Indonesia merupakan negara dengan konsumen rokok terbesar kelima di dunia (Tobacco Control Support Center, Buku Fakta Tembakau: 2012). Selama ini rokok dianggap sebagai bilah bermata dua. Selain menguntungkan secara ekonomi, tapi juga membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Pemerintah juga telah melakukan berbagai macam upaya untuk mengontrol konsumsi rokok ini, salah satunya adalah dengan mengenakan pajak pada jual beli rokok.
      Pemerintah mengeluarkan undang-undang berkaitan dengan pajak rokok dengan pondasi atas asas kesehatan. Hal ini dikarenakan efek samping konsumsi rokok yang berbahaya dalam jangka panjang. Dampak ini tak hanya memengaruhi para perokok aktif, tetapi perokok pasif pun tak terhindar dari bahayanya apabila terpapar secara kontinu dengan asap rokok.
      Bahaya-bahaya paparan asap rokok ini diantaranya adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) seperti bronchitis dan emfisema, serangan jantung, kanker, masalah kesuburan, osteoporosis, kanker nesofaring, asam lambung, penuaan dini, hingga gangguan psikologis yang diakibatkan oleh substansi-substansi yang terkandung dalam sebatang rokok. Adapun substansi-substansi tersebut adalah nikotin, tar, karbon monoksida, benzene, dan lainnya. Oleh karena itu konsumsi rokok perlu dibatasi dan dikontrol agar kesehatan masyarakat dapat terjamin.
      Menurut Sustainable Development Goals poin ketiga yang diajukan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), ensuring healthy lives and promote well-being at all ages, pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas melalui eksekusi Pasal 31 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), alokasi dana bagi hasil baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, penggunaannya minimal 50% (lima puluh persen) untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum. Menurut UU PDRD 18 Agustus 2009, pajak rokok termasuk ke dalam kategori pajak provinsi dan pungutannya diurus oleh pemerintah.
      Pajak rokok ini nantinya akan masuk ke dalam kategori pajak daerah dan akan diberdayakan untuk memakmurkan daerah. Adapun kegunaan-kegunaan pemberdayaan pajak rokok adalah untuk pembiayaan kampanye bebas rokok, penyediaan smoking area, dan juga pembiayaan pemberantasan rokok illegal.
      Jika dilihat sekilas, adanya program ini secara jangka panjang dapat menguntungkan bagi rakyat dengan pendapatan rendah dan mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses kesehatan yang memadai. Pajak dari rokok yang tersalurkan ini nantinya akan digunakan untuk membiayai fasilitas-fasilitas Kesehatan dan akan mengakibatkan penurunan harga berobat di daerah dengan penyaluran dana bagi hasil pajak yang adil. Sehingga rakyat yang kurang mampu dapat menikmati pula kesempatan untuk berobat yang awalnya terhalangi oleh biaya yang besar.
      Apabila semakin banyak rakyat yang dapat mengakses fasilitas Kesehatan, maka taraf harapan hidup dan kesehatan masyarakat pada daerah tersebut akan semakin tinggi. Ini adalah hal yang menguntungkan bagi Indonesia yang nantinya akan menikmati bonus demografi di masa depan. Program ini apabila berhasil maka dapat mengurangi salah satu petaka demografi di tahun 2045 nanti.
      Seperti yang diketahui, nantinya pada tahun 2045 Indonesia akan mengalami bonus demografi yang mana dapat memengaruhi produktivitas rakyat. Namun, layaknya sisi mata koin yang berlawanan, bonus demografi ini juga menyajikan malapetaka-malapetaka yang akan muncul apabila Indonesia tidak dapat memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
      Jika pemanfaatan bonus demografi tidak dilakukan dengan baik dan merata, maka akan ada banyak rakyat kaum produktif yang terancam pengangguran.  Mata uang nantinya juga akan naik dengan seiring meningkatnya sektor ekonomi di Indonesia. Apabila rakyat dengan latar belakang seperti ini membutuhkan fasilitas kesehatan namun terhambat biaya, maka poin ketiga Sustainable Development Goals yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tadi tidak akan tercapai. Bagaimana pun, seiring berkembangnya peradaban manusia, sudah seharusnya terjadi perkembangan pada sektor kesehatan.
      Maka dari itu, dengan adanya pajak rokok yang diterapkan oleh pemerintah yang selaras dengan poin ketiga dari Sustainable Development Goals yang ditetapkan oleh PBB diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan terkait fasilitas Kesehatan, bantuan biaya kesehatan, dan pengendalian konsumsi rokok.
Daftar Pustaka:
Ispriyarso, B. Juli 2018. Fungsi Reguler Pajak Rokok di Bidang Kesehatan Masyarakat dan Penegakan Hukum. Ejournal Undip. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/19273/14070
Alkausar, B. 9 Oktober 2015. Hubungan Penerapan Pajak Rokok dengan Daya Beli dan Tingkat Konsumsi Rokok (Studi Penelitian pada Mahasiswa Fakultass Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang). Repository UB. http://repository.ub.ac.id/id/eprint/117746/
Iskandar, F.V. 27 Agustus 2017. Penerapan Kebijakan Earmaking Taxx dari Dana Bagi Hasil Pajak Rokok Terhadap Upaya Kesehatan Masyarakat di Provinsi Sulawesi Utara. Ejournal Unsrat. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/emba/article/view/23544
Indah, M.V. 12 Maret 2015. Pelaksanaan Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Rokok untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Core. https://core.ac.uk/download/pdf/294926407.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H