Mohon tunggu...
Khalila Indriana
Khalila Indriana Mohon Tunggu... -

Mahasiswa fakultas ekonomi yang sedang mengikuti passion-nya untuk menulis. Penulis yang mencerahkan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mahar, Mudah Bukan Berarti Murah

21 Mei 2012   05:25 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 9027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillah..

Saya tergerak menulis catatan ini untuk mengingatkan pada diri saya sendiri tentang esensi sebuah mahar. Mahar merupakan salah satu bagian dari suatu pernikahan, yang acap kali dibahas secara sederhana namun juga terkadang menarik untuk dibahas secara mendetail. Bahwasanya Nabi bernah bersabda,”Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim) Seorang perempuan boleh meminta ‘apapun’ kepada calon suaminya. Tentunya dengan batasan-batasan yang dapat diterima secara wajar, dimana si pria mampu untuk memenuhinya. Jangan sampai mahar yang ditetapkan menjadi sebuah penghalang terjadinya sebuah pernikahan karena memberatkan sang calon suami.

Mahar adalah tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. Mahar adalah sepenuhnya hak bagi seorang istri. Tidak berhak keluarga dari pihak isteri maupun keluarga suami bahkan suaminya sendiri untuk meminta atau mengambil alih hak sebuah mahar yang diberikan suami kepada isterinya. Kecuali sang isteri dengan kerelaan hati menggunakannya untuk kemaslahatan keluarganya. Hal tersebut diperbolehkan. Istri yang baik selalu memilih jalan-jalan terbaik ikut memikirkan bagaimana agar kehidupan keluarganya berjalan dengan baik pula.

Mahar yang paling umum diberikan pengantin pria adalah seperangkat alat sholat, cincin (emas), atau uang tunai. Dan, biasanya dibayarkan secara tunai pula. Ada mahar yang di sebutkan secara gamblang, namun ada pula mahar yang tidak disebutkan karena bisa jadi adalah mahar itu sebuah janji yang akan dipenuhi di kemudian hari seiring berjalannya pernikahan.

Seperangkat alat sholat mengisyaratkan sebuah tanggung jawab seorang suami sebagai imam dalam keluarga untuk membimbing istrinya selalu berjalan di jalan Allah. Melalui ibadah wajib serta memelihara sunah-sunnah Rasul. Sang suami juga bersedia mengajarkan sang istri cara beribadah yang benar, merutinkan yang wajib seperti sholat, puasa, juga membiasakan yang sunnah seperti sholat tahajjud, dhuha, puasa sunnah. Juga membenahi bacaan Al-quran sebagai penerang dalam rumahnya. Alangkah indahnya jika sebuah pernikahan dapat menyatukan dua hati yang dulunya berbeda menjadi pengingat satu sama lain dalam kebaikan. Inilah mengapa jenis mahar yang satu ini kerap menjadi pilihan karena dilihat dari fungsi dan maknanya yang luar biasa.

Sedangkan untuk jenis mahar yang lain seperti cincin, uang, maupun benda-benda lainnya biasanya tergantung permintaan sang istri dan kerelaan suami. Semuanya harus disesuaikan dengan keadaan, tak boleh ada keterpaksaan yang berujung tak mengenakkan. Bukan menjadi suatu keharusan, anggapan yang kerap kali beredar di masyarakat adalah, sepasang cincin yang melingkar di jemari menjadi tanda seorang telah ‘dipinang’. Sungguh, bukan sebatas itu saja esensinya.

Lalu, mahar seperti apakah yang dimaksud mudah itu? Di belahan bumi Allah yang lain, mahar bagi seorang gadis di Mesir yang terkenal akan kecantikannya, bisa mencapai 80.000 poundsterling! Sebuah angka fantastis untuk sebuah mahar untuk meminang satu orang wanita. Bahkan Rasulullah SAW ketika hendak meminang Khadijah memberikan mahar 700 ekor unta, jika di konversikan dengan nilai hari ini adalah sebanyak 700 mobil Mercy saudara-saudara! Tidak tanggung-tanggung, itulah kenyataan bagaimana seorang Nabi mencontohkan. Jadi, benar mahar itu sebaiknya adalah yang memudahkan. Namun mudah bukan berarti murah, bukan?

Menantu nabi Ali bin Abi Thalib ketika meminang Fatimah puteri Nabi ‘hanya’ memberikan sepasang baju besi sebagai maharnya. Lain lagi dengan kisah Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anhuma dengan mahar keIslaman Abu Thalhah. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bekata,“Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim. Maharnya keislaman Abu Thalhah. Ummu Sulaim telah masuk Islam sebelum Abu Thalhah, maka Abu Thalhah melamarnya. Ummu Sulaim mengatakan,’Saya telah masuk Islam, jika kamu masuk Islam aku akan menikah denganmu.’ Abu Thalhah masuk Islam dan menikah dengan Ummu Sulaim dan keislamannya sebagai maharnya.” (HR. An-Nasa’I : 3288). Jadi, mahar tidak pula harus berwujud kebendaan seperti hafalan Qur’an ataupun mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada calon mempelai wanita. Akan menjadi mahar yang jauh tak ternilai harganya.

Ada seorang teman saya, mbak Sinta Yudisia, berpendapat bahwa menikah dengan mahar yang terlalu murah dapat meningkatkan jumlah kegagalan dalam suatu pernikahan, yaitu berujung pada perceraian. Tapi, akan lain ceritanya andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang lelaki berselingkuh? Setidaknya ia berpikir, ”Istriku ini mahal lho harganya. Atau kalau aku mau kawin lagi, berapa duit yang harus aku kumpulkan?” Andai mahar perempuan tinggi, bisakah mencegah seorang perempuan berpaling? ”Dulu suamiku sudah memberiku mahar besar, belum tentu nanti ada lelaki yang mau meminangku dengan ’harga’ setinggi itu.” Tapi di satu sisi, andai mahar perempuan tinggi, bisa-bisa banyak pemuda menunda menikah dan hal itu berpotensi memunculkan perzinahan. Maka, harus adanya solusi disini.

Lanjut mbak Sinta lagi, coba deh kita fikir lagi. Jika pemuda di Mesir mau mengumpulkan puluhan dinar dan poundsterlingdemi kecantikan eksotis perempuan Alexandria, lalu berapa yang seharusnya  dibayar oleh seorang pemuda untuk mendapatkan seorang gadis muslimah yang shalihah? Berapa yang harusnya dibayar kan lelaki ketika ia menyempurnakan setengah agama yang kelak akan memelihara dunia akhiratnya? Sangat mahal tentunya, dan jika tak mampu dalam bentuk materi, sang pemuda harus membayarnya dengan menjadi qowwam yang baik bagi istri dan keluarganya.

Subhanallah, seperti itulah indahnya Islam. Saya sendiri memang ada keinginan untuk memudahkan mahar bagi calon suami saya kelak. InsyaAllah sudah saya fikir matang-matang, apa alasan meminta mahar tersebut. Bagi saya, memikirkan bagaimana kehidupan setelah pernikahan adalah jauh lebih penting daripada ketika akad atau resepsi pernikahan itu sendiri. Apalagi kalau harus ribut gegara persoalan mahar. Saya ingin yang menjadi mahar saya adalah sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan keluarga saya kelak, tanggung jawab amanah dalam mempergunakannya.

Anda berbeda pendapat dengan saya? Tak apa, beda pendapatan saja wajar apalagi beda pendapat. Hehehe (guyonan ippho santosa yang paling saya suka). Silakan sharing pendapat di comment ya. Wallahua’lam bi ash-shawab.

Pejuang pena, berjihad dengan ilmu lewat goresan tintanya.

Baitiy jannatiy,

Monday, May 14th 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun