Mohon tunggu...
Khalid Walid Djamaludin
Khalid Walid Djamaludin Mohon Tunggu... Ilmuwan - Social Researcher

My name is Khalid Walid Djamaludin. I am an Independent Social Researcher from PRODES Institute Indonesia. my research interests are Economic Anthropology, Political Economy, Corruption Studies, and Social Empowerment.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merespon Polemik Hak Aborsi

23 Februari 2021   13:37 Diperbarui: 23 Februari 2021   13:42 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam menyikapi isu hak aborsi, dituntut adanya sebuah basis argumentasi yang adil, baik dari sudut pandang sosial-budaya, agama, politik, dan hukum bagi semua pihak. Tentunya menciptakan keadilan untuk semua pihak tersebut menjadi hal yang sukar. 

Persoalan hak aborsi seiring berjalannya waktu bertransformasi menjadi sebuah barang publik internasional, walaupun perjalanan itu berjalan secara senyap. Akibat proses dialektis di masyarakat yang menjadikannya terfragmentasi menjadi dua bagian, yakni kelompok masyarakat yang setuju terhadap kehidupan (life) dan setuju terhadap pilihan (choice) untuk melakukan tindakan aborsi bagi kaum perempuan, walaupun fragmentasi tersebut di Indonesia sendiri belum senampak yang terjadi di negara -- negara lain.

Pembelahan suara publik menjadi sebuah gerakan pro-life dan pro-choice di mana ini sangat kentara terjadi di Amerika Serikat, dan negara -- negara liberal lainnya. Di Indonesia sendiri, publik masih menganggap hak aborsi sebagai sesuatu yang tabu atau sensitif bahkan menjadi hal yang tidak penting bagi segelintir orang, di mana menurut Guttmacher Institute perdebatan isu aborsi dipublik ini terhalang oleh isu moralitas dan agama. L. Lader menyatakan dalam sebuah artikel yang dibuat WHO (World Health Organization) (1971), bahwa mayoritas masyarakat negara -- negara di dunia masih menganggap aborsi menjadi hal yang menakutkan, dan isu aborsi telah terdegradasi begitu lama ke sudut -- sudut ketakutan tergelap, sehingga hal ini menjadi tidak tersentuh dan tidak terbahas.

Di Amerika Serikat, sejumlah kelompok yang mayoritas dari kaum perempuan terlibat aksi dalam gerakan mendukung pro-choice. Tuntutan mereka sebenarnya adalah menghendaki adanya Undang -- Undang yang mengatur praktik aborsi secara legal. Mereka para kaum perempuan menjadi subjek yang harus dilindungi secara medis dalam melakukan praktik aborsi yang sesuai dengan kaidah medis dan aturan yang sah. Mereka berkeyakinan, bahwa memperoleh hak keselamatan dalam praktik aborsi yang sesuai prosedur merupakan sebuah hak setiap warga negara. 

Dalam argumentasinya, seorang aktivis yang pro-choice berpendapat, bahwa kriminalisasi praktik aborsi menjadi hambatan seseorang untuk keluar dari jebakan keterpurukan, seperti kemiskinan, bahkan hingga kematian. Subjek yang menginginkan aborsi masih terstigmatisasi, bahwa tuntutan ini bersumber dari mereka yang melakukan seks bebas sejak dini atau hamil di luar pernikahan kemudian dinyatakan sebagai seseorang yang amoral, akan tetapi menurut data penelitian Guttmacher Institute (www.guttmacher.org) di Indonesia yang dirilis tahun 2000 yang lalu menjelaskan, bahwa mayoritas hampir 90 persen yang menginginkan atau melakukan praktik aborsi adalah mereka yang telah menikah. 

Berdasarkan data yang ada, mereka melakukan aborsi dikarenakan ketidakefektifan atau ketidakberfungsian alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan, sehingga mengakibatkan kehamilan tidak terencana (unplanned pregnancies), khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah pedesaan mereka terkendala tingkat literasi yang rendah mengenai edukasi tentang seks atau manfaat dari penggunaan alat kontrasepsi.

Kembali pada korelasi legalisasi praktik aborsi dengan aspek sosio-ekonomi yang memiliki implikasi pada kemiskinan menjadi salah satu argumen dari mereka yang setuju terhadap legalisasi praktik aborsi dapat dinilai sebagai hal yang masuk akal. Ketika mereka seorang perempuan dengan kondisi ekonomi yang pas -- pasan mengalami kehamilan yang tidak terencana, atau bahkan seorang perempuan belia (di bawah umur) yang hamil di luar nikah dapat berimplikasi pada tumbuhnya beban ekonomi dalam rumah tangganya, seperti sulitnya membiayai persalinan, untuk memenuhi asupan gizi yang baik untuk si buah hati, hingga mempengaruhi psikis seorang ibu akibat munculnya kesulitan -- kesulitan setelah kelahiran anak yang tidak terencana, sehingga tidak sedikit dari mereka terganggu kejiwaannya, dan nekat melakukan tindakan -- tindakan kriminal seperti pembunuhan pada anak.

Di sisi lain, terdapat gerakan pro-life yang tidak menyetujui adanya legalisasi praktik aborsi. Mereka adalah para aktivis, politisi maupun pemerintah, terutama di Amerika Serikat, dan negara -- negara liberal lainnya yang setuju dengan kehidupan atau menolak legalisasi terhadap praktik aborsi menilai, bahwa hal tersebut sama halnya dengan tindakan pembunuhan. Di Amerika Serikat, penolakan terhadap praktik aborsi juga mendapatkan sorotan dari kelompok agama tertentu. Mereka juga sependapat, bahwa tindakan tersebut merupakan yang menyalahi moralitas dan norma agama. 

Mereka mengajak para kaum perempuan untuk tidak melakukan praktik aborsi sebagai upaya menghindari sesuatu yang buruk terjadi di masa yang akan datang. Menurut mereka yang pro-life, mengeluarkan janin yang ada dalam kandungan tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kaum perempuan tersebut, justru akan menghadapi persoalan yang sama seperti perempuan yang menggugurkan kandungannya dengan prosedur legal, mereka tidak semata -- mata terhindar dari kemungkinan -- kemungkinan masalah yang timbul dari tindakan tersebut, psikis mereka pasti akan berada dalam kondisi yang sama. Jalan yang bijak bagi kaum perempuan adalah tetap memelihara janin tersebut, karena janin yang terkandung dalam rahim juga memiliki hak untuk berkembang dan hidup.

Berdasarkan data Guttmacher Institute tahun 2000 dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (www.viva.co.id) tahun 2020 yang lalu di Indonesia terdapat dua juta kasus aborsi setiap tahunnya, dan sekitar 30 persen dilakukan oleh kalangan remaja. Pastinya dari data yang diperoleh tersebut, persoalannya terletak pada praktik aborsi ilegal, atau dengan kata lain mereka para subjek yang menghendaki aborsi tetapi melalui prosedur non-medis, seperti melalui praktik perdukunan, panti pijat, menggunakan ramuan jamu dan obat -- obatan yang tidak jelas peruntukannya dan klinik aborsi ilegal. 

Alasan daripada tindakan tersebut dikarenakan ketidakberadaan aturan yang jelas, komprehensif dan legal tentang praktik aborsi, sehingga mereka melakukan jalan pintas untuk menggugurkan janin dalam kandungan melalui sarana -- sarana yang tidak aman bagi kesehatan mereka. Aturan mengenai praktik aborsi di Indonesia hanya terbatas pada praktik aborsi dengan indikasi medis menurut kondisi kedaruratan sebagaimana yang terkandung dalam Undang -- Undang tentang Kesehatan Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (www.lifestyle.kompas.com). Tidak sedikit juga kaum perempuan yang setelah melakukan tindakan aborsi ilegal atau dengan jalan tidak sesuai prosedur kesehatan kerap meregang nyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun