Dari perspektif kondisi sosial, budaya, dan geografis yang beragam, Indonesia merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Dengan begitu, orang-orang yang ada di dalamnya terdiri dari berbagai ras, agama, bahasa, dan budaya. Setiap orang dalam kelompoknya pasti memiliki kebiasaan yang berbeda dengan kelompok lain sesuai dengan ciri khasnya masing-masing. Untuk mencegah keberagaman atau perbedaan dipahami sebagai penyebab kebencian, perlu adanya kesadaran untuk melaksanakan pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang majemuk ini, dan juga sangat cocok serta tepat  untuk dilaksanakan. Saya mengutip dari Nieto dalam Moeis dalam (Tukiran, 2014) pada jurnal yang berjudul "Pendidikan Multikultural dan Nasionalisme Indonesia" bahwa pendidikan multikultural dalam kerangka transformasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Pengetahuan tidak netral atau non-politik. Segala yang terjadi di tingkat institusi menandai proses pembentukan pengetahuan siswa. Sebaliknya guru perlu menyadari sepenuhnya, (2) Mendidik siswa agar dapat melihat berbagai fenomena dalam kehidupan dan berbagai sudut pandang yang terkandung di dalamnya, (3) Pendidikan multikultural sangat penting untuk keberagaman, keterampilan berpikir kritis, refleksi, dan tindakan, (4) Pendidikan multikultural merupakan proses pemberdayaan siswa, termasuk proses bagi guru untuk melakukan tindakan transformative berdasarkan pemahaman yang benar tentang hak dan kewajibannya, (5) Pendidikan multikultural tidak hanya menggantikan satu sudut pandang kebenaran dengan sudut pandang lain, tetapi juga merefleksikan kebenaran ini atas dasar sudut pandang yang bahkan kontradiktif, memungkinkan mereka untuk memahami realitas secara keseluruhan, (6) Pendidikan multikultural memungkinkan siswa untuk mengidealkan nilai-nilai pendidikan, keadilan, kesetaraan, supremasi hukum dan persamaan kesempatan, tetapi juga dapat mendidik siswa untuk menerima kenyataan secara kritis, (7) Pendidikan multikultural dikembangkan berdasarkan cara pandang dan pengalaman siswa, bukan berdasarkan budaya yang sudah mapan.
Dalam tulisan ini saya berikan contoh pada perbedaan suku yang membuktikan bahwa pendidikan multikultural benar-benar perlu diajarkan di sekolah. Nah seperti yang disebutkan diatas bahwa Indonesia mempunyai banyak suku, yaitu ada suku jawa, melayu, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Saya yang dilahirkan dalam suku jawa, yang mana ayah berasal dari suku jawa, dan ibu pun berasal dari suku jawa. Dengan bahasa sehari-hari adalah bahasa daerah jambi, tidak jarang juga menggunakan bahasa jawa. Ada jebakan stereotype (positif atau negatif) terhadap etnis yang masih menjalar di Indonesia. Misalnya saja pada suku jawa dianggap orang yang lamban, lemah lembut, halus, suka bergotong royong, pemalu, suka merasa tidak enak, selalu berkata 'iya' saat diminta tolong dan nerimo. Anggapan-anggapan tersebut tidak sepenuhnya sesuai karena tidak bisa disama ratakan khusus untuk suku jawa. Saya sendiri tidak pernah dibeda-bedakan dalam lingkungan sekitar, ya hanya saja jika perilaku yang saya tunjukkan tidak sesuai dengan stereotype yang orang lain cap seperti yang saya sebutkan tadi saya dibilang 'kok beda dengan orang jawa pada umumnya'. Padahal nyatanya tidak semua orang sama dengan stereotype yang berkembang di Indonesia ini. Semua itu kembali pada bagaimana keluarga menurunkan sifat dan watak ke keturunannya, dan juga pendidikan yang didapatkannya pada pendidikan formal maupun non formal.
Dari contoh kecil diatas menjadi bukti bahwa pendidikan multikultural sangat perlu dengan begitu kita tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H