Mohon tunggu...
Chalive R.
Chalive R. Mohon Tunggu... Guru - Guru

Didasari ajaran "Ballighuu 'annii walaw aayat", kecintaan pada anak, dan keinginan yang kuat untuk melihat generasi mendatang lebih baik, maka memberanikan diri untuk mencoba berbagi ilmu--sesedikit apapun--dengan menjadi pendidik di sebuah sekolah dasar di bilangan Bogor dan penerjemah lepas di beberapa penerbit di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Jangan Takut Mengeluarkan Biaya Besar

8 November 2011   04:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:56 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Delapan tahun menjalani mahligai rumah tangga, kami seperti menelusuri kebun teh; lancar, sejuk, dan indah. Sebagai keluarga kecil, kami memang menaruh impian besar. Impian untuk memiliki keluarga besar dan kehidupan yang mapan. Dengan menjalaniprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di bilangan Bogor, kami menata hidup. Biaya hidup sehari-hari tentu disesuaikan dengan penghasilan kami.Alhamdulillah, bisa juga mencicipi jajanan di mal-mal, meskipun di rumah terkadang juga berlauk tahu dan tempe. Tapi kami bahagia, karena tahu dan tempe itu dimasak dengan penuh cinta.

Meskipun sedikit, sebagian dari penghasilan kami sisihkan untuk mewujudkan impian besar tadi. Banyak rencana yang kami susun. Dari sekian rencana itu, pertama yang ingin kami capai adalah memiliki rumah sendiri. Melirik tabungan sebenarnya belum cukup untuk dibayarkan sebagai DP (down payment), tetapi kami sudah bergerilya memasuki perumahan demi perumahan, mencari informasi. Ternyata, hal itu semakin memompa semangat kami untuk memiliki rumah tinggal sendiri. Kami pun mulai merasa bosan jadi kontraktor, alias tukang ngontrak. Setahun kemudian, jalan itu terbuka bagi kami. Seseorang menawarkan untuk menjual rumah yang baru dibangun tiga bulan lalu. Karena suatu kebutuhan mendesak, setelah disepakati harga jualnya, orang tersebut minta dibayar semampu kami, sisanya bisa dicicil tanpa bunga. Kami pun bersalaman.

Setelah menempati rumah dengan dua kamar itu, kami baru sadar, seperti ada sesuatu yang kurang. Apalagi melihat satu kamar tak berpenghuni, mulailah muncul benih-benih keinginan untuk memiliki momongan. Akhirnya, kami sepakat untuk berkonsultasi ke dokter, mengingat usia pernikahan kami yang sudah menginjak angka delapan. Saat kunjungan pertama, seperti tak ada apa-apa pada diri kami, karena dokter hanya menyarankan agar tidak terlalu capek dan stress. Pada beberapa kunjungan berikutnya, sang dokter seperti mengisyaratkan sesuatu yang mencurigakan. Apalagi ketika istriku mulai mengeluh sakit di pinggul dan perut bagian bawah ketika menstruasi. Dokter semakin curiga. Istriku pun di USG. Tak cukup yakin dengan USG di rumah sakit itu, sang dokter merujuk kami ke rumah sakit yang memiliki USG empat dimensi. Hasilnya sungguh membuat aku terhenyak. Dokter bilang, dalam rahim istriku terdapat Myom, sejenis tumor kandungan.

Selang beberapa bulan kemudian, nyeri haid istriku bertambah parah. Kuajak dia kembali berkonsultasi dengan dokter tadi. Setelah di-USG, tiba-tiba dia menulis surat rujukan untuk dibawa ke dokter sejawat yang ia nilai lebih ahli. Aku semakin cemas. Setibanya di klinik tempat dokter terujuk, dokter menyatakan Myom di rahim istriku sudah cukup besar. Diameternya sudah enam sentimeter. Karena itu, disarankan laparoskopi. Karena peralatan di klinik tersebut tak memadai, kami diarahkan untuk menjalani laparoskopi di sebuah rumah sakit ibu dan anak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Setelah mencari informasi soal biaya laparoskopi, jujur aku sangat kaget. Bagi kami, angka tiga puluh juta bukan sesuatu yang kecil. Di sisi lain, aku juga tidak tega membayangkan kondisi istriku yang setiap bulan menangis menahan sakit, bahkan terkadang disertai muntah-muntah. Aku selalu kehabisan cara untuk membantu meredakan nyeri haidnya itu.

Di tengah kegalauanku, adik iparku mengingatkan, “Kalau myomnya memang sudah besar, kenapa tidak diikuti saja saran dokter untuk laparoskopi?”

“Biayanya terlalu besar,” jawabku singkat menggambarkan ketidakmampuanku.

“Kenapa tidak memanfaatkan asuransi Prudentialnya?”

Ahaaa... ya, aku baru ingat. Tiga tahun lalu, beberapa saat setelah menempati rumah idaman, kami juga mendaftar sebagai nasabah asuransi Prudential. Mengapa Prudential? Karena preminya relatif terjangkau, hanya tiga ratus ribu perbulan. Selain itu, premi yang kita bayarkan tidak hangus, meskipun pernah mengajukan klaim. Selang beberapa tahun, premi itu akan berubah menjadi investasi. Dengan bergabung sebagai nasabah Prudential, secara otomatis berarti kami menabung, sekaligus mengantisipasi pengeluaran biaya besar, seperti yang kami hadapi saat itu.

Tanpa mengulur waktu, kami kembali menemui sang dokter untuk menyatakan kesiapan menjalani laparoskopi. Di sisi lain, kami juga menghubungi agen Prudential berkenaan dengan apa saja yang harus disiapkan untuk mengajukan klaim asuransi. Beruntung sekali, agen kami sangat antusias membantu. Bahkan, di hari istriku menjalani laparoskopi, agen Prudential ikut datang ke rumah sakit, memberikan spirit dan seuntai doa agar operasi berjalan lancar.

Paska operasi dan serangkaian tindakan medis, nyeri haid istriku sudah berkurang. Kami pun semakin yakin bakal ada penghuni baru di rumah mungil idaman kami. Selanjutnya, kami tinggal menunggu campur tangan Yang Mahakuasa. Menunggu-Nya berfirman, “Kun!” , maka yang kami minta pasti terpenuhi.

***

Itulah sekelumit kisah keluarga kami bersama Pudential. Siapa pun pasti terhenyak bila secara mendadak harus mengeluarkan biaya besar.Tetapi, tak semua orang menyadari pentingnya mengantisipasi keadaan seperti itu, salah satunya dengan cara menjadi nasabah asuransi. Beberapa anggapan negatif seputar asuransi, seperti hanya mengejar profit, pengurusan klaimnya rumit, dan sebagainya harus ditepis dengan bertanya secara detail. Berikut ini beberapa tips yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung sebagai nasabah, antara lain:

1.Pilihlah perusahaan asuransi yang bonafit dan bertanggung jawab, jangan yang kacangan. Sebagai sebuah perusahaan, nama besar merupakan manifestasi kepercayaan dan kepuasaan masyarakat.

2.Jika masih kerepotan mengatur keuangan keluarga, tetapi ingin menjadi nasabah asuransi, pilihlah jenis asuransi yang sekaligus investasi. Dengan begitu, premi yang kita bayarkan tidak akan hangus, meskipun pernah mengajukan klaim. Asuransi jenis ini tak ubahnya menabung, tetapi mendapatkan tunjangan perawatan kesehatan.

3.Akan lebih baik jika berskala internasional dan didukung secara berlapis-lapis oleh lembaga keuangan yang kuat. Ini penting untuk mengantisipasi jika perusahaan tersebut dinyatakan pailit. Dengan memilih perusahaan asuransi yang seperti ini, investasi kita tentu aman, karena dijamin oleh lembaga keuangan tersebut, meskipun perusahaan asuransinya gulung tikar.

4.Tidak kalah penting memilih agen yang ramah, proaktif, dan ringan tangan. Maksudnya, kapan saja kita perlu bantuannya, dia selalu siaga.

Nah, keempat kriteria mendasar ini dimiliki Prudential. Karena itu, tunggu apa lagi?!

http://tobekhalifah.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun