Mohon tunggu...
Khansa
Khansa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Saya merupakan Mahasiswa aktif Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

IKN, Suara Tersembunyi di Balik Spiral Keheningan Masyarakat Kalimantan

2 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 2 Desember 2024   21:57 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur telah menjadi salah satu proyek terbesar yang sedang dikerjakan oleh pemerintah Indonesia. Hingga saat ini, berbagai infrastruktur dasar seperti jalan, kawasan inti pemerintahan, dan fasilitas pendukung mulai dibangun, dengan target penyelesaian tahap awal yang diharapkan rampung pada tahun 2024. Proyek ini dianggap sebagai langkah strategis untuk pemerataan pembangunan dan mengurangi beban Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi.

IKN kini telah menjadi sebuah proyek ambisius pemerintah Indonesia. Namun, di balik optimisme dan janji pembangunan, ada keresahan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Kalimantan. Mereka khawatir bahwa proyek ini akan membawa dampak buruk, seperti kerusakan lingkungan, marginalisasi masyarakat lokal, hingga tergesernya identitas budaya yang telah lama mereka pertahankan. Selain itu, kekhawatiran mengenai ketimpangan sosial dan ketidakpastian manfaat ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat asli semakin menambah rasa cemas.

Sayangnya, keresahan ini sering kali tidak menjadi fokus utama dalam narasi publik tentang IKN. Perhatian lebih banyak diberikan pada sisi teknis pembangunan dan manfaat jangka panjang, sementara suara masyarakat lokal terasa redup. Mengapa keresahan ini tampak tidak terwadahi di ruang diskusi publik?

    

Ketakutan yang Tidak Tertangkap Ruang Publik

Keresahan masyarakat Kalimantan terkait pembangunan IKN sejatinya cukup kompleks. Pertama, banyak masyarakat adat yang merasa khawatir akan hilangnya ruang hidup mereka akibat pembukaan lahan besar-besaran untuk pembangunan. Kalimantan, yang dikenal sebagai paru-paru dunia, terancam kehilangan kekayaan ekologisnya karena proyek infrastruktur masif. Kedua, pembangunan ini juga memunculkan kekhawatiran tentang ketimpangan sosial, di mana masyarakat asli dikhawatirkan akan tersisih oleh arus migrasi besar-besaran pekerja dari luar pulau. Ketiga, ada keresahan tentang apakah mereka akan benar-benar dilibatkan dalam proses pembangunan, atau hanya menjadi penonton di wilayah mereka sendiri.

Keresahan masyarakat Kalimantan terkait pembangunan IKN juga muncul dari sudut pandang ekonomi dan urgensi proyek tersebut. Pada kenyataannya, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam jumlah besar untuk pembangunan IKN mampu menimbulkan kekhawatiran, terutama mengingat kondisi APBN yang masih defisit dan utang negara yang signifikan. Selain itu, tantangan memindahkan pegawai dari Jakarta ke IKN juga disoroti, terutama bagi pegawai yang sudah berkeluarga dan harus mempertimbangkan faktor seperti pendidikan anak-anak dan adaptasi terhadap lingkungan baru.

Tak hanya itu, beberapa dari masyarakat Kalimantan mengugkapkan bahwasannya pembangunan IKN bukanlah suatu kebutuhan yang mendesak. Pemindahan ibu kota seharusnya bisa dilakukan lebih dekat dengan Jakarta agar tidak menyulitkan pergeseran pegawai. Hal ini mencerminkan keresahan masyarakat yang mempertanyakan urgensi dan lokasi pembangunan IKN dalam konteks kebutuhan saat ini.

Namun, keresahan-kersahan ini tampaknya belum mampu masuk ke dalam arus utama diskusi publik. Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, masyarakat Kalimantan mungkin menghadapi keterbatasan akses ke media massa nasional dan ruang diskusi publik yang efektif. Isu-isu lokal sering kali tersisihkan oleh dominasi narasi dari pusat kekuasaan. Kedua, ada kemungkinan bahwa masyarakat Kalimantan enggan menyuarakan keresahannya karena adanya tekanan sosial atau perasaan takut dianggap sebagai pihak yang menentang pembangunan nasional.

Teori spiral of silence yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Neumann dapat menjadi alat analisis yang relevan untuk memahami situasi ini. Teori ini menjelaskan bahwa individu cenderung memilih diam jika mereka merasa opini mereka berbeda dari mayoritas atau tidak diterima dalam ruang publik. Dalam konteks pembangunan IKN, masyarakat Kalimantan yang merasa suaranya bertentangan dengan narasi pembangunan nasional bisa saja memilih untuk diam demi menghindari stigma negatif. Ini menjelaskan mengapa keresahan mereka terlihat tidak mencuat di ruang diskusi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun