“Nama kamu siapa…?” –mengulurkan tangan.
“Apalah arti sebuah nama..” jawabnya, lalu membelakang – nggak sopan bangets.
Yang bertanya akhirnya menggerutu, lalu ngelap-lap tangan yang tadinya udah diulurkan, lalu ditaroh dalam saku lagi. Disimpen, biar tahan lama..
”Ni orang dapat pengajaran dari mana ya... Cuma pengen tahu namanya aja pedit banget... padahal aku kan tidak bermaksud apa-apa dengan nama itu, apalagi mau dibawa kedukun...” Gumamnya. Tapi kemudian ia membatalkan niat buat ninggalin orang itu. Ia ingin tau dengan sejelas-jelasnya, apa alasan yang membuat ia bersikap angkuh nggak jelas seperti itu. Lalu ia kembali menghampiri. ”Trus, kalau sebuah nama itu tak berarti, aku bisa manggil kamu apa?”
”Sebuah nama tidak memberikan dukungan apa-apa terhadap diri saya. Kalau saya terlahir goblok, meski dikasih nama Habibie pun takkan membuat saya jadi cerdas. Nama bukanlah sebuah eksistensi, tapi hanya sekedar pembungkus, simbol. Saya tak suka bergantung pada hal yang tidak substansial...”
”Okelah kalau begitu.... bagaimana kalau anda kupanggil Jerapah...”
Beletakk...!
Sebuah bogem belum matang mendarat dikening yang bertanya itu.
“Apa maksud kamu manggil saya jerapah….Haa??!!” sergahnya dengan hardikkan 90 decibel.
Ngusap-ngusap dengkulnya – padahal yang sakit jidat – ia menatap lelaki yang telah memukulnya itu dengan tajam, ingin mencabik-cabik ketololan, kesombongan, entah apa namanya, yang kini bersarang ditubuh manusia dihadapannya itu.
”Bukankah nama itu hanya bungkusan saja, tidakkah begitu ucapanmu tadi? Sekarang jelaskan pada saya mengapa anda memukul saya. Kalau jawaban anda salah, saya akan membalasnya dengan tonjokkan yang setimpal...”
”Kamu tahu, seperti apakah harumnya bunga Mawar itu?”
”Saya tahu, tapi itu bukan jawaban yang bisa membatalkan niat saya membalas pukulanmu”
”Benar-benar bunga yang menakjubkan, bunga itu pasti bangga dengan aroma yang dimilikinya. Sehingga ia tidak akan merasakan efek buruk apa-apa padanya walau ia tidak dinamai dengan Mawar. Sedangkan Jerapah... tidakkah kau sadar bahwasanya bahwa nama yang telah engkau lekatkan pada saya itu sudah dimiliki sebuah eksistensi, itu merampok. Dan juga itu sama sekali tidak cocok dengan martabat eksistensi saya.”
“Jawaban yang salah…Rasakan pembalasanku… ciaattt…!”
Beletakk...
”Piye tho...?” Meraba-raba keningnya yang sudah di toyor itu....
“Bisa sedikit kutolerir, tetapi engkau tetap telah mengerdilkan arti dari sebuah simbol, pembungkus. Sekarang kupikir kau telah mengerti jika nama itu adalah sebuah integritas, bukan tidak berarti seperti yang telah engkau ucapkan semula. Bisakah engkau hidup dengan mengabaikan pembungkus, simbol-simbol? Kurasa tidak. Sekarang pergilah, dan lipat idealismemu itu dalam lemari.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H