Pada awal abad ke 16 masehi, Kerajaan Sunda mulai mengalami kelemahannya dan keadaan itu membuat bangsa Portugis yang berada di Malaka mendatangi Sunda Kelapa dengan tujuan untuk membantu Kerajaan Sunda yang pada saat itu mendapatkan ancaman dari Kerajaan Demak pada tahun 1521.
Ketika saya melihat Padrao yang merupakan salah satu benda bersejarah yang terdapat di Museum Sri Baduga, saya tertarik pada benda tersebut untuk menganalisisnya karena Padrao berukuran cukup besar, yaitu sekitar 165cm yang terletak di dekat pintu masuk dan merupakan benda bersejarah pertama yang dikenalkan kepada para pengunjung.
Batu setinggi 165cm ini merupakan sebuah tanda perjanjian Kerajaan Sunda-Portugis pada tahun 1522 yang dibuat oleh utusan dagang Portugis dari Malaka yang dipimpin Enrique Leme. Kemudian, jika dilihat dengan seksama permukaannya, terdapat banyak ukiran-ukiran pada permukaan batu Padrao tersebut. Apa sebenarnya fungsi batu Padrao ini? Dan apa makna dari ukiran di permukaan batunya tersebut?
Selanjutnya, dalam artikel ini akan membahas fungsi Batu Padrao yang digunakan oleh Kerajaan Sunda-Portugis beserta makna dari ukiran di permukaan batunya dan menghubungkannya dengan nilai budaya Batu Padrao dengan nilai masa kini serta nilai komunikasi antar budaya yang ada dari latar belakang kisah Batu Padrao.
Padrao atau batu Padrao yang berarti batu peringatan dari perjanjian antara Portugis dan Kerajaan Sunda didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun kantor dagang untuk orang Portugis. Padrao merupakan batu peringatan dengan tinggi 165cm yang dibuat untuk menandai perjanjian yang telah dibuat pada tahun 1522 oleh Kerajaan Sunda-Portugis. Batu Padrao dibuat oleh seorang pemimpin yang bernama Enrique Leme yang juga merupakan seorang utusan dagang Portugis dari Malaka. Enrique Leme juga bertugas untuk membawa barang-barang untuk Raja Samiam.
Pada permukaan Batu Padrao terdapat armillary sphere atau simbol bola dunia yang disertai dengan garis khatulistiwa dan lima garis yang melintang. Pada bagian atas batu dapat dilihat lambang tiga daun dan terdapat juga empat garis inskripsi, yakni Salib Ordo Christus, DSPOR (Do Senhario de Potugal) yang berarti penguasa Portugal, ESFER a/Mo yang berarti Kawasan dunia, dan garis terakhir adalah garis yang menyerupai salib seperti pada garis pertama.
Jika dilihat dari fungsi komunikasinya, Batu Padrao memiliki peran penting dalam fungsi komunikasi budaya. Seperti yang sudah diketahui bahwa Batu Padrao sendiri digunakan sebagai media yang digunakan untuk menuliskan perjanjian yang sudah disepakati antar kedua belah pihak, yaitu Portugis dan Kerajaan Sunda. Hal tersebutlah yang dimaksud dari fungsi komunikasi budaya di sini karena dari perjanjian yang dituliskan tersebut telah menyatukan perjanjian dari dua latar budaya yang berbeda, yaitu antara budaya Portugis dan Kerajaan Sunda. Dari adanya fungsi komunikasi buudaya ini dapat membantu dalam mencapai tujuan Bersama dan mengatasi suatu hambatan budaya yang timbul, seperti Kerajaan Sunda yang mendapat ancaman dari Kerajaan Demak, kemudian Kerajaan Sunda meminta bantuan dari Portugis. Maka, timbullah fungsi komunikasi budaya.
Meskipun pada saat ini sudah memasuki jaman modern, di mana batu sudah tidak digunakan sama sekali bahkan sebagai media komunikasi, tetapi dengan disimpannya Batu Padrao di museum, salah satunya Museum Sri Baduga Bandung akan sangat membantu dan bermanfaat untuk generasi selanjutnya dalam mempelajari budaya yang hanya tinggal tersisa barang peninggalannya saja, salah satunya Batu padrao ini. Dengan begitu, nilai kebudayaan yang pernah terjadi tidak akan hilang begitu saja dan akan terus diingat oleh generasi-generasi selanjutnya.
Dengan adanya peninggalan benda bersejarah seperti batu Padrao, kita dapat lebih merasa menghargai terhadap adanya keanekaragaman di antara kelompok-kelompok budaya yang berbeda-beda. Dengan generasi saat ini yang terus menjaga dan melestarikan benda-benda peninggalan ini, secara tidak langsung telah berkontribusi dalam menjaga warisan dan menciptakan ruang untuk budaya yang lebih mendalam karena benda peninggalan bersejarah bukanlah sekedar artefak atau peninggalan, tetapi juga sebagai simbol dan media komunikasi yang memungkinkan generasi selanjutnya mendalami pikiran, keadaan, dan perasaan manusia yang terjadi di masa lalu.
Referensi:
Muhammad Satok Yusuf. (2023). Cerita Seribu Kantong Lada di Bali Prasasti Padro
Kebudayaan Kemendikbud. (2019). Prasasti Padrao