Lebih lanjut analisa dari penurunan IPM Indonesia bahwa telah terjadi penurunan (dalam persen) sekitar 18, 2 % dari angka 0.689 pada tahun 2015 anjlok ke angka 0.563 pada tahun 2016 karena masuknya faktor perhitunga yag terkait ketimpangan.
Laporan tersebut juga menunjukkan sejak kurun 1990 atau 25 tahun IPM Indonesia telah meningkat 30,5% keluar dari kategori Low Human Development masuk ke dalam kategori Medium Human Development namun sangat di sayangkan dalam kurun waktu belakangan paling tidak dasawarsaa terakhir Indonesia masih belum bisa menembus masuk ke dalam kategori negara dengan IPM tinggi High Human Development.
Dari peringkat Indonesia yang sekarang dengan posisi 113 Indonesia tertinggal dari negara-negara semacam, Turkmenistan, Mesir, Paraguay, Gabon, Bostwana, Moldova atau bahkan negara lainnya yang massuk dalam kategori negara yang memiliki High Human Development semacam Uzbekistan, Maldives, Samoa, Belize, Libya, Tonga, Saint Vincent and The Grenadines, Republik Dominika, Tunisia, Suriname, Dominika, Kolombia, Jamaika, Thailand dan lainnya.
Mengamati laporan tersebut dengan segala catatan dan pencapaian Indonesia, memberitahu kepada kita bahwa pembangunan yang telah di lakukan pemerintah belum menjadikan rakyat lebih khusus lagi perempuan, kelompok etnis minoritas dan penduduk yang tinggal di daerah terpencil menjadi hal yang paling utama dari subyek pembangunan.
Pemerintah masih memandang angka-angka kemajuan dari hitungan skala rata-rata nasional sehingga luput memperhatikan yang kecil-kecil yang tertinggal sehingga tidak pernah muncul pertanyaan-pertanyaan substantif seperti "apakah ada yang tertinggal?" atau "Apakah ada manfaatnya buat perempuan?" atau " Apakah mereka dapat mengakses pembangunan tersebut?"
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kinerja fiskal yang stabil, dan terjaganya defisit APBN menjadi kata-kata ajaib yang selalu keluar dari pemerintah dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Manusianya sebagai subyek pembangunan seringkali bahkan selalu di abaikan, pengabaian ini tampak jelas dari sepinya pembahasan terkait isu IPM ini dalam perdebatan pembangunan nasional.
Pembicaraan terkait politik pembangunan dalam era demokrasi masih terbatas pada riuh rendahnya mekanisme prosedural demokrasi, belum menjadikan kelompok terpinggirkan khususnya perempuan, etnis minoritas dan penduduk yang tinggal di daerah terpencil terabaikan dalam politik demokrasi.
Catatan :
Tulisan ini adalah paparan tulisan yang diambil dari kultwit akun twitter @kyai_ciganjur dengan hashtag  #IPMrendah