Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di DI Yogyakarta yang secara geografis terdiri dari Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Kawasan karst di Gunungkidul tersebut merupakan bagian dari KBAK Gunung Sewu yang telah ditetapkan sebagai Global Geopark Network oleh UNESCO. Selain kawasan karst, Gunungkidul juga memiliki pantai pasir putih yang membentang di sepanjang pesisir selatan. Bentang alam yang unik dan keindahan pantai yang dimiliki oleh Kabupaten Gunungkidul menjadikannya salah satu destinasi wisata dengan potensi yang besar.
Potensi pariwisata yang besar ini merupakan suatu anugerah bagi masyarakat Gunungkidul, khususnya bagi masyarakat pesisir. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Seakan menyadari potensi tersebut, para investor juga ikut masuk ke kawasan pesisir Gunungkidul. Mereka mendirikan villa-villa megah di atas perbukitan karst dengan pemandangan laut di bawahnya. Pembangunan yang kian masif di daerah pesisir ini ternyata menjelma bagaikan pedang bermata dua.Â
Selain pembangunan tempat penginapan, pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS)  yang dilakukan oleh pemerintah telah menimbulkan berbagai permasalahan baru. Kawasan karst yang dialihfungsikan menjadi JJLS telah  memaksa kawanan kera yang berhabitat di kawasan tersebut harus berebut ruang hidup. Selain itu, pengelolaan sampah wisata yang belum menjangkau kawasan pesisir menjadi permasalahan lain yang tak kunjung mendapat solusi. Akibatnya, banyak sampah anorganik seperti plastik yang berujung menumpuk atau bahkan dibakar oleh warga. Hal ini menimbulkan permasalahan lingkungan baru di kawasan karst Gunungkidul.
Dalam menanggapi isu tersebut, Jiwa Laut hadir untuk mengadvokasi masyarakat terkait dengan isu lingkungan ini. Jiwa Laut merupakan lembaga pemberdayaan masyarakat nonpemerintah yang berlokasi di Pantai Watu Kodok, Desa Kemadang, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Jiwa Laut berfokus pada konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Jiwa Laut memiliki anggota aktif yang berasal dari dari masyarakat sekitar Pantai Watu Kodok dan masyarakat luar yang memiliki kekhawatiran yang sama terhadap isu ini.Â
Sejak awal berdirinya, Jiwa Laut tidak memiliki sponsor atau bantuan dana khusus dari pihak manapun. Jiwa Laut bergerak mengedukasi masyarakat dengan bekerja sama menggandeng pihak lain untuk mengerjakan proyek terkait isu lingkungan dan sosial. Selain itu, Jiwa Laut juga menerima tamu-tamu asing yang ingin menikmati alam sekitar desa.Â
Isu Sampah
Salah satu isu yang menjadi fokus Jiwa Laut adalah masalah sampah. Pengelolaan sampah yang belum menjangkau kawasan pesisir menjadi penyebab menumpuknya sampah di sekitaran Pantai Watu Kodok dan Desa Kemadang. Untuk mengatasi permasalahan sampah ini, Jiwa Laut berinisiatif mengadakan proyek bank sampah. Proyek ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan memilah sampah dari masyarakat. Hasil dari sampah yang terkumpul tersebut kemudian akan dijual ke kota untuk daur ulang. Namun, ternyata program ini tidak berjalan dengan baik karena kurangnya kesadaran dari warga tidak konsisten dalam melakukan pemilahan sampah.
Menanggapi permasalahan tersebut, Jiwa Laut mengubah strategi pengumpulan sampah plastik dengan proyek baru bernama Ecobrick. Proyek ini dilakukan dengan membuat bata yang terbuat dari botol plastik yang diisi dengan sampah plastik hingga menjadi padat. Dalam menarik warga agar berkenan mengumpulkan Ecobrick ini, Jiwa Laut memberikan insentif bagi warga berupa uang Rp1.000 untuk setiap Ecobrick yang berhasil dibuat.Â
Salah satu tantangan yang dialami Jiwa Laut tak jauh berbeda dengan masalah yang mereka temui pada proyek Bank Sampah. Warga enggan untuk kooperatif dalam mengumpulkan sampah. "Dulu awalnya kami tawarkan Rp500 per Ecobrick, tetapi ternyata respon dari warga masih sangat kurang. Jadi, kami naikkan tawarannya menjadi Rp1.000 per Ecobrick, barulah warga bersemangat untuk mengumpulkan sampah plastik menjadi Ecobrick," ucap Ira, selaku ketua sekaligus pendiri Jiwa Laut. Hal ini menunjukkan bahwa konsen masyarakat di Desa Kemadang masih sebatas pada insentif, bukan pada isu lingkungan yang tengah mereka hadapi.