Mohon tunggu...
Muhammad khoiri
Muhammad khoiri Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Mahasiswa

Ingin di kenal luas dari sebuah tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

lahirnya budaya feodalisme di Ruang Pendidikan Indonesia

21 September 2024   17:32 Diperbarui: 21 Oktober 2024   18:17 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

         Mencari nilai-nilai luhur budi pekerti di Ruang pendidikan saat ini seraya mencari sumber mata air di padang Savana gurun pasir. bak sebuah cermin ilusi fatamorgana di tengah gersangnya gurun pasir, Nilai-nilai yang terkandung di dalam Ruang pendidikan kian hari kian mulai tergerus oleh berbagai pengaruh pola pikir manusia yang mengalami kemerosotan moral dari berbagai pemahaman menyimpang yang di lakukan demi sebuah  kepentingan manusia itu sendiri. Ruang pendidikan yang semulanya menempatkan manusia kepuncak derajat keagungan tertinggi dalam mengenyam ajaran budi pekerti yang luhur merupakan sebuah nilai lebih dari  sikap  arif dan bijaksana kehidupan. Kemudian, Ajaran itu semua  diemban dan dijalankan dalam misi tegaknya  moral yang beradab antar sesama manusia di atas muka bumi ini. Tentunya, dengan itu semua manusia bisa melaksanakan perbuatan yang baik dan meninggalkan nilai keburukan yang kemudian itu di tuangkan dalam sendi-sendi kehidupan. Namun yang terjadi saat ini Nilai-nilai luhur dan marwah  ruang pendidikan di Indonesia  telah mengalami kehilangan arah di persimpangan jalan dalam memaknai tujuan akhir dari  pendidikan.   

    Pendidikan bukan hanya persoalan melatih manusia dalam mengembangkan kemampuan cara berpikir (kognitif) untuk memecahkan sebuah mekanika perhitungan seperti sains, matematika, fisika dan bidang lainya secara akademis. Melainkan juga harus mampu menjalani keseimbangan kemampuan afektif dalam mengelola kontrol emosi saat melakukan interaksi sosial yang melibatkan sikap, watak, perilaku dan minat dalam nilai-nilai yang ada pada diri manusia. Kemampuan afektif inilah yang dapat menumbuhkan dan memperkuat hubungan humanis dari rasa belas kasih terhadap manusia dan makhluk hidup lainya. Akan tetapi di era saat ini kemampuan ini telah  mengalami pengikisan akibat dari adanya berbagai penyimpangan ajaran nilai-nilai kemanusiaan dari berbagai doktrin dan ideologi yang menjebak manusia melalui narasi-narasi delusinya dalam memandang rendahnya derajat martabat manusia. Sudut pandang dan daya pikir manusia akan dorongan kuatnya rasa simpati dan empati telah dikelabui oleh berbagai muara kesesatan dalam memaknai arti dari filosofi pendidikan itu sendiri.

       Hilangnya marwah pendidikan di indonesia berawal dari akar permasalahan kesenjangan status sosial manusia yang telah membagi manusia ke berbagai tingkatan derajat kelas antara masyarakat satu dengan masyarakat lainya yang  membentuk kelompok kepentingan  masing-masing dalam menentukan jalan hidupnya. diversitas inilah yang mengakibatkan kurangnya kesatuan dalam keseragaman yang berbeda di masyarakat komunal hingga mengakibatkan perpecahan sudut pandang dan timbulnya  rangkaian gesekan kecil yang tidak bisa dikendalikan hingga berujung rawanya konflik berkepanjangan dari  dorongan hasrat nafsu keegoisan  tanpa mempedulikan kebersamaan. 

       Sedari dulu bangsa ini telah mendapatkan ajaran  dari Gagasan-gagasan nilai luhur budi pekerti yang sangat luar biasa dalam landasan pendidikan Indonesia. "ing ngarso sung tulodo" (pendidik memberikan teladan), "in madyo mangun karso" (pendidik selalu berada di tengah, terus memulai dan memotivasi) merupakan Ungkapan yang pertamakali dicetuskan oleh seorang tokoh kharismatik dan visioner dalam membentuk dan memperjuangkan rancangan pendidikan untuk Rakyat Indonesia beliau adalah bapak Ki Hadjar Dewantara yang telah menjadikan pendidikan di Indonesia memiliki landasan kuat sebagai sumber pegangan dan pedoman bangsa ini dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan dalam dunia pendidikan.  sumbangsihnya terhadap negara mengenai pendidikan dalam memberikan nilai-nilai landasan kuat untuk membentuk karakteristik dan corak kepribadian diri sesosok manusia yang lahir tanpa adanya kecacatan logika dari perbuatan tercela melalui kesalahan proses pendidikan. 

       Namun yang terjadi saat ini ketika kita melihat ruang pendidikan di indonesia dirundung banyaknya terjadi kasus peserta didik yang mengalami berbagai tekanan dibawah ancaman  kekerasan verbal dan fisik oleh para pelaku dari gerakan feodalisme yang menyebut dirinya sebagai kaum intelektual. Mereka kerap kali melakukan eksploitasi  kepada korbannya tanpa rasa ampun  hingga berujung meregang nyawa. Kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki dalam bertindak semaunya kepada korban yang di kategorikan sebagai individu lemah  tidak mampu memberanikan diri untuk melawan dan memperjuangkan hakikat  kebenaran dalam Ruang pendidikan. para korban yang lemah ini dijadikan sebagai pelampiasan mereka  dalam melakukan perbuatan keji ini. Pelaku feodalisme yang di indikasi mengalami penyakit Complex Superiority merasa diri menjadi sesosok manusia paling unggul dari segi kapasitas ilmu pengetahuan di bandingkan orang lain disekitarnya yang tidak memiliki keunggulan kemampuan apapun, sangat mudah bagi mereka terpengaruh di bawah kontrol pemahaman ini  dalam melakukan tindakan apapun yang mereka mau.

       Hingga saat ini ideologi Feodalisme tumbuh subur di Ruang pendidikan Indonesia para pelaku menjadikan pemahaman ini  sebagai senjata dan benteng pertahanan dalam melakukan penindasan dan  kehendak bebas (Free will) tanpa adanya rasa penyesalan. Tidak adanya batasan dan keterikatan aturan yang tertulis dalam mengawasi proses pendidikan  membuat perilaku feodal ini bisa melakukan  berbagai tindakan penindasan yang disertai kekerasan secara  fisik kepada korban nya. Budaya dari doktrin ini sering kita jumpai dalam lingkup Ruang pendidikan  yang sekaligus pelaku atau Aktor utama yang memiliki kekusaan otoritatif tertinggi dan mempunyai hak prerogratif yang berwenang  dalam menentukan arah keputusan dan kebijakan  dalam menjalani setiap tindakan yang mereka lakukan.  Kebebasan yang mereka dapati telah memberikan mereka kesempatan besar dan tak terbatas dalam melakukan tindakan semena-mena saat menjalankan proses pendidikan.  mereka akan selalu mengenyampingkan hubungan rasa  belas kasih dalam melihat nilai etis, etos dan logos kepada peserta didiknya. Pelaku yang mengatasnamakan diri sebagai guru ataupun dosen yang merupakan sebuah gelar profesi terhormat yang dimilikinya, wawasan pengetahuan yang begitu luas dan mempuni  dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada regenerasi berikutnya yang menjadi tujuan awal sebenarnya dari proses pendidikan. Namun saat ini telah ternodai oleh mereka sendiri dari  penyakit feodal yang dibuatnya.

      Saya teringat dengan ucapan Mochtar Lubis dalam Karya bukunya yang berjudul "Manusia Indonesia" bagaimana ia menuangkan hasil pengamatannya melihat tingkah laku dan pola pikir masyarakat Indonesia. dalam catatannya tersebut,  Ia mengamati  masyarakat Indonesia dari seluruh lapisan masyarakat baik itu dari kalangan kelas atas hingga kalangan bawah yang menjadi biang masalah menyebabkan negara ini mengalami kemunduran peradaban moral  dari segi cara berpikirnya hingga mengalami hidup dalam  jurang  kemiskinan. Salah satunya yang masih dipertahankan hingga sekarang ialah kebiasaan-kebiasaan buruk  budaya feodal yang telah  menjadi masalah utama dan serius bagi negara hingga saat ini. jadi pantaslah  negara kita diberikan lencana predikat sebagi negara berkembang atau mundur yang  belum bisa maju dalam berbagai lini. Penyanggahan dengan menafikan suatu kebenaran, tidak mengakui kesalahan, enggan merasa malu ketika melakukan perbuatan tercela, kesalahan ketika mengutarakan pendapat dan jawaban pribadi, selalu mengenyampingkan pendapat orang lain. sehingga memunculkan konflik kepentingan (Conflict of Interest) dalam mempengaruhi keputusan dan tindakan yang di ambil yang berpotensi mengalami bias ketidakadilan. korban yang tidak berdaya oleh tindakan pelaku feodal ini harus manut dan patut dalam kepolosan dan jeratan kebodohan dari sebuah siklus permainan manipulatif yang mereka rancang sedemikian rupa. inilah yang menjadi corak dari karakteristik masyarakat Indonesia  dari hasil pengamatan Mochtar lubis dalam bukunya yang syarat akan kentalnya tindakan feodal di Indonesia.

        para pelaku yang mengatasnamakan sebagai seorang guru atau dosen ini telah di cap gagal dan bersalah dalam menjalankan amanah sebagai tenaga kependidikan dalam melaksanakan proses pendidikan, pengkhianatan intelektual sebagai profesi yang mereka emban kepada negara dan peserta didik yang menolak menerima berbagai usulan yang dapat meluruskan setiap langkah dan kebijakan keputusan yang di ambil, Kebenaran dan keadilan hanya berada pada tangan mereka dalam situasi   keadaan genting dari pengkondisian status profesi mereka dan begitu juga keadilan hanya di miliki oleh mereka yang di dorong oleh  kepentingan pribadi. Kebenaran dan keadilan seperti ini juga serupa dikemukakan oleh Julian Benda dalam Bukunya "The treason of Intellectual" Yang menyebutkan bahwa para panitera tokoh pemuka agama, birokrasi pemerintahan dan para akademisi  menyelewengkan sebuah kebenaran dan keadilan dari pengetahuan mereka demi memuluskan kepentingan tujuan bangsa dan kaum mereka sendiri. Tingkat Kefanatikan dari rasa nasionalis terhadap negara secara berlebihan dengan menyalahkan dan merendahkan pihak negara lain (Chavunisme) sebagai pihak asing yang selalu menjadi pengacau dengan menganggu stabilitas politik dan ideologi bangsa arya  kekaisaran jerman waktu itu dalam melakukan ekspansi dan penyebarluasan ideologi Nazi. 

       Selain Mochtar Lubis yang telah mengritik Budaya feodalisme di era pemerintahan Soeharto dan juga penulis hebat Julian benda yang mengkritik dan menentang  doktrin feodalisme dan inferior kekuasaan kepada tokoh Intelektual dan tokoh lainya di jerman, budaya ini juga pernah menodai Ruang pendidikan di Amerika latin dan eropa pada abad 19 dalam buku yang berjudul "menggugat pendidikan" dan "pendidikan kaum tertindas" dari Paulo Freira dan Erric Fromm, Masyarakat kelas bawah tidak boleh terlibat aktif melampaui batas kemampuannya dari masyarakat kelas atas. mereka tidak boleh diberi keleluasaan dalam mendapatkan akses kesempatan untuk menciptakan ruang dominasinya di Ruang publik maupun di ruang pendidikan  baik dalam  berpartisipasi aktif  mengambil bagian  penting dalam setiap kegiatan berkewarganegaraan mereka tidak bisa bebas dalam mengutarakan sebuah pendapat yang di anggap rasional dalam memperjuangkan ketidakadilan dan kebenaran dalam ruang pendidikan. Anti dialogis dan alergi terhadap kritikan memberikan kesempatan besar terhadap pelaku melakukan sebuah tindakan feodalisme dalam mengintervensi korbannya yaitu masyarakat kelas bawah.  Penghormatan secara berlebihan untuk tunduk terhadap perilaku yang melenceng dari ajarannya, pengagungan status identitas diri agar selalu disegani dan merasa terpandang dengan gelar terhormat. Sikap inilah yang menimbulkan adanya determinasi penentuan kelas sosial yang menyimpang antar pengajar dan peserta didik.

     Seharusnya, Ruang pendidikan memberikan kesempatan besar untuk peserta didik menjadi seorang yang merdeka. berpartisipasi secara aktif dalam mengutarakan buah pemikirannya secara terbuka. bukan malah sebaliknya, tidak memberikan kebebasan dan kesempatan kepada mereka untuk mengenali setiap langkah proses pendidikan secara aktif. pun juga pengajar harus bisa membuka lebar pandanganya secara luas dengan membangun cara berpikir yang lebih dinamis dalam menyikapi keberlangsungan proses pendidikan yang lebih baik dengan begitu kesenjangan pengetahuan diatas kekuasaan tidak menjadi tumpang tindih dalam menjalani proses pendidikan. maka pendidikan yang lebih beradab dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan kembali kepada tujuan awalnya serta kecenderungan yang selalu mengedepankan keegoisan kepentingan pribadi  hilang dengan sendirinya  dalam ruang pendidikan.

      

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun