Minggu sore kemarin, saya kembali menginjakkan kaki di lapangan rumput asli, bukan sintetis macam futsal. Pertama kalinya sejak entah kapan lamanya, mungkin sekitar dua tahun.Â
Dua tahun juga saya dan tim sepak bola tarkam Mahesa Putra tidak lagi bertanding di lapangan standar --ya nggak standar FIFA sih, pokoknya gede lah--.
Padahal dulunya tim ini bisa dikatakan jempolan, bagaimana tidak dalam satu desa/kelurahan hanya kampung saya yang ada tim sepakbolanya. Tiga sampai lima tahun ke belakang, Mahesa Putra adalah salah satu tim sepak bola amatir paling ditakuti se-kecamatan. Paling tidak tim ini bisa menembus semi final, dan juga semi final lainnya.
Apalagi berpuluh-puluh tahun ke belakang, ketika mbah-mbah kami yang main, tim ini juga sempat berlalang buana hingga antar-provinsi. Waktu itu belum ada sepatu, sekalipun ada paling karena terbungkus lempung atau bletok.
Semenjak dibuatnya lapangan voli di pertengahan kampung, sejak saat itu sepak bola tak lagi dilirik oleh masyarakat kampung. Praktis para pemain andal bin jadi-jadian semacam saya terpaksa dianggurkan. Kebanyakan beralih menjadi atlet voli, ya walaupun nggak jago-jago amat tapi bermain voli tidak membutuhkan banyak tenaga, tak seperti berlarian di lapangan ketika bertanding sepak bola.
Minggu sore Mahesa Putra seolah reborn. Menantang kesebelasan jagoan kampung seberang kecamatan, Jeron namanya. Karena sudah lama tidak menjajakkan kaki sekaligus menepang si kulit bundar, seolah semangat kami membuncah. Saya sebenarnya hanya pemain cadangan, kalau ada turnamen paling main cuma satu dua menit. Laga kali ini menjadi pelecut bagi saya untuk menunjukkan kemampuan.
Ditambah dengan dukungan masyarakat sekitar yang memenuhi tribun bahu jalan. Priiiiiittttttt. Babak pertama pun dimulai.
Saat itu juga saya yakin bisa menggocek si kulit bundar dan memberi umpan manja membelah lautan ulala, karena saya seorang gelandang tengah.
Ya jelas dong, harus pintar membagi bola dan mengatur ritme permainan.
Ternyata kenyataan tidak memihak saya, lima menit pertama saya ngos-ngosan. Konsentrasi saya berantakan, umpan saya tak beraturan, berlari saja sempoyongan. Tapi, bukan saya saja yang mengalami kengliyengan semacam itu.
Hampir semua pemain mulai kewalahan mengatur pernafasan. Lima menit selanjutnya korban mulai berjatuhan, Fajar 'Si Mas Kotel' pemain pertama yang minta diganti. Padahal dulunya Kotel --nama karibnya-- adalah pemain yang memiliki stamina ekstra, badannya pun berotot.