Mohon tunggu...
Khasbi Abdul Malik
Khasbi Abdul Malik Mohon Tunggu... Guru - Gabut Kata.

Panikmat Karya dalam Ribuan Tumpukan Kertas.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Surau: Tempat Kembali dan Terlahirnya Orang-orang Hebat

30 April 2020   22:01 Diperbarui: 30 April 2020   22:16 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photografer: Ummul Faradhillah

Tidak ada tempat kembali terbaik terkecuali masjid. Sesibuk apa pun diri kita sebagai manusia, jangan lupa, bahwa rumah terbaik untuk kembali adalah masjid. Mari kita renungkan bersama lewat lirik yang dipersembahkan Pondok Modern Darussalam Gontor, untuk bersikap di tengah wabah covid-19.

Lihat selengkapnya:


Renungan dari lirik di atas mengingatkan pada diri manusia untuk tidak lupa terhadap Allah Sang Maha Pencipta, yaitu anjuran untuk segera kembali setalah banyaknya dosa yang telah diperbuat.

"Kembalilah wahai manusia, tundukkan wajahmu pada yang Maha Kuasa, tengadahkan tanganmu dan mulailah berdoa, niscaya nikmat-Nya selalu kan turun selamanya," begitu kiranya Reff lagu Kembalilah.

Sama halnya dengan kisah di Masjid al-Jami', Pondok Modern Darussalam Gontor Kampus 7 Putri, di sana tempat kembali terbaik yang pernah aku injakkan. Selain banyaknya singgahan di masjid-masjid sekitar Riau, hanya masjid al-Jami' menjadi titik goresan kisah bagiku.

Aku menggambarkan seseorang kembali ke masjid ini laksana bayi mungil, baru terlahir di dunia. Ia akan kembali suci setelah bersujud merendahkan diri di hadapan-Nya. Bersujudlah, ampunan Allah teramat besar.

Banyak kegiatan-kegiatan yang pernah aku lakukan untuk tetap kembali pada jalan-Nya. Selain menjadi sorang makmum, aku juga pernah menjadi imam shalat, bilal, khotib jum'at, dan mengajar anak-anak TPA.

Semua terangkum dalam kisah perjalananku menuju jalan yang diridhoi Allah. Sesekali pernah berbuat salah, kemudian kembali dengan segera. Tidak bosan untuk selalu meminta ampunan, taubat.

Makmum

Kisah menjadi makmun. Seorang makmum, wajib mengikuti imam. Apabila imam bersujud, makmum pun serupa, ikut bersujud. Namun, faktanya tidak semua makmum bisa mengkondisikan seperti ini. Biasanya, karena perbedaan sudut pandang madzhab.

Contoh pada qunut subuh, ada beberapa makmun yang aku temui ketika berjamaah di masjid ini, dengan tidak mengikuti imam saat berqunut subuh. Hal ini, aku sudah pahami lantaran berbeda cara pandang bermadzhab. Tidak masalah.

Lalu, apakah kita perlu menyalahkan jika ada makmum seperti ini? Tidak. Berbeda madzhab itu kasus furu'iyyah atau cabang dalam ajaran Islam. Melainkan jika masuk pada konsep tauhid atau usul, tidak boleh ada perbedaan.

Aku pernah merasakan hal memilukan saat menjadi makmum yaitu, terinjak kacatamata saat sedang berjamaah. Aku seringkali menaruh kacamata tepat di hadapanku. Dan di masjid al-Jami' tidak pernah sepi dengan anak balita yang berlarian ke sana-kemari.

Saat terlintas ada balita mungil berlari di shaf depan.  Konsentrasiku mulai terganggu, kemudian terjadilah hal yang tidak harus terjadi saat itu. Aku mendengar bunyi "Krek" bertanda, kacatamata handalku terinjak. Setelah selesai shalat, barulah aku amankan.

Dari kejadian di atas bagi orang berkacamata harus bisa mengetahui kondisi setiap masjid. Apabila ada beberapa anak-anak berlarian di sekitar masjid, bisa jadi akan berlarian di shaf-shaf shalat. Solusinya, taruhlah kacamata di tempat aman, di ketinggian yang tidak terjangkau oleh anak-anak. Nasib orang berkacamata.

Imam

Menjadi imam shalat bagi anak pesantren itu sebuah kewajiban. Terlepas dari bacaan atau makharijul hurufnya baik atau tidak. Tetapi, begitulah anak pesantren yang dididik untuk menjadi seorang imam. Tidak hanya imam shalat, tetapi imam keluarga juga, bahkan imam bagi rakyatnya sendiri.

Aku dibiasakan dan dididik dari masjid ini, masjid al-Jami'. Membiasakan belajar menjadi imam shalat. Sesekali lupa bacaan shalat, lupa rakaat ke berapa, dan lupa tidak membaca qunut, karena aku bermadzhab syafi'i. Tetapi itu semua adalah proses belajar bagiku.

Generasi muda, waktu mendekati masjid, waktunya kembali kepada masjid. Profesi apa pun kalian wahai anak muda, jangan sampai anti dengan masjid. Ingat, suatu saat nanti ketika benar-benar berada dalam titik terendah dalam hidup, kalian baru akan ingat, bahwa masjidlah tempat terbaik untuk kembali.

Bilal

Bilal selalu diidentikan dengan pemilik suara merdu. Tetapi bagiku tidak. Menurutku, bilal bagi anak muda adalah regenerasi muslim yang harus diestafetkan. Jangan-jangan, anak muda sekarang hanya trand pada hal-hal milenial saja. Dia lupa, cara adzan, lupa cara iqamah, dan lupa cara bilal tarwih atau jum'at.

Ada yang bilang, "Biarkan orang-orang masjid saja yang menguasai di bidang itu." Sebentar, taukah kalian siapa yang akan membisikan telinga kanan dan kiri ketika bayi baru lahir. Apa ibunya? Tidak, pasti ayahnya. Begitulah peran mendasar seorang laki-laki terhadap tanggung jawabnya. Untuk itu, biasakan hal tersebut dari dini.

Khotib Jum'at

Di masjid ini aku dilatih berani. Berani itu berkhotbah jum'at, berani menebarkan ilmu yang ada, dan berani untuk mewarnai masyarakat. Karena saat itu, waktunya muda beraksi,  dan muda berkreasi. Kita milenial, kita tetap muslim.

Banyak anak muda di zaman generasi-Z ini gengsi menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim. Gengsi melakukan hal-hal berbau keislaman, lantaran pengaruh tranding zaman sekarang. Boleh tranding, tetapi identitasmu adalah muslim.

Ingat kala itu, saat pertama kaki ini berdiri untuk berkhotbah jum'at pertama di masjid Jami'. Masih terbata-bata, masih gugup tidak karuan, bahkan kaki pun bergemetar ketakutan.

Berjalannya waktu, pendidikan pembiasaan dari masjid al-Jami' ini membuatku terlatih berani, terlatih tegap atas ketakukan, dan tidak takut menyatakan kebenaran serta kebaikan di atas mimbar.

Mengajar TPA

"Ustadz.. Ustadz.. aku ngaji dari awal lagi ya, di iqra satu, boleh kan?" begitu kiranya celotehan anak TPA memanggilku. Aku tidak menyatakan diri ini layaknya seorang ustadz, hanya sebatas guru ngaji di kampung.

Lantas, apa poin yang akan aku uraikan dari mereka. Lamat-lamat setiap kali aku mengajarkan huruf demi huruf kepada mereka. Sesekali, aku tatap mata anak-anak ini. Terlihat, ada sebuah harapan besar bagi mereka untuk belajar dari huruf satu ke huruf lainnya. Ada banyak sekali harapan dipancarkan dari anak sederhana yang hanya sebatas di kampung.

Bahkan sampai detik ini, aku sudah membiasakan kepada anak didik ini, anak-anak TPA, dengan selalu mengusap ubun-ubun mereka dan berdoa, "Di tanganmu insyaAllah masa depan cerah menunggu. Kalian boleh tinggal di kampung, tetapi hati dan jiwa kalian bisa lebih besar dari pada anak-anak yang tinggal di kota."

Ternyata, aku baru menyadari saat dewasa ini, kehebatan seorang anak bukan sebatas karena kepintaran otaknya saja. Tetapi, ada peran orang tua, guru ngaji, guru di pesantren, dan para kyai, yang ikut mendoakan hal serupa, mungkin dengan diksi yang berbeda.

Aku ingat sekali pesan kyaiku bahwa, "Orang hebat adalah orang yang mau mengajarkan ilmunya walalupun hanya di surau-surau kecil."

Photografer: Ummul Faradhillah
Photografer: Ummul Faradhillah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun