa menit yang lalu selamat melahirkan buah hati kami yang ketiga. Istri ku baru saja dipindahkan dari ruang persalinan. Karena Ia  belum kuat naik ke lantai dua ke kamar kelas I tempat kami diinapkan, maka untuk sementara waktu, Bidan meminta kami berada di kamar mereka yang letaknya bersebelahan dengan ruang persalinan. Saat itu, ada dua pasien lagi yang akan dieksekusi di ruang persalinan.

Aku penasaran dengan gerak gerik bayang-bayang itu. Aku keluar melihat sumber bayang-bayang itu. Ternyata, si Apek yang sedang berdo’a menurut agama dan keyakinannya.

Apek tidak sendirian. Di lorong berukuran lebar 1 meter dan panjang 3 meter itu, Ia didampingi istri dan anak perempuannya. Di tempat yang dilewati tenaga medis, pasien dan keluarga pasien itu, Apek membacakan paritta dengan suara lantang dan sikap doa yang teratur. Ia berdoa dengan khusyuk, agar cucu perempuannya yang sejak tadi meraung kesakitan, diberikan kemudahan dan selamat dalam proses persalinan.

Apek adalah panggilan lelaki Tiong Hoa yang sudah berusia lanjut. Bagi orang yang sudah lama menetap di Tanjungpinang, panggilan Apek sudah tidak asing lagi. Apek sama dengan Kakek/Opa/Eyang.

Aku tidak bisa berlama-lama dan harus segera kembali mendampingi istri ku yang tengah menahan sisa-sisa kesakitan pasca melahirkan. Aku mendekat dan memegang tangannya erat-erat untuk menyatu merasakan kesakitan itu.

Dari dalam ruangan bidan, suara Apek sudah tidak lagi terdengar. Aku tidak tahu, apakah Apek sudah berhenti berdoa. Dari balik tembok, jeritan cucunya juga hilang timbul. Sesekali diam dan hanya terdengar suara dokter yang menuntun cucunya untuk ngedan dengan benar.

“Ayo Che, seperti beol. 1, 2, 3 !” kata dokter berulang-ulang kali, dari ruang persalinan.

Aku terbayang istri ku pada detik-detik yang menegangkan. Perjuangan seorang Ibu dalam pertarungan yang beresiko tinggi. Dari literature yang pernah ku baca, dan cerita yang pernah ku dengar, reproduksi bisa berakhir kematian. Angka kematian ibu melahirkan menjadi focus perhatian ku saat itu. Tentu aku tidak menginginkannya. Aku ingin, yang melahirkan dan yang dilahirkan bisa selamat. Seperti istri dan anak ke tiga itu. Sebab, perkembangan dunia medis sudah semakin maju. Tidak seperti dulu yang hanya ditangani dukun beranak dan peralatan seadanya. Sekarang, prosesi persalinan sudah dilengkapi dengan peralatan dan tenaga medis yang berkwalitas. Semoga dapat mengatasi kerisauan telinga dan hati ku ini.

Ya Allah, sesungguhnya hanya Engkau yang Maha mengatur dan menentukan perjalanan hidup umat manusia. Berilah keselamatan kepada mereka”, hati kecil ku berdo’a.

Tadi waktu datang, Mama lihat Cina itu sudah lemah. Badannya kurus”, kata Istri ku.

Istri ku ternyata ikut merasakan apa yang aku rasakan dalam hati. “Iya. Yang ngomong sama Mama tadi itu, mamaknya. Nyonya dan Apek disamping mamaknya itu adalah nenek dan kakeknya”, jelas ku.

Mudah-mudahan gak apa-apa ya Pa”, harap Istri ku dengan hati yang tulus. “Allah Maha mengatur dan menentukan segalanya”, jawab ku tegas.

Suasana dari ruang persalinan terasa sangat menegangkan. Teriakan dokter semakin terdengar. Lalu lalang bidan dan keluarga pasien menambah kecemasan. Tenaga pasien sudah semakin lemah. Itu dibuktikan dari teriakannya yang kian redup. Tetapi, dokter dan bidan sepertinya tidak mau putus asa. Sudah menjadi sumpah profesi mereka dalam menjalankan tugas-tugas kemanusian. Sungguh mulia apa yang mereka lakukan. Kemulian itu, tentu tidak sebanding dengan nilai nominal yang harus dibayarkan keluarga pasien. Tidak sebanding dengan gaji dokter, bidan dan petugas kebersihan yang bekerja pada klinik bersalin itu.

Aku bisa merasakan, betapa pertolongan Tuhan sangat diharapkan lewat tangan-tangan mulia mereka. Andaikan para medis itu tidak melibatkan Tuhan dalam urusannya, mungkin hati kecil ku akan berkeyakinan lain. Harapan ku tertumpu pada ilmu pengetahuan dan canggihnya peralatan medis buatan manusia saja. Tetapi, sejak pertama kali masuk dan berurusan dengan dokter di klinik itu, campur tangan Tuhan yang ada pada diri dokter dan bidan-bidan di klinik itu, benar-benar dapat aku rasakan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk melakukan prosesi persalinan istri ku dengan mereka di klinik bersalin itu.

Padahal, sebelumnya kami sudah konsultasi dengan dokter spesialis kebidanan yang lain secara intens. Walaupun demikian, hati ku kecil tidak menjadi tegar. Hasil konsultasinya tidak membuat hati ku menjadi lapang. Aku tidak merasakan adanya campur tangan Tuhan disana. Meskipun apa yang disampaikan dokter itu semuanya benar menurut dunia medis dan ilmu pengetahuan. Tetapi hati ku berkata lain.

Ketika usia kehamilan istri ku sudah memasuki “siaga satu” (tinggal menunggu hari saja), aku memutuskan untuk mencari dokter yang lain. Akhirnya, kami sampailah ke Klinik Bersalin yang berada di tengah kota Tanjungpinang. Tak jauh dari Taman Kota yang teduh dan hijau.

Hari pertama mendaftar, kami tidak jadi konsultasi. Aku pun hanya sampai di ruang parkir yang disesekai pengunjung. Istri ku bilang, dokternya lagi gak ada. Lagi ke rumah sakit melakukan operasi sesar. Waduh, seram mendengarkan kata sesar itu. Kami pun pulang dan memutuskan akan datang kesini lagi besok.

Hari berganti. Sesuai prosedur dan seperti biasanya, kami harus antri menunggu panggilan. Aku belum bertemu dengan dokter yang akan memeriksa istri ku saat itu. Begitu aku duduk diruang tunggu, aku menatap kalimah Allah diatas pintu ruang dr. Muhibah, SpOG. Saat itu pula aku memutuskan untuk menjalani prosesi persalinan istri ku di klinik itu. Hati ku merasakan, kebesaran Allah ada disini, diatas segala-galanya. Melebihi kebesaran makhluk, canggihnya peralatan dan majunya ilmu kedokteran.

Tuhan pun mendengarnya. Istri ku sudah mulai sakit-sakitan. Jarum jam menunjukan pukul 09.32 wibb pada 22 Desember 2012. Setelah beberapa menit menunggu, sampailah pada giliran kami. Aku bertemu dengan dokter dan mendengarkan arahannya. Pada pukul 10.00 wib dokter langsung perintahkan istri ku menginap. Tepat pukul 03.00 wib pada 23 Desember 2012, Allah memberikan kami anak lelaki dengan berat 3.5 kg dan panjang 55 cm. Alhamdulillah. Semoga menjadi anak yang saleh dan pemimpin di negeri ini.

Mata ku kembali menatap kearah pintu. Telinga ku kembali mendengarkan seksama riuh suara dari balik tembok dinding ruang persalinan. Lagi, bayang-bayang berdoa dan tuntunan ngedan. Kali ini berbeda, bayang-bayang itu tidak sendirian. Ada yang rambutnya ngembang dan ada pula yang seperti tadi. Siapa lagi kalau bukan Apek dan Nyonya istrinya yang tengah berdoa.

Aku dan istri ku sudah pindah ke ruangan atas di lantai 2. Disini, ditempat ini pun aku melihat sosok bayang-bayang lelaki yang tengah berdoa. Kali ini aku yakin, bahwa sumber bayang-bayang itu adalah seorang muslim. Ternyata benar, Pendi sahabat akrap ku yang tengah berdoa selepas sholat hajat di ruang inap. Dia kehadirat Allah, atas kelahiran anak ketiga kami. Pendi memang sejak pukul 09.00 wib tadi menemani ku menghadapi saat-saat menggemparkan bagi seorang istri, wanita dan juga ibu. Yaitu, saat-saat akan melahirkan.

Selesai berdoa, Pendi menghampiri ku. “Syukur Alhamdulillah ya. Oh ya, si Rizal anak mu baru juga tertidur. Sejak tadi dia menunggu kehadiran adeknya”, kata Pendi sambil menunjuk kearah Rizal anak kedua ku.

Hanya itu yang diungkapkan Pendi. Aku mengangguk dan tak mampu banyak berkata-kata lagi. Dalam diam, kami mencoba merenung sejenak sembari melepaskan lelah. Beberapa saat kemudian, suara tangisan bayi dari lantai bawah terdengar. Mata ku tertuju pada kalimah Allah yang dipajang di setiap pintu masuk dan di beberapa dinding klinik. Ada kalimah Allah dan Muhammad. “Ya Allah, Engkaulah yang maha mengatur dan menentukan tiap waktu perjalanan hidup manusia”, hati kecil ku berkata.

Tak lama kemudian, Apek naik ke lantai dua. Aku bertanya, “selamat Pek ?” Tanya ku.

Selamat semua li. Anaknya laki-laki li” jawab Apek dengan logat mandarinnya yang tak hilang.

Semoga cicitnya menjadi pengusaha besar dan baik hati di negeri ini sudah besar nanti.

********

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun