Di penghujung pagi yang menjelang siang ini kami mahasiwa PMM2 inbound Universitas Malikussaleh pada kegiatanya yaitu modul nusantara berkesempatan untuk melihat lebih jauh kebudayaan Aceh tekhusus di bidang alat music.
Lelaki paruh baya dengan senyum simpul dan keringat di dahinya kita temui di daerah “JAMBOE TUHA” GAMPONG BLANG WEU PANJOE KEC. BLANG MANGAT KOTA LHOKSEMAUWE sedang berkonsentrasi dengan benda yang sedang dibuatnya, ya itu adalah alat music tradisional Aceh yaitu Rapa’i. tersadar dengan kehadiran kami membuatnya berhenti dan langsung antusias menyapa dan memperkenalkan apa itu Rapa’I dan bagaimana cara mebuatnya.
Di pandu oleh bapak dosen kita, kita pun melihat langsung dan berkesempatan memegang alat musik tradisional Aceh ini sembari pak Junaedi memaparkan secara detail bagaimana cara pembuatan Rapa’I ini yang mana prosesnya tidak secepat yang kita bayangkan.
Rapa’I ini hanya dibuat dari kulit kulit kambing janda, tidak dengan kambing perawan, jantan maupun anak kambing “papar pak junaedi kala itu”. Kami para mahasiswa pun tertawa, karena kami kira itu hanyalah candaan belaka. Tapi ternya tidak. Memang beda teksur kulit kambing janda dengan yang bukan.” Jelasnya”. Kami pun langsut termanggut manggut mendengarnya.
Tidak ada mesin canggih dalam proses pembuatan rapa’I ini sendiri, semua pure menggunakan tangan dari sang pengrajin, yaitu pak Junaedi. Karena memang rapa’I ini hanya bisa di ukr dengan tangan manusia tidak bisa menggunakan mesin, dari situlah kita menjadi tau mengapa alat musik ini di hargai dengan harga yang cukup mahal.
Setelah kami banyak bertanya bagaimana cara memproduksikan rapa’i selanjutnya kami sangat penasaran tentang bagaiamana proses pemasaran rapa’i itu sendiri. Alat music tradisonal Aceh ini di jual dengan Bergama harganya tergantung ukuran, ukiran serta jenisnya. Mulai dari ukuran rapa’i yang terkecil dijual dengan harga mulai dari Rp. 400.000,- sedangkan yang ukuran terbesar di jual dengan harga mencapai Rp. 2000.0000,-. “ ujar pak Junaedi “.
Dengan pekerjaan pak Junaedi dengan menjadi pengrajin kebudayaan aceh terkhusus rapa’i dengan segala kemajuan teknologi di era globalisasi ini pak Junaedi masih terus melanjutkan kerajinan ini dimana memang sudah turun temurun dari kakek buyutnya adalah sebuah prestasi dengan nilai plus, karena walaupun hanya 2 orang pengrajin di kabupaten Aceh Utara ini beliau masih memikirkan untuk melestarikan kebudayaan daerah nya. Padahal untuk penghasilan tidak seberapa dengan penghasilan orang kota di luar sana.
Karena waktu sudah tiba untuk memisahkan pertemuan, kami pun besiap untuk pulang ke kost masing masing. Tapi sebelum berpamitan bapak dosen modul kami yaitu, pak Bobby memberikan piagam oenghargaan untuk pak Junaedi dimana beiau adalah salah satu pelestari budaya terkhusus Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H