Memasuki abad ke-21 ini umat manusia sudah berhadapan dengan banyaknya inovasi-inovasi yang berkembang dengan pesat. Dari telepon yang sebelumnya butuh kabel menjadi nirkabel, dari komputer cembung berat menjadi laptop bahkan tablet yang ringan dibawa ke mana-mana. Melihat perkembangan-perkembangan ini maka sudah bukan hal yang aneh lagi kalau manusia berhasil menciptakan program-program yang lebih futuristik yang dulunya hanya bisa kita khayalkan, contohnya Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Konsep AI sudah ada sejak tahun 1956 pada Konferensi Dartmouth, namun ide mengenai AI sudah ada sejak sebelumnya. Mengusung gagasan mengenai AI, banyak ahli dan ilmuan menghabiskan waktu mereka untuk meningkatkan dan menyempurnakan konsep mengenai AI tersebut. Memetik hasil dari para ilmuan, sekarang ini AI tak hanya berfungsi sebagai mesin pencarian canggih yang mampu berpikir dan mengolah ribuan data, tetapi juga mampu membuat ilustrasi visual dan bahkan turun langsung dalam asistensi pengambilan diagnosa serta proses pembedahan medis. Namun, dengan berbagai fitur terdepannya apakah Kecerdasan Buatan sudah secanggih itu sampai bisa menggantikan pekerjaan manusia? Kita perlu mengingat kembali bahwa setiap pekerjaan memiliki peraturan dan etikanya masing-masing yang sudah diikat dengan undang-undang maupun peraturan perusahaan. Oleh karena itu, penggunaan Kecerdasan Buatan sampai saat ini masih mengundang banyak pro dan kontra.
Era digital membawa transformasi signifikan di berbagai sektor, tak terkecuali bidang kesehatan. Kemunculan Kecerdasan Buatan (AI) bagaikan pisau bermata dua, menghadirkan peluang dan tantangan yang kompleks bagi masa depan layanan kesehatan di Indonesia.
Di satu sisi, AI menawarkan solusi untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia, terutama di level administrasi. Otomatisasi tugas-tugas repetitif seperti pengolahan dan penyimpanan data pasien dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat proses administrasi rumah sakit. Hal ini berimplikasi positif pada pelayanan yang lebih cepat dan tanggap, sehingga pasien mendapatkan akses kesehatan yang lebih mudah dan optimal. Namun, peluang ini diiringi dengan kekhawatiran akan hilangnya lowongan pekerjaan di bidang manajemen rumah sakit. Otomatisasi oleh AI dapat berakibat pada pemutusan hubungan kerja dan memicu pengangguran. Oleh karena itu, perlu diupayakan solusi untuk membantu tenaga kerja yang terdampak beradaptasi dan mendapatkan keahlian baru yang relevan dengan kebutuhan di era digital. Selain itu, penggunaan AI dalam mengelola data pasien menimbulkan kekhawatiran kebocoran data yang dapat membahayakan privasi pasien. Keamanan siber dan regulasi yang ketat menjadi kunci untuk meminimalisir risiko ini. Penting untuk memastikan bahwa data pasien dilindungi dengan baik dan hanya diakses oleh pihak-pihak yang berwenang dan bertanggung jawab.
Penerapan AI dalam proses diagnosis pun menghadirkan kompleksitas. Meskipun AI mampu menganalisis data dan memberikan diagnosis awal, keahlian dokter tetap tak tergantikan. Dokter tak hanya menanyakan keluhan pasien, tetapi juga mengamati, berpikir kritis, dan mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi kondisi pasien. Kesamaan penyakit tidak selalu berarti kesamaan gejala. Kemampuan dokter untuk mendiagnosis dengan tepat berakar dari kombinasi pengetahuan medis, observasi cermat, dan pemikiran kritis, yang sulit ditiru oleh AI. AI dapat membantu dokter dalam menganalisis data dan memberikan informasi tambahan, namun peran dokter dalam mendiagnosis dan menentukan langkah medis selanjutnya tetap esensial.
Di sisi lain, AI menunjukkan potensinya dalam bidang operasi medis. Robot Da Vinci, dengan bantuan AI untuk memproses data sensorik, mampu melakukan operasi dengan presisi dan kehalusan yang lebih tinggi. Hal ini dapat membuka peluang bagi operasi yang lebih minim invasif, dengan risiko komplikasi yang lebih rendah dan pemulihan pasien yang lebih cepat. Namun, perlu diingat bahwa robot ini hanya alat bantu, bukan pengganti dokter bedah. Keahlian, insting, dan pengambilan keputusan dokter bedah tetap esensial dalam operasi. Teknisi dan dokter bedah terampil harus selalu mengawasi dan mengendalikan robot Da Vinci untuk memastikan keselamatan pasien dan kelancaran operasi.
Secara keseluruhan, AI di bidang kesehatan di Indonesia menghadirkan peluang dan tantangan yang kompleks. Pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijak, mempertimbangkan aspek etika, keamanan, dan peran krusial tenaga medis. Kolaborasi antara AI dan tenaga medis profesional menjadi kunci untuk mencapai masa depan layanan kesehatan yang berkualitas dan optimal bagi masyarakat Indonesia.
Pemerintah, institusi kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa AI dimanfaatkan secara bertanggung jawab dan etis dalam bidang kesehatan. Penting untuk mengembangkan regulasi yang jelas dan komprehensif untuk melindungi privasi data pasien dan memastikan keamanan sistem AI.
Di sisi lain, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan edukasi dan pelatihan bagi tenaga medis agar mereka dapat beradaptasi dengan teknologi AI dan memanfaatkannya secara optimal untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Dengan pendekatan yang tepat dan kolaboratif, AI dapat menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, membawa manfaat bagi masyarakat luas dan membantu mewujudkan masa depan kesehatan yang lebih cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H