Kurang dari sepekan Pemilu akan dilaksanakan. Kampanye yang diharapkan menyenangkan justru menegangkan. Tiap kubu saling sindir, serang, dan menekan bahkan tagar perang dikumandangkan. Jika untuk pemilu segala daya & upaya dikerahkan maka seharusnya urusan pajaklah yang harus dimenangkan. Mengapa?.
Sekitar 80% pendapatan negara berasal dari perpajakan. Belanja sosial, pendidikan, kesehatan dan lainnya bergantung pada pajak termasuk biaya pemilu kali ini.
Semua calon baik presiden maupun anggota legislatif menjual janji & program yang menyenangkan. Hanya sesekali kesempatan sang calon membahas Perpajakan. Janji menurunkan tarif, meningkatkan tax ratio adalah contohnya. Sudahkah janji itu didasari kajian mendalam atau hanya untuk memuaskan banyak orang?.
Kepatuhan Wajib Pajak (WP) Sekarang
Di ujung bulan maret dan april adalah batas akhir Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi (OP) dan Badan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Fakta menunjukkan belum pernah kepatuhan formal ini mencapai 100% dengan berbagai dalih & alasan. Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2017 tingkat kepatuhan WP menyampaikan SPT Tahunan 2017 sebesar 72,64%. Angka ini naik 12% dari tahun sebelumnya yang hanya 60,82%. Bagaimana dengan pelaporan tahun 2018?.
Per 1 April 2019, SPT Tahunan yang telah masuk berjumlah sekitar 11 juta dari 17,5 juta SPT yang wajib lapor. Angka ini masih akan bertambah sampai batas akhir penyampaian SPT Badan di 30 April nanti. Sekiranya seluruh WP Badan melaporkan SPT Tahunan jumlah yang lapor hanya akan bertambah sekitar 1 juta SPT mengingat jumlah WP Badan yang wajib lapor SPT Tahunan berjumlah 1,4 juta WP.
Orang pribadi dan Badan yang terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berjumlah 39,1 juta WP (data 15 Maret 2018). Di sisi lain jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah sekitar 250 juta jiwa. Jika angka-angka tadi dirangkai dalam satu kalimat kira-kira bunyinya begini: Seperempat milyar penduduk Indonesia dibiayai oleh kurang 20% warganya itupun dengan kepatuhan yang rendah. Ironis bukan?.
Pemilu dan pajak tidak bisa dipisahkan. Tidak sekadar pemilu dibiayai uang pajak tetapi hasil pemilu menentukan nasib reformasi perpajakan yang sedang berjalan. RUU pajak baru sudah dibahas DPR dan Pemerintah tiga tahun silam. Di tahun politik ini pembahasan ditunda sampai hajatan pesta demokrasi diselenggarakan. Wajar, pemimpin dan wakil rakyat baru sudah di tunggu berbagai cita dan harapan termasuk urusan perpajakan.
Tren tidak tercapainya penerimaan selama delapan tahun ke belakang menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan pajak 2018 sebesar Rp1.315 triliun atau 92% dari target. Persentase tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 97% yaitu sebesar Rp743 triliun dari target Rp763 triliun.
Gonjang-ganjing politik menjadi ancaman. Tidak hanya rakyat menjadi tidak nyaman namun juga mengganggu penerimaan. Jika penerimaan terus tidak tercapai maka harapan mengurangi utang menjadi buyar. Oleh karena itu, slogan perang-perangan sebaiknya diwujudkan untuk meningkatkan kepatuhan perpajakan.
Empat Pilar KepatuhanÂ
Ada empat pilar kepatuhan yaitu Pendaftaran (registration), Penyampaian SPT (reporting), Pembayaran (payment), dan Pelaporan yang benar (correct reporting)Â (Yon Arsal, Sekilas Tentang Tax Ratio Indonesia, 2019).
Berdasarkan UU No 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) di pasal 2 ayat 1 diatur bahwa setiap wajib pajak harus mendaftarkan diri sebagai WP setelah memenuhi syarat subjektif dan objektif. Subjektif berarti berkaitan dengan diri WP yaitu Orang Pribadi, Badan, Bentuk Usaha Tetap, dan warisan belum dibagi. Sedangkan objektif berkaitan dengan penghasilan yang diterima oleh WP.
Sistem perpajakan di negara kita menganut self assessment. Sehingga di titik kepatuhan yang pertama ini kesadaran WP untuk mendaftar sangat diperlukan. Biasanya WP mendaftarkan diri karena kebutuhan yang memaksa, misalnya WP memerlukan pinjaman dari Bank. Kemudian, WP datang ke kantor pajak untuk mendapatkan NPWP. Setelah NPWP diperoleh seringnya kewajiban perpajakan diabaikan. Seolah setelah memiliki NPWP sudah cukup dikatakan sebagai warga negara yang patuh pajak.
Titik kepatuhan berikutnya adalah Penyampaian SPT. Menyampaikan SPT adalah kewajiban WP. Hal ini diatur di dalam pasal 3 ayat 1 UU KUP. Mengapa harus lapor? Laporan SPT Tahunan merupakan bentuk deklarasi WP dalam hal jumlah penghasilan, beban, dan harta WP. Hal tersebut terkait dengan pilar kepatuhan selanjutnya yaitu pembayaran.
Jumlah pajak yang dibayar harus sesuai dengan kondisi WP. Oleh karena itu SPT Tahunan bagi kantor pajak merupakan "bukti" atas dasar perhitungan pajak yang dilaporkan dan dibayar oleh WP.
WP dikatakan menjadi WP patuh jika telah melaksanakan ketiga pilar yang telah disebut di atas dan menyempurnakan dengan sikap kepatuhan paripurna yaitu melaporkan dengan benar.
Upaya Meningkatkan Kepatuhan Perpajakan
...........................
bersambung ke bagian 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H