"Hey, kamu anak sarungan. Apa yang bisa kamu banggakan dengan hanya sarungan?" lontaran pertanyaan pemuda Belanda kepada salah seorang santri.
Zaman penjajahan, sekolah Belanda lebih menarik perhatian dari pada sebatas belajar di surau-surau kecil. Kurikulum yang digunakan oleh mereka sudah diangap modern di zaman itu, bahkan pakaian mereka identik dengan ber-jas. Ketika ada dari rakyat Indonesia didapati ber-jas, akan dianggap mengikuti gaya Belanda.
Pemuda Belanda lebih unggul, lebih dianggap memiliki kemampuan berbahasa asing lebih. Padahal hanya sebatas, Inggris dan Belanda. Tidak lebih. Tetapi, mereka sudah megakui dirinya hebat. Meledek para kaum santri yang sebatas sarungan di hari-harinya.
Ada sosok pemuda Belanda angkuh, datang ke sebuah surau kecil ketika sore hari. Dia bertemu dengan santri-santri sarungan di surau. Lantas, pemuda Belanda bertanya sombong.
"Kalian, hanya sebatas belajar di tempat-tempat kecil yang kumuh," ucapnya sekilas, kemudian beranjak pergi dengan pemuda-pemuda Belanda lainnya.
Seketika Kyai Yafie Amrullah keluar bertanya, "Ada apa anak-anak?"
"Ini kyai, ada pemuda Belanda lewat tadi menyombongkan diri," kesal salah satu santri mendengar kata-kata pemuda Belanda.
"Masalah sarungan, atau masalah tempat belajar kita kumuh?" Kyai Yafie menebak spontan.
"Nak, dengar sini. Kita ini masih dalam posisi dijajah oleh Belanda. Belum dapat berbuat banyak, selagi kita harus benar-benar mempelajari agama dengan baik. Menguasai semua perkara Fardu 'Ain terlebih dahulu. Baru mempelajari ilmu-ilmu lainnya," nasihat Kyai Yafie seketika.
Senja semakin meninggalkan jejaknya, berubah menjadi gelap. Tanda sudah akan memasuki waktu magrib. Para santri sudah bergegas bersiap-siap untuk shalat magrib. Sudah tidak menghiraukan perkataan pemuda Belanda sore tadi.