Mohon tunggu...
Khalid Zabidi
Khalid Zabidi Mohon Tunggu... -

Memerhatikan Arah Perubahan; Ikut Berputar dalam Turbulensinya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Taman Ismail Marzuki sebagai Taman Peradaban

2 Maret 2018   12:57 Diperbarui: 2 Maret 2018   13:07 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Renungan Dalam Rangka Temu Kangen Aktivis 80-90

Gubernur DKI Ali Sadikin memindahkan binatang-binatang yang berada di Kebun Binatang Jakarta yang berada di kompleks rekreasi umum yang dikenal Taman Raden Saleh (TRS) ke Kebun Binatang Ragunan. Kemudian Bang Ali, begitu dia dipanggil dan dikenang, mendirikan ruang publik untuk ekspresi kebudayaan dan kesenian bagi dan untuk warga Jakarta. Dengan tanah seluas 9 hektare bang Ali membangun fasilitas gedung pertunjukan, sekolah dan fasilitas pendukung untuk berkegiatan kesenian.

Pada tanggal 10 November 1968 berdirilah sebuah ruang kebudayaan dan kesenian di Jakarta yang boleh jadi adalah ruang kebudayaan dan kesenian pertama di Indonesia di era Indonesia merdeka.

Bang Ali Sadikin yang berlatar belakang militer tapi tak surut mempromosikan nilai nilai keterbukaan, persamaan dan demokrasi dalam setiap programnya menjadikan Taman Ismail Marzuki bukan hanya sebagai pusat pergerakan kebudayaan dan kesenian namun kerap kali bersinggungan dengan dinamika pergerakan sosial politik.

Ruang-ruang keterbukaan yang dinamis adalah ciri dari Taman Ismail Marzuki sejak dulu hingga kini, berisi pertemuan dan diskusi dari para budayawan, seniman dan aktivis sosial. Ide-ide kesenian dan sosial politik berpilin, berajut dan bersenyawa menjadi inspirasi bukan hanya pada medan sosial seni saja melainkan melebar dan meluas pada medan sosial kemasyarakatan.

Sejarah mencatat, dari Taman Ismail Marzuki telah lahir budayawan dan seniman unggul berkelas dunia dengan kerendahhatian dan mengakar pada pribadi nasional, sebut saja WS. Rendra, Gus Dur, Salim Said, Sutardji Chalzoum Bachri, Sardono, Jose Rizal Manua, Ratna Sarumpaet, Chaerul Umam,  dan nama-nama besar lainnya yang telah menghidupkan dan mengharumkan nama kebudayaan dan kesenian di Jakarta secara khusus maupun Indonesia.

Pergulatan pemikiran estetika, kritisisme dan kemasyarakatan beradu dan berpadu, dalam musik, sastera, film, drama dan kesenian lainnya tidak hanya mengejar kebaruan dan eksperimentasi instrinsik seni melainkan juga mempertanyakan nilai nilai soal misalnya terkait dengan keadilan sosial di dalam masyarakat.

Aktivis 80-90, Anies Baswedan dan Indonesia Berkeadilan Sosial.

Hari ini, Jumat 2 Maret 2018, Taman Ismail Marzuki kembali akan menjadi saksi terjadinya pertukaran idealisme dan gagasan antara medan kesenian dan medan sosial kemasyarakatan. Dimana ratusan aktivis dari 2 generasi berbeda, para aktivis mahasiswa tahun 80an dan para aktivis mahasiswa 90an dari berbagai kota, walau acara ini berjudul Temu Kangen melepas rindu bertahun tidak berjumpa namun tidak sedikit kalangan aktivis pergerakan ini gelisah dan bersikap kritis terhadap kondisi bangsa dan negara.

Kegelisahan dan kekritisan adalah ciri mendasar para aktivis sejak masa lalu. Bila merujuk perjalanan pergerakan mahasiswa sejak tahun 80an dan 90an adalah cerita keras tentang jalan yang terjal mendaki melawan kekuasaan yang lalim.

Siang malam melihat dan mengalami sikap keras aparat militer, represifitas aparatus, kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, hingga penumpukan modal kekayaan hanya pada segelintir orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun