Mohon tunggu...
Khalimahthoyibah
Khalimahthoyibah Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer | Let's to do it, if you can do it

Meluapkan rasa melalui jutaan frasa. Sebab bahasa kata sangat tersirat makna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Diary Depresi 3

24 Oktober 2024   22:05 Diperbarui: 24 Oktober 2024   22:09 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari. Hari demi hari berganti, satu dua hari berlalu dengan cepat tinggal di penghujung akhir pekan.

Rasanya telah lama aku menanti sebuah kepastian yang sebenarnya tidak harus aku hiraukan. Tapi itu menjadi bumerang dalam pikiran.

Hingga kini, aku belum menemukan jawaban dari bu Seruni. Keputusan yang katanya tempo hari akan di pikirkan belum jua Ia nyatakan. Padahal aku scrool story, beberapa cekrek healing Ia terbangkan tanpa sungkan.

Ah... mungkin Ia sedang menenangkan pikiran sejenak.... 

Ingin rasanya aku tanyakan via chat aplikasi, tapi aku urungkan. Biarlah, apapun jawabannya tidak akan memengaruhi keputusanku juga.

Di lain sisi.. 

"Rima, apalagi yang kamu pertahankan disana? Toh kamu juga tidak di anggap"

"Kamu ingin selamanya hidup dengan gaji sekecil itu Dek? Memangnya cukup untuk sebulan?"

"Sudahlah, kamu tidak perlu mengorbankan waktu dan pikiranmu lagi jika itu tidak di hargai"

"Jangan bodoh, mereka hanya melihat kemampuanmu, tidak melihat sisi saat kondisimu terpuruk seperti sekarang ini"

.......

Berbagai pertanyaan dan pernyataan yang mengganggu pikiranku lagi. Tidak semua yang dikatakan mereka benar

Aku lelah aku juga capek dengan semua ini. Namun kali ini aku tidak diam, hatiku terenyuh jiwaku goyah untuk bungkam.

"Sudah cukup!! Aku lebih tau apa yang aku lakukan. Kalian hanya bisa mendesakku tanpa ada solusi yang membantu. Memintaku untuk berhenti begitu saja tanpa berpikir lebih jauh, bisa saja aku langsung pergi. Tapi aku tidak se-lancang itu, ada hal- hal yang aku selesaikan terlebih dahulu" 

nada bicaraku sudah tidak terkendali, aku tersulut emosi. Tanganku refleks menggebrak meja kayu jati di hadapan, membuat semua yang ada di ruangan terkejut tidak percaya.

 Setelahnya baru aku kembali angkat suara dengan menunduk lemah.

"Aku sudah bicara dengan Bu Seruni, tapi dia tidak bicara banyak tanpa kepastian. Untuk saat ini aku akan menjalani hingga akhir bulan, setelahnya aku akan benar- benar berhenti. Entah apa yang selanjutnya terjadi, itu urusanku. Tidak perlu terlalu mengkhawatirkanku"

Kakak dan adikku terdiam, mungkin merasa bersalah dengan ucapannya. Tapi aku sudah tidak peduli, mereka juga tidak benar- benar peduli. Aku merasa mereka hanya keberatan karena aku selalu menyusahkan ketika sakit, Ah ntah lah.. mengapa aku jadi berpikir buruk dengan keluarga yang sudah banyak membantuku...

Aku berlalu meninggalkan ruang keluarga, rasanya suasana sudah canggung akibat perdebatan kecil tadi. 

Dan aku juga sudah menjelaskan semuanya..

......

Waktu terus berlalu, aku tetap bekerja seperti biasanya. Namun dengan suasana yang berbeda. 

Dulu aku selalu bersenda gurau dengan Bu Seruni dan jika ada urusan apapun, aku selalu menjadi orang pertama yang dicarinya. 

Dulu kami semua selalu kompak satu sama lain, sependapat dan terbuka. 

Akan tetapi, sesaat Aku mengungkapkan pernyataan resign. Seketika menjadi aneh, kami seperti orang asing yang tidak pernah mengenal satu sama lain. Berbicara jika sudah mode darurat, itu pun tanpa sebut nama lagi. Ntah beliau merasa jijik padaku.

Aku tidak tahu mengapa seperti itu, awalnya aku santai dan tidak mengerti apa- apa. Lalu semakin hari semakin terasa beliau yang mengabaikanku tanpa sebab.

Teman- temanku mungkin tau sesuatu, hanya saja menurutku mereka bungkam.  Ingin menjaga perasaan aku dan bu Seruni. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan tentangku, tapi aku yakin sedikit banyaknya mereka tahu sesuatu.

Hingga mereka juga tidak banyak menyinggung aku dan bu Seruni yang selalu bersama tiba- tiba saling menghindar.

Aku sih bodo amat, cuma beliau aku lihat sangat mempertahankan gengsinya. Setiap berkumpul selalu dengan bahasa tersirat yang di tujuan padaku, sedangkan pada orang lain jelas- jelas sebut nama.

Aku hanya mengikuti alur yang dia mainkan, tidak peduli seberapa lama....

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun