Sejak awal pandemi Covid-19 di Maret 2020 yang lalu, istilah thrifting kembali menjadi sorotan publik tanah air. Istilah ini kembali ramai dan digandrungi generasi muda, dan terbilang baru diketahui masyarakat Indonesia secara umum. Mereka sebelumnya tidak mengenal istilah tersebut, tetapi sejak lama telah mengenal secara sadar maupun tidak sadar pengertian dari thrifting itu sendiri, di mana definisi awamnya, yakni mencari (membeli) barang bekas pakai atau dapat dikatakan sebagai langkah berhemat.Â
Banyak orang yang menyebutnya "cari loakan, ngeloak" dan sebutan lainnya yang beragam sesuai kontek lokal, di mana maknanya sama dengan istilah thrifting. Penekanannya dalam hal ini jenis barang pakaian, bukan thrift product secara luas. Sebagian masyarakat ada yang menganggap hal tersebut sebagai sebuah tren gaya hidup, sementara di sisi lain ada yang menganggap itu sebagai sebuah keterpaksaan akibat sesuatu hal, seperti persoalan sosio-ekonomi dan psikologi.
Pertama, istilah thrifting berawal dari sebuah persoalan yang terjadi di negara barat, khususnya Eropa Barat dan Amerika. Tepatnya pada pertengahan abad ke-18 dan 19, kala itu terdapat fenomena Revolusi Industri di Eropa Barat mempengaruhi secara signifikan mekanisasi kegiatan produksi, sehingga industri dapat menghasilkan barang dengan mudah, cepat, dan murah. Pada saat itu, terjadi booming produk tekstil secara besar -- besaran. Produksi barang -- barang tekstil seperti jenis -- jenis pakaian, celana, jaket, dan lain sebagainya sangat melimpah, para penjual produk -- produk tersebut menjamur, sehingga pada saat itu hargapun sangat murah sekali.Â
Masyarakat ketika itu sangat antusias membeli, karena dorongan aspek ekonomi, dan transformasi tren gaya hidup, sehingga masyarakat menjadi konsumtif, dan juga mengenal produk pakaian sebagai disposable product (barang sekali pakai atau sekali buang). Kemudian, terjadi penumpukan barang -- barang habis pakai sebagai ekses dari melimpahnya barang -- barang murah dan perubahan gaya hidup masyarakat pasca revolusi industri. Bermunculan inisiatif dari sebagian kalangan untuk menampung khususnya pada  barang -- barang fashion untuk kemudian diberikan secara cuma -- cuma kepada para imigran, tuna wisma, dan masyarakat tidak mampu lainnya. Dalam periode ini sebagai kemunculan istilah charity shop (untuk tujuan amal), sebelum adanya budaya thrifting (menjadi komersil).
Sementara itu, terdapat fenomena di tahun 1920-an dan 1930-an khususnya di Amerika, dan secara umum di negara -- negara belahan dunia, yang dinamakan depresi besar (great depression) keruntuhan ekonomi barat akibat sistem kapitalisme yang rentan sekali terjadi krisis, banyaknya jumlah pengangguran, di tambah kondisi ekonomi masyarakat yang melemah menimbulkan ketidakmampuan untuk membeli produk pakaian baru, sehingga pada saat itu sebagian besar masyarakat mencari thrift shop.
Selain peristiwa itu, fenomena bermunculannya thrift shop di Amerika misalnya, atau di Eropa menjadi sebuah tren baru sekaligus transformasi dari charity shop ke thrift shop. Hal tersebut menjadi wadah bertemunya kalangan yang tidak mampu dan orang yang mampu tetapi kesulitan menyalurkan produk pakaian.
Di era 90-an misalkan, ketertarikan masyarakat terhadap fashion dipengaruhi oleh dunia hiburan, baik musik, film, dan lainnya. Sebagai contoh, dengan keberadaan para musisi asal Seattle, Amerika, seperti Nirvana, Pearl Jam, Soundgarden, dan lainnya, menjadikan mereka sebagai tren setter yang menjunjung gaya anti-kemapanan. Mereka para musisi sering menggunakan gaya pakaian yang sederhana dalam setiap aksi panggungnya. Di era ini, banyak para penggemar yang terpengaruh gaya pakaian para musisi idamannya, sehingga mencari pakaian ala musisi Seattle harus pergi ke toko -- toko barang bekas, yakni thrift shop yang menjajakan produk -- produk bekas dengan desain lawas dan sederhana, serta dengan harga terjangkau.
Dari ulasan historis mengenai thrifting, ada fenomena pergeseran tren yang kondisional dipengaruhi berbagai macam persoalan, dari motif ekonomi, hingga gaya berpakaian. Apabila melihat persoalan budaya thrifting saat ini terbagi ke dalam dua kategori preferensi masyarakat berdasarkan motif dan tujuan, yakni sebagai gaya hidup atau karena keterpaksaan.
Untuk sebagian masyarakat melihat budaya thrifting sebagai sarana melampiaskan hasrat atau pemuasan keinginan subjektif. Mengeneralisasinya hanya mampu sebatas di tingkatan thrifting sebagai bagian dari gaya hidup, akan tetapi sampai pada tataran yang lebih dalam dan subjektif akan beragam preferensi mengenai gaya itu sendiri. Bagi masyarakat yang seperti ini, yang haus akan pemuasan keingingan terhadap suatu tren atau gaya, entitas penyedia barang bekas pakai atau yang dinamakan sebagai thrift shop atau second-handed shop menjadi sarana untuk merealisasikan preferensi unik dari setiap individu tentang gaya berpakaian.
Di sisi lain, terdapat sebagian masyarakat yang memilih budaya thrifting karena unsur keterpaksaan. Mereka yang memanfaatkan toko -- toko yang menjual barang pakaian bekas sejatinya karena faktor lemahnya kemampuan finansial, sehingga tidak mampu membeli yang baru. Apalagi dalam situasi pandemi yang serba sulit, banyak jumlah buruh yang di rumahkan, upah menurun, dan kesimpangsiuran ekonomi lainnya. Di Indonesia, hampir di seluruh wilayahnya terdapat pasar -- pasar yang menjajakan pakaian bekas pakai yang dijual dengan harga murah, hal ini khusus untuk produk -- produk pakaian yang berasal dari industri fast fashion. Bagi produk -- produk pakaian yang memiliki unsur vintage, desain unik dan berasal dari brand ternama, pastinya harga akan tetap tinggi.
Dari kedua tipikal masyarakat terhadap keberadaan budaya thrifting, keduanya memiliki persamaan atas aspek kebermanfaatannya, dan juga sama -- sama membantu mereka. Budaya thrifting yang kini masih digandrungi sebagian masyarakat di Indonesia masih menjadi bagian dari budaya konsumerisme, belum dapat dikategorikan sebagai upaya yang dapat menekan angka konsumsi di masyarakat.Â