Mohon tunggu...
KHALIDA LUBABA SUFA
KHALIDA LUBABA SUFA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga

Aku suka membaca. Mostly bacaan fantasi, lil bit romance would be great! Aku juga suka membaca tentang kebiasaan hewan-hewan di bumi. Kalian tahu lumba-lumba? Mereka tidur dengan satu mata terbuka! Keren bukan?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah dalam Kepingan Salju

15 Januari 2025   11:23 Diperbarui: 15 Januari 2025   11:23 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini, badai salju menghantam tempat tinggalku dengan sangat lebat. "Ah, dingin sekali", ucapku dalam hati. Kugosok kedua telapak tanganku dengan cepat dan kuusapkan pada kedua lenganku. Aku yakin tumpukan salju tebal akan menutupi pintu rumahku esok hari. Aku menghela napasku dengan pelan, "Tiada hari libur tanpa bersantai". Aku seduh teh panas yang baru dikirimkan oleh saudaraku dari Borneo, si Beruang Madu. Nikmat sekali rasanya dapat merasakan hangat dan lembutnya aroma teh sembari duduk di dekat perapian. 

Aku lihat badai salju bak tirai putih menutupi pandangan dari luar jendela sembari bedecak kesal, "Huh, sungguh membosankan". Seringkali aku merasa iri dengan saudaraku, si Beruang Madu, yang hidup di tanah tropis. Aku dapat membayangkan betapa indahnya pemandangan dengan bermacam-macam warna dari berbagai makhluk di sana. Hijaunya daun, coklatnya tanah, serta warna warninya bunga. Aku ingin sekali menghirup aroma tanah setelah terguyur hujan atau aroma humus dari kayu lapuk di tengah hutan yang saudaraku gemborkan menjadi hal favoritnya. Aku juga penasaran bagaimana rasa dari madu. Cara saudaraku mendeskripsikan betapa lembut dan manisnya madu hutan membuatku menelan ludah dengan kasar. Aku yakin akan sangat mengasyikkan dapat berburu madu di hutan dan dikejar oleh lebah. Aku dengar, sengatan lebah sangat menyakitkan. Tapi aku ragu apakah mereka dapat menembus buluku yang lebat ini dengan mudah, haha. Sungguh, membayangkannya saja membuat hormon adrenalinku meningkat tajam.

Tes,,, tes,,, tes,,,

Kurasakan tetesan air jatuh mengenai kepalaku. Aku buka mataku perlahan sembari mengerjapkan mata untuk menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang ada. Silau sekali. Menyadari ada yang berbeda di tempat ini, seketika mataku membola, "Dimana ini?". Aku bangun dengan panik dan meraba-raba seluruh badanku, "Aku, hidup?". Seingatku, aku sedang duduk sambil menikmati teh hangat di kediamanku, "Mengapa aku di gua?". Gua ini tampak berbeda. Tak sekalipun aku pernah menemukan gua seperti ini di kutub utara. Lembab, berair dan, "Hijau? Apa ini? Apakah ini yang dinamakan daun?". Namun, sesuatu yang berwarna hijau itu tidak terlihat seperti daun yang dideskripsikan oleh saudaraku di suratnya tempo hari. Sesuatu ini menutupi sebagian dinding gua. Aneh.  

Tak ingin berpikir panjang, aku ayunkan kakiku menuju pintu gua di ujung sana. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Pohon yang menjulang tinggi dengan daun-daun lebat yang memiliki bentuk beraneka ragam, "Ya, ini baru daun", hewan-hewan kecil yang aku tidak tahu mereka itu apa, serta bau khas yang menyegarkan yang belum pernah aku hirup sebelumnya. Aku menarik napas dalam-dalam sembari merentangkan kedua tanganku dan menutup mata menikmati simfoni asing yang aku temukan indah di telingaku. "Aku suka disini", ucapku sumringah. 

Kuhabiskan waktu untuk mengelilingi tempat ini dengan riang gembira. Sampai matahari di pucuk kepala, aku mulai merasakan panas yang luar biasa. Aku tidak suka. Aku berlari dengan tergesa-gesa untuk mencari sumber mata air. Air mataku turun tanpa sengaja dan otakku menjadi tumpul. Aku tak bisa berkonsentrasi karena hawa panas yang menyerangku ini sangat mennggangguku. "Buluku terlalu tebal", ucapku dalam hati. Aku tajamkan pendengaranku sampai mendengar suara gemericik air dan mengikutinya dengan terpontang-panting. "Oh, air", ucapku terharu dan terengah-engah. Tanpa babibu, kuuceburkan badanku ke dalam kubangan air di bawah air terjun itu. Byur. Seketika terciptalah hujan buatan dari cipratan air dan membasahi tanaman di sekitar kubangan. "Ahh,, segarnya". Aku pun memejamkan mata sembari menikmati dinginnya air yang menenangkan suhu tubuhku. 

Kruyukk, aku lapar.

Aku berenang menyelam ke dalam air dengan harapan dapat menemukan ikan untuk disantap. Ugh,, pandanganku tertutup keruhnya air. Aku yakin itu karena sesuatu yang menempel di bebatuan yang luruh setelah aku menceburkan diri. "Ikan, ikan aku harus mendapatkannya", tekadku dalam hati. Sampai akhirnya mataku tertuju pada seekor ikan di dasar air. Ikan tersebut berwarna hitam dengan bintik-bintik berwarna putih dan siripnya lebar. Ikan itu makan sesuatu yang hijau dan menempel di bebatuan. Persis dengan apa yang membuat air menjadi keruh tadi. Tak mau membiarkan perutku menunggu lama, kusambar langsung ikan tersebut. Aku gigit kepalanya dan langsung kutarik kulitnya sampai terlepas sebelum aku menyantapnya dengan tergesa-gesa. Hmm? aku memiringkan kepalagu sambil mengolah informasi rasa di otakku. "Ikan ini rasanya aneh", ucapku mengernyit namun tetap aku habiskan tak bersisa. 

Kunikmati siang ini dengan berendam di kubangan tadi. "Jika terus begini, buluku mungkin akan rusak", ucapku pelan. Suhu di tempat ini berbeda dengan tempat tinggalku. Terlebih di sini udaranya sangat lembab. Aku baru menyadari kalau hidungku menjadi aneh. Aku tidak nyaman. Seolah-olah seluruh indraku menjadi tumpul. Ini aneh, "Aku rindu rumah". Aku tatap hamparan langit biru di atas kepalaku dan bergumam, "Mau seindah apapun di sini, aku tetap rindu rumah, hiks". Aku ingin pulang! 

Aku bangkit dari kubangan tersebut dan kulangkahkan kakiku menuju gua tempat pertama kali aku bangun. Mungkin saja ada pintu kemana saja yang akan muncul atau ada petunjuk lain agar aku dapat kembali ke rumahku. Kuseret langkahku dengan lemas menyusuri jalan setapak yang telah aku lewati tadi. Pikiranku terus melayang, merindukan dinginnya hamparan salju di rumah. Sampai aku merasakan sesuatu yang tidak nyaman menyerang kakiku. Aku tundukan kepalaku dan terkejut melihat banyak hewan melata berwarna hitam bergelayut di kakiku. "Aw", teriakku. Bloody hell, hewan-hewan ini menggigitku. Panik, aku berusaha menyingkirkan hewan-hewan tersebut. Kuhentak-hentakan kakiku dan kuraup mereka dengan kasar. Aku pun lari terbirit-birit menuju gua yang sudah terlihat di ujung pandanganku. Mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku pusing dan tubuhku lemas. Namun, tetap kupaksakan agar aku dapat menuju gua sesegera mungkin. Selangkah memasuki pintu gua, warna gelap menghantam penghilatanku. "Aku,, pingsan?"

Gasp. Kubuka mataku dengan panik. Prangg. Aku lompat berjengit dari kursiku menatap kaget cangkir yang pecah di lantai. Napasku tersengal-sengal dan detak jantungku melaju kencang. "Aku,, di rumah?". Kupandangi sekitar, mulai dari kursi, perapian, dan jendela yang tertutup hujan salju sudah jelas ini rumahku. "Bagaimana bisa?", aku bertanya heran. Aku dudukkan kembali badanku sembari memijat pelipisku. Tanpa sengaja, kujatuhkan pandanganku kepada sebuah surat di atas meja, "Ah, surat saudaraku tempo hari". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun