Mohon tunggu...
Khasbi Abdul Malik
Khasbi Abdul Malik Mohon Tunggu... Guru - Gabut Kata.

Panikmat Karya dalam Ribuan Tumpukan Kertas.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Nostalgia Ramadan: Trompet Sahur 7 Tahun Silam

12 Mei 2020   18:30 Diperbarui: 12 Mei 2020   18:27 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar dari Youtube

Tujuh tahun silam, ketika aku masih 'nyantri' di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur, banyak sekali kenangan bareng saat belajar, bergurau, bersedih, bahkan di beberapa momen-momen tertentu seperti Ramadan. Kisah-kisah ini masih hangat terbesit di benakku.

Pesantrenku terletak di daerah Ponorogo, dikenal dengan system kemodernannya. Masyhur dan besarnya pondok ini menjadikan diri ini mau tidak mau harus tertuntut untuk selalu menjaga nama baik pesantren. "Di jidatmu ada tulisan PM" (Pondok Modern)

Inilah yang selalu menjadi pesan handal bagi para alumninya. Walaupun pada faktanya, ada juga dari mereka menutupi identitasnya atau mungkin malu menjadi alumni pesantren. Dan seperti ini, tidak serta-merta pesantren yang dijadikan kambing hitam.

Karena semua yang terjadi kepada anak didiknya kembali kepada indivualnya masing-masing, meskipun tanggung jawab lembaga pendidikan menjadi sorotan di masyarakat. Pada dasarnya, pesantren adalah lembaga pendidik berbasis Islam, bukan pabrik pencetak manusia.

7 tahun silam, tepatnya pada saat bulan puasa berlangsung. Kami sebagai santri selalu sigap untuk mengikuti semua disiplin yang telah ditentukan oleh pesantren. Tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun masalah pendidikan di pesantren.

"Very Good, Very Fine, tidak mau ikut cari yang lain." Bagi yang tidak siap untuk mengikuti aturan pesantren, pintu sangat terbuka luas agar bisa menyekolahkan anaknya di lembaga lain.

Teringat sekali saat itu, ketika sudah menjelang sahur. Seperti biasa, rutinitas kami anak pesantren, tidak jauh dari mengaji, membaca kitab, menghafal al-Qur'an dan kegiatan bermanfaat lainnya. Semuanya telah diatur waktunya oleh pesantren.

Sahur seketika tiba, kami para santri selalu ada kisah di balik sahur bersama trompet menara "Pembangun Sahur," seperti ini bunyinya;


Trompet ini merupakan nostalgia terindah semasa Ramadan saat 'nyantri' dulu. Bahkan, di balik bunyi trompet ini ternyata banyak kisah lucu dan menarik yang terjadi di kalangan santri.

Salah satunya adalah kisah kawan kamarku. Saat trompet sahur sudah berbunyi dengan keras, tidak sedikit pun bergerak untuk segera bangun. Sampai akhirnya, kami berinisiatif untuk membangunkan dengan cara lain.

Trompet sahur biasanya berhenti ketika 30 menit menjelang imsak. Dan di pesantren biasanya penanda imsak dengan menggunakan Sholawat Tarhim;


Ketika trompet sahur tidak bisa membangunkan dirinya lagi, maka kami pun berinisiatif untuk membangunkannya dengan menggunakan soundbox, diputarkan Sholawat Tarhim sebagai penanda waktu Imsak.

Saat sudah terdengar lantang di kamar, kami kembali berusaha membangunkan untuk kesekian kalinya. Dan usaha kami pun tidak sia-sia. Dia terbangun sangat panik. Segera mencari piring.

Sesekali bertanya kepada salah satu dari kami, "Akalta?" (Apa kamu sudah makan?) Mereka spontan menjawab, "Sudah donk," Sambil menahan tawa.

Kami pun memberikan piring kepadanya, dan memerintahkan untuk segera beranjak menuju dapur. Karena, biasanya ada model-model sahur tipe mepet. Sahur, setelah pananda imsak berbunyi, dengan landasan masih belum terdengar adzan masih diperbolehkan untuk makan.

Begitupun dengan dirinya, segera bergegas menuju dapur seorang diri. Saat tiba di dapur. Dia terkejut, dengan suasana dapur karena masih ramai dengan antrian. Biasanya, ketika imsak berbunyi dapur sepi, hanya beberapa kelompok santri yang telat bangun.

Kemudian, dia mencari jam. Dan baru menyadari, ternyata masih ada waktu 30 menit lagi menuju imsak. Dia pun sedikit kesal dengan tingkah laku kawan kamarnya. Namun, dirinya tetap antri untuk makan sahur. Dan segera menghabiskan santapan sahur.

Ketika tiba di kamar. Aku bertanya, "Gimana lauknya? Enak bukan." Muka kesalnya mulai terlihat. Dan seketika kami pun tertawa mengingat kejadian kala dia panik untuk bangun sahur.

Setiap dari kami sadar, tidak dibangunkan saat sahur oleh kawan sekamar itu sakit, tapi tidak berdarah. Inilah upaya kami sebagai wujud solidaritas sesama santri. Beberapa menit kemudian, imsak terdengar dan dilanjutkan dengan adzan subuh. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun