Pengertian Kepemimpinan
Dalam bahasa Inggris, pemimpin disebut leader dari akar kata to lead dan kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership.
Menurut istilah kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan Pesantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren memiliki ciri-ciri yang unik yang tidak dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan lain.
Secara sosiologis munculnya pesantren merupakan hasil dari rekayasa individual yang merasa berkompeten untuk menularkan ajaran Islam dan secara ekonomis lumrahnya mapan, sehingga wajar jika berkembangnya pesantren sangat diwarnai oleh tokoh (sebut kyai) yang mengasuhnya.
Secara umum pesantren memiliki masjid, pondokan, santri, kyai, dan pengajian tradisional. Hubungan kyai dan santri sangat erat. Para santri menganggap kyai sebagai sentral figur sehingga mereka menaati segala nasihat dan petuahnya. Bahkan ketaatan semacam ini menjadi doktrin di pesantren.
Aspek Edukatif
Pendidikan pesantren pada umumnya bertujuan untuk mencetak ustaz, kyai muda, dan ulama, mereka yang sangat mendalam ilmu agamanya. Namun sebagai pesantren mengaitkan tujuan memperdalam ilmu agama dengan ketajaman mencerna problem kehidupan dan alternatif pemecahannya.
Tujuan yang sangat ideal dan ambisius hendak dicapai oleh pesantren dengan menerapkan kajian- kajian kitab kuning (sebagian besar kitab klasik), yang mencakup tauhid, fiqh, sejarah Islam, akhlak, dan ilmu alat (Nahwu, sharaf, dan semacamnya).
Karena independennya, pesantren bebas menerapkan 24 jam operasional belajar. Tidak ada larangan bagi pesantren untuk mendidik santrinya pada tengah malam asal kyainya menghendaki. Sebaliknya, tidak ada larangan pula bagi pesantren untuk meliburkan santrinya kapan saja, asal dikehendaki oleh kyai.
Jadi sistem belajarnya sangat tergantung pada kemauan dan kesempatan kyai. Proses transformasi keilmuan umumnya melalui one-way-communication. Dengan cara ini kyai atau ustaz menjadi sumber utama pengetahuan dan kebenaran di dunia sementara santri menjadi sosok yang tidak mengerti apa pun.
Aspek Kultural
Mungkin pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah mengembangkan suatu kultur unik, yang tidak dimiliki oleh lembaga lain. Aspek kultural yang dikembangkan di pesantren mencakup konsepsi barakah, tawadu’, hormat, ikhlas, haul, ijazah, rida, dan semacamnya. Aspek kultural ini sangat men- dominasi sistem pesantren tradisional, bahkan sering kali aspek-aspek ini mengalahkan aspek edukasinya.
Banyak yang mengatakan bahwa untuk sukses di pesantren harus melalui konsepsi- konsepsi tadi. Sepandai apa pun seorang santri, ia tidak akan berguna di masyarakat manakala ia tidak mendapat barakah dari kyainya. Aspek kultural ini kemudian membentuk ketergantungan dan penghormatan tinggi di kalangan santri kepada pesantren (kyai).
Aspek Politis
Pesantren juga memiliki sistem politik sendiri. Di tengah-tengah masyarakat kyai merupakan sosok yang diperhitungkan di masyarakat. Aspek politis tampak pada upaya untuk mempertahankan dan memperkuat diri pesantren tersebut.
Contohnya adalah: santri pesantren tertentu tidak dibenarkan untuk menimba ilmu di pesantren lain. Banyak juga para pesantren yang lebih senang dikunjungi orang bermobil atau pejabat dari pada orang jalan kaki. Kesenangan ini tidak dimaksudkan untuk mendapatkan uang, tetapi lebih kepada kebanggaan oleh karena yang datang ternyata orang penting pula. Tamu orang penting menggambarkan penting pula penerima tamu itu.
Dalam hubungan pernikahan ada tiga pilihan oleh kebanyakan kyai: mantu kaya, keturunan kyai, atau pejabat. Orang biasa meskipun pintar hampir tidak pernah menjadi menantu kyai. Hal-hal seperti ini dapat memperkuat posisi politis pesantren di masyarakat.
Aspek Ekonomis
Pesantren tampaknya harus bangga dengan kejelasan pasar yang ada. Artinya, masyarakat kita masih menaruh harapan besar pada pesantren, dus mereka masih banyak yang berminat memasukkan anaknya di pesantren. Dengan demikian, pesantren memiliki nilai ekonomis yang luar biasa. Di sini maka wajar jika kemudian sebagian pesantren mengembangkan bidang usaha.
Andaikan saja sebuah pesantren memiliki 10.000 santri, maka dapat dikatakan ekuivalen dengan giant cooperation. Dengan tinggalnya para santri di pondok, pesantren bisa mengembangkan usaha katering dengan menu kelas santri dan dengan harga normal. Apabila seorang santri makan 3x sehari dengan harga Rp 15.000 maka omzet harian pesantren adalah Rp. 150.000.000. Ini gross income yang sangat besar.
Restoran terbesar bahkan termurah di Surabaya tidak akan pernah melayani 10.000 orang setiap hari. Tapi pesantren mampu. Hal ini sangat bisa dilakukan karena santri pasti menerima dengan dalih peraturan pondok, sungkan kyai, dan semacamnya.
Aspek Kepemimpinan
Secara tradisional kepemimpinan pondok pesantren sangat ditentukan oleh kondisi pesantren itu sendiri. Pada umumnya, khususnya pesantren kecil, kepemimpinan pesantren ditentukan oleh kyai atau yang punya pesantren.
Bagi pesantren yang besar kepemimpinan pesantren ditentukan melalui sistem musyawarah. Biasanya anak kyai yang mengganti memimpin jika big boss-nya telah tiada. Bahkan meskipun ada yayasannya pemimpin pesantren tidak ditawarkan secara transaksional dan demokratis, melainkan sistem monarki.
Keberlangsungan model kepemimpinan seperti ini kemudian sebagian orang menjuluki pesantren sebagai kerajaan kecil.’ Hal ini kemudian menciptakan kultur ekslusif: orang lain (bukan keluarga “ndalem”) tidak bisa masuk dalam struktur kepemimpinan. Tidak salah memang, karena kyai dan keturunannya yang mulanya membangun pesantren. Lalu mengapa harus diserahkan kepada orang lain? Sayangnya proses regenerasi yang lamban sering menghambat kemajuan pesantren.
Sampai-sampai putra kyai sendiri belum diberi kuasa memimpin kalau kyai utamanya masih ada. Sehingga ketika kyai meninggal dunia pesantren mengalami krisis kepemimpinan. Sayangnya pula karena doktrin monarki, pengganti first-man di pesantren tidak harus memiliki kapasitas keilmuan dan kepribadian serupa. Kalau ini yang terjadi degradasi kualitas tidak bisa dihindari. Kita melihat tutupnya pesantren hanya gara-gara krisis generasi. Namun, sekarang sudah banyak pesantren yang menggunakan cara demokratis dalam menetapkan pemimpinnya, terutama pesantren-pesantren modern. Dari sini maka dapat diketahui bahwa kepemimpinan pesantren tradisional lebih bersifat individual.
Namun pesantren yang sudah modern kepemimpinan yang diterapkan adalah kepemimpinan kolektif. Kepemimpinan kolektif ini terwujud karena pesantren sudah memiliki yayasan yang kepemimpinannya ditawarkan secara transparan dan musyawarah. Biasanya dalam pesantren ini pemimpin ditetapkan bukan atas dasar keturunan melainkan pemilihan secara demokratis. Mereka yang dianggap paling mampu memimpin pesantren tersebut dipilih secara musyawarah.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Imron. (1993). Kepemimpinan Kyai (Kasus Pondok Pesantren Tebuireng). Malang: Kalimasada Press Unduh.
Asrohah, Hanun. (2004). Pelembagaan Pesantren, Asal-Usul Dan Perkembangan Pesantren Di Jawa. Jakarta: Depag RI.
Badrudin. (2013). Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: CV Alfabeta.
Basri, Hasan dan Beni Ahmad Saebani. (2010). Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Hielmy, Irfan. (1999). Pesan Moral dan Pesantren: Menigkatkan Kualitas Umat. Menjaga Ukhuwah. Bandung: Nuansa.
Malik, Jamaluddin. (2005). Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian Dan Profesionalisme Santri. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Mulyasa. (2003). Manajemen Berbasis Sekolah (Konsep, Strategi dan Implementasi). Bandung: Rosda Karya.
Nata, Abuddin. (2012). Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja grafindo.
Shihab, Alwi. (2002). Islam Inklusif. Bandung: Mizan.
Cipta Syukur, Fatah. (2002). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Qomar, Mujamil. (2009). Pesantren Dari Transpormasi Metodologi Menuju Demokrarisasi Institus. Jakarta: Erlangga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H