Setalah shalat magrib, berdzikir, dan ngaji sejenak serta dilanjutkan makan malam. Para santri pun menuju dapur untuk menyantap makan malam. Tetapi, masih ada satu santri terdiam di dalam surau. Terlihat oleh Kyai Yafie, kemudian didekati dan ditanya.
"Nak, kenapa kamu masih berdiam di sini?" Tanya Kyai Yafie sangat lembut.
"Pak Kyai, saya masih kesal dengan kata-kata pemuda Belanda tadi. Sangat menjatuhkan harga diri kita sebagai santri sarungan," keluh santri ini.
Teman-teman sejawatnya biasa memanggil, Habib. Tumbuh kecil, tatapi jiwanya sangat besar. Sangat menjaga marwah seorang santri yang hanya dikenal sarungan di mata Belanda.
"Habib, tau apa yang harus kamu lakukan?" Tanya Kyai Yafie kembali.
"Tidak tau pak Kyai."
"Cukup tekuni agama Allah, maka akan dibukakan jalan oleh-Nya," Kyai Yafie mengajak Habib untuk segera makan. Dan Habib pun berdiri beranjak ke dapur.
Saat seblum tidur, Habib masih teringat kata Kyai Yafie, "Cukup tekuni agama Allah." Sampai pada akhirnya tertidur dengan pulas.
Hari-hari Habib semakin tekun untuk belajar di surau, bahkan Kyai Yafie selalu menjadikannya sebagai santri unggulan. Selalu dapat mencerna semua penjelasan ilmu fiqih, hadis, dan tafsir yang Kyai Yafie berikan. Sampai pada akhirnya, Habib mendapatkan kesempatan belajar di Haramayn.
Kyai Yafie sangat bangga karena anak didiknya bisa ikut melanjutkan pendidikan di pusat pendidikan Islam yaitu Makkah dan Madinah. 10 tahun belajar di Haramayn, ilmu keislaman Habib sudah banyak dikuasainya. Sampai pada saat pulang ke Indonesia, Habib bercerita pada Kyai Yafie.
"Kyai, saya baru sadar apa yang dikatakan Kyai tempo dulu," Habib mulai bercerita.