Mohon tunggu...
KHALIZAZAHARA
KHALIZAZAHARA Mohon Tunggu... Penulis - Khaliza

jadilah seperti air yang selalu dibutuhkan oleh semua orang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cacatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan

15 Juni 2020   22:48 Diperbarui: 15 Juni 2020   22:47 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontroversi kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK menuai kecaman diberbagai kalangan tak dapat dielakkan dimulai dari kalangan akademisi sampai masyarakat biasa kian mencuat.

bagaimana tidak? Tuntutan jaksa dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dinilai sangat janggal, tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis satu tahun penjara. 

Terdakwa dianggap bersalah atas perbuatannya melakukan penganiayaan tanpa disertai niat. Melihat kejanggalan tersebut banyak persepsi yang timbul di kalangan masyarakat terlebih mahasiswa-mahasiswa hukum yang menilai tuntutan tersebut tak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menyebabkan korban buta seumur hidup. Dan tuntutan yang dilayangkan meninggalkan permasalahan selanjutnya dimulai dari :

"Pernyataan janggal jaksa bahwa tidak ada niat" pernyataan jaksa penuntut umum (JPU) yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru.

Mengenai unsur rencana terlebih dahulu setidaknya mengandung 3 (tiga) unsur, diantaranya: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehenda, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang.

Dalam kasus a quo, terdakwa telah memenuhi tiga unsur di tersebut diatas. Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman. Di sisi lain, JPU juga salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan.

Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, namun tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel.

Permasalahan kedua, "Pasal yang Dikenakan hanya Penganiayaan Biasa" sebagaimana dimaksud dalam pasal 353 ayat (2) KUHP, meskipun tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat. JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP. Hal ini lantaran dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan,artinya ada tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak. Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian,bukan hanya penganiayaan biasa. 

Permasalahan ketiga, "Jaksa sebagai Penuntut Justru lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa" Jaksa yang seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materil dan keadilan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti. Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Selain itu, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM.

Permasalahan Keempat, "Tuntutan Tidak Logis dan Mencederai Keadilan" Dalam Pasal yang termuat dalam dakwaan subdidair, Jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara. Namun alih-alih mengambil pilihan itu, Jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun.

Hal ini tentu saja mencederai keadilan sebab bertentangan dengan bahagian hukum "restitutio in integrum" dimana hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat.

Tuntutan yang ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan.

Selain itu, dibandingkan kasus penyiraman air keras lain, tuntutan yang diajukan dalam kasus Novel tergolong sangat ringan.

Dalam kasus Lamaji di Mojokerto, dakwaan JPU menggunakan alternatif gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.

Permasalahan Kelima, "Tidak Diungkapkan Aktor Intelektual dan Motif dalam Kasus Tersebut" Terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri.

Motif tersebut dinilai tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel.

Di sisi lain, Novel juga tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa, Dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan sebagai Penyidik KPK yang menanganin kasus-kasus besar.

Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enak kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel.

Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.

Banyak sekali kejanggalan yang dapat dirasakan dalam kasus ini, dari kejadian 2017 sampai sekarang baru diketahui terdakwanya nampak sekali kejanggalan yang rasa-rasanya ditutup- tutupi dengan sedemikian rupa.

Harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada Palu Majelis Hakim. Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan.

Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringanya hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara obyektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat.

Jangan sampai timbul persepsi dikalangan masyarakat menjatuhkan putusan juga ketidaksegajaan seperti layaknya pengakuan terdakwa, yang akan mencoreng citra Majelis Hakim yang Berhormat. Namun harus atas nama KEADILAN.

Judul Opini: Cacatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan
Oleh : Khaliza Zahara (Mahasiswi Hukum Tata Negara Universitas Islam Ar-Raniry Banda Aceh)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun