Mohon tunggu...
Khalida Faiza
Khalida Faiza Mohon Tunggu... -

mahasiswi pejuang

Selanjutnya

Tutup

Politik

RUU P-KS: Awas! Tipuan Penyelamatan Feminis terhadap Perempuan

27 Maret 2019   20:18 Diperbarui: 29 Maret 2019   13:34 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai menuju pesta demokrasi negeri, penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) terdengar semakin melemah. Berita terbaru (26/3), dikabarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah mendukung RUU P-KS. Kubu yang mengajukan RUU P-KS menargetkan pada Agustus 2019 RUU ini sudah disahkan oleh DPR. Berbagai organisasi (124 organisasi) dibawah Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) untuk Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hari ini (27/4) mengadakan mimbar politik perempuan di Taman Ismail Marzuki Jakarta untuk mengukuhkan perjuangan mereka agar RUU ini segera sah.

RUU P-KS Bukan Perjuangan Baru

Setidaknya ada tiga alasan menolak RUU P-KS yang disuarakan kalangan kontra; (i) pelegalan seks bebas termasuk kaum LGBT, (ii) pelegalan aborsi dan (iii) kebebasan berpakaian. Secara umum, menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan aktivis Maimon Herawati, RUU ini bertentangan dengan Pancasila, nilai ketimuran dan agama.

Sebagai produk pemikiran, kubu penggagas RUU tidak tinggal diam dan menyangkal satu demi satu alasan yang diutarakan oleh kubu kontra. Kubu penggagas bersikeras alasan mereka mengajukan RUU ini adalah belum adanya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dalam KUHAP. "KUHAP yang kita punya untuk memberikan jaminan kepada tersangka atau terdakwa. Untuk korban tidak ada pengaturan perlindungannya", kata Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati. Menurut Nurherwati, karena hal ini lah tidak banyak korban yang melaporkan kasusnya. "Dari sekian ratus kasus kekerasan seksual, yang dilaporkan hanya 10 persen, yang masuk ke persidangan jadi 5 persen, yang divonis dengan hukuman, mungkin sekitar 2-3 persen," lanjut Nurherwati.

Mengenai prostitusi (seks bebas) tidak diatur dalam RUU ini karena sudah diatur dalam KUHP pasal 296 dan 506. Alasan bahwa dalam RUU P-KS juga melegalkan LGBT dan mengatur cara berpakaian, menurut kubu penggagas, tidak ditemukan pembahasannya dalam draft asli. Tidak disebutkan sama sekali mengenai hukuman bagi orang yang memaksa orang lain berpakaian sesuai dengan keinginannya. Pernyataan yang menegaskan bahwa RUU PKS adalah produk barat dan diciptakan oleh para feminis radikal juga dikatakan tidak ditemukan kebenaran faktanya, dan bisa dipastikan bahwa pernyataan ini tidak memiliki dasar fakta yang riil alias hanya asumsi semata.

Setelah adu argumen tersebut, kedua kubu -kubu penggagas dan kubu kontra- tahu benar bahwa perbedaan pendapat mereka dikarenakan karena perbedaan prinsip dan sudut pandang. Kubu penggagas mengatakan, hendaknya dalam memandang dan memahami RUU mengedepankan sudut pandang gender, bukan sudut pandang normatif atau agama. Yang benar saja! Bagaimana bisa seorang manusia yang telah mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang menciptakan sekaligus mengatur kehidupan manusia, meninggalkan identitasnya sebagai makhluk Allah ketika memandang dan memahami aturan kehidupannya?

Sudut pandang gender yang dimaksud oleh kubu penggagas adalah bahwa perempuan dan laki-laki harus setara dalam; mengenyam pendidikan, berekspresi di lingkungan umum (berpakaian, bersosialisasi), termasuk hubungan seks (baik legal dalam bentuk pernikahan atau tidak) dan imbasnya (aborsi). Kubu ini menempatkan perempuan sebagai korban dalam setiap hal yang mereka tuntut persamaan. Mereka merasa, hari ini, apapun yang terjadi pada hubungan perempuan dan laki-laki, yang disalahkan adalah perempuan. Misalnya, dalam kasus perkosaan, perempuan akan disalahkan mengenai baju yang dipakainya; dalam kasus perempuan berpendidikan tinggi, akan disalahkan karena membuat laki-laki tidak ada yang berani meminangnya; dalam kasus aborsi, akan disalahkan kenapa membunuh janin tidak berdosa, padahal ia diperkosa; dalam kasus istri yang tidak patuh suami, perempuan yang selalu disalahkan menurut pandangan agama, dan lain-lain. Ide membuat perempuan sebagai korban ini, bertemu dengan perempuan-perempuan fitrahnya mudah 'baper' akan sangat disambut bak pahlawan yang menyelamatkan mereka dari 'ketidakadilan' hidupnya.

Ide kesetaraan ini bukan ide baru, dan bukan merupakan hal yang aneh diperjuangkan di negara ini karena Indonesia telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) menjadi UU RI No.7 Tahun 1984. Semua hal yang diperjuangkan dalam RUU P-KS ini sesuai dengan garis besar ide dalam dokumen CEDAW.

Dalam Pasal 1 CEDAW misalnya disebutkan, diskriminasi terhadap perempuan berarti segala pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan (CEDAW, 1979:2). Solusi dari diskriminasi yang diartikan sebagai segala perbedaan yang didapatkan perempuan dari laki-laki ini adalah kesetaraan. Kesetaraan yang ingin dicapai bersifat substantif, yakni kesetaraan yang digambarkan sebagai kesetaraan hakiki, bukan yang dipandang kesetaraan semu, misalnya, membuka kesempatan yang sama bagi perempuan, akan tetapi perlu diberikan dukungan untuk dapat meraih kesetaraan itu secara riil yakni keikutsertaan perempuan dalam parlemen. Komite CEDAW juga menuntut negara peratifikasinya untuk melegalisasi aborsi atau setidaknya membuka akses yang lebih luas bagi pelaksanaannya. Seperti tekanan mereka pada negara-negara Argentina, Australia, Irlandia, Meksiko, Italia, Kroasia, dan Prancis untuk melegalisasi aborsi meskipun bertentangan dengan prinsip mereka sendiri yang tertulis dalam Bill of Rights, yakni hak untuk hidup (CEDAW Abortion Rulings, 2010). [1]

Ide ini, sesungguhnya adalah ide tipuan barat yang akan mendatangkan banyak kemudharatan. Misalnya, ide ini sangat memperhatikan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang tidak mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki; mereka mendorong perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya di luar rumah. Perempuan baru dianggap berdaya jika ia bekerja dan mendapatkan gaji, padahal tidak semua perempuan suka dan mampu untuk bekerja di luar rumah. Padahal harga yang harus dibayar atas ketiadaan ibu sangat mahal; generasi rusak. Jika generasi yang ada adalah generasi yang individualis (karena berpakaian, bersosialisasi, melakukan seks, semaunya), tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari mereka untuk berpikir tentang selain dirinya; membawa negara kepada kebangkitan.

Kesetaraan Gender Bukan Ide Islam

Lebih dari 1400 tahun yang lalu, Islam telah datang mengembalikan fitrah manusia, termasuk perempuan. Kebudayaan jahiliyyah yang mengubur bayi perempuan hidup-hidup dihapuskan, demikian pula kebiasaan laki-laki minum khamr. Islam datang dengan membawa hukum syariat untuk laki-laki dan perempuan; tanpa memandang kesetaraan maupun keunggulannya. Kata kesetaraan gender tidak ada dalam perundang-undangan Islam; dalam Islam, kata ini tidak akan mempengaruhi kehidupan sosial di masyarakat.

Islam sebagai sebuah sistem memberikan kepada laki-laki dan perempuan kemuliaan yang sama. Dalam surat Al-Isra ayat 70 Allah SWT berfirman, "dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam". Islam telah menetapkan hak dan kewajiban bagi kaum perempuan sebagaimana laki-laki. Ketika Islam menetapkan hal tersebut, semata-mata untuk kemaslahatan laki-laki dan perempuan menurut pandangan Syar'i (Sang Pembuat Hukum) dan solusi untuk permasalahan keduanya. Ketika karakter kemanusiaan yang sedang dihadapi, Islam membuatnya sama dan ketika karakter perempuan dan laki-laki yang dihadapi, Islam membuatnya berbeda. Tidak dapat dikatakan perbedaan jumlah hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai ketidaksetaraan.

Allah SWT mensyariatkan hak dan kewajiban yang sifatnya manusiawi (manusia sebagai manusia) sama antara perempuan dan laki-laki, misalnya: ibadah shalat, puasa, zakat, haji, hukum-hukum akhlak, hukum-hukum muamalat (jual-beli, kontrak kerja, perwakilan, penjaminan dan muamalah lainnya) berlaku sama bagi perempuan maupun laki-laki. Demikian pula dalam perkara sanksi; hudud, jinayat, dan tazir, perempuan dan laki-laki diperlakukan sama tanpa adanya diskriminasi karena mereka berdua dipandang sebagai manusia. Hal serupa diberlakukan Islam dalam perkara pendidikan. Hal ini, tidak dapat dianggap sebagai kesetaraan gender, melainkan hanya dilihat sebagai hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT bagi manusia. 

Namun terkadang, beberapa hak dan kewajiban ada kalanya hanya terkait dengan aspek dirinya sebagai perempuan/laki-laki. Pada keadaan seperti ini, Islam memberikan solusi khusus bagi jenis kelamin yang bersangkutan. Misalnya, persaksian dua orang wanita dalam kehidupan umum dan jamaah laki-laki setara dengan persaksian seorang laki-laki, tapi hal ini tidak berlaku untuk kesaksian dalam kehidupan wanita dan masalah keperawanan atau persusuan. Islam memerintahkan perempuan memakai pakaian yang berbeda dengan laki-laki sebagaimana laki-laki memakai pakaian yang berbeda dari perempuan; hal itu semata-mata karena bagian tubuh yang harus ditutupi memang berbeda. Demikian pula Islam menetapkan laki-laki memberikan mahar, nafkah dan memiliki qawwamah (kepemimpinan) dalam keluarga, sementara perempuan mendapatkan mahar, mendidik anak kecil dan mengelola nafkah. Pengkhususan dalam ketetapan hukum tersebut maknanya bukan berarti tidak ada kesetaraan; tapi masalah perempuan diselesaikan dengan solusi untuk perempuan, hal yang sama untuk masalah laki-laki. Semuanya diselesaikan menurut seruan dari Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Konteks kesetaraan tidak perlu dibahas, karena memang bukan tempatnya untuk membahasnya. Allah SWT membedakannya karena memang karakter laki-laki dan perempuan yang berbeda, bukan bentuk diskriminasi. [2]

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah ide tentang 'taat-nya perempuan dan laki-laki pada aturan Allah' pernah diterapkan dan memberikan perlindungan bagi perempuan terhadap kekerasan seksual?

Ada setidaknya tiga kisah dalam sejarah peradaban Islam yang membuktikan Islam melindungi perempuan. Kisah pertama (dalam Kitab Ar-Rahiq al-Makhtum, Syaikh Shafiyurrahman Mubarakfury) adalah kisah wanita arab yang pergi ke toko perhiasan orang Yahudi Bani Qainuqa, lalu jilbab (baju) wanita ini diikat ujungnya sehingga ketika muslimah ini berdiri, auratnya tersingkap. Seketika muslimah tersebut teriak, lalu seorang muslim menyelematkan-nya, dan orang-orang Yahudi lainnya berbalik membunuh muslim. Kejadian ini dilakukan oleh orang Yahudi setelah mereka gagal membuat kaum Aus dan Khazraj berperang; atas perbuatannya ini, Rasulullah SAW kemudian mengepung Bani Qainuqa, memeranginya dan mengusirnya. Kisah kedua terjadi pada masa Khalifah al-Mu'tashim Billah (Khalifah ke-8 Abbasiyyah). Kota Amurriyah yang dikuasai oleh Romawi saat itu berhasil ditaklukkan oleh al-Mu'tashim. Pada penyerangan itu sekitar 3.000 tentara Romawi tewas terbunuh dan sekitar 30.000 menjadi tawanan. Di antara faktor yang mendorong penaklukan kota ini adalah karena adanya seorang wanita dari sebuah kota pesisir yang ditawan di sana. Ia berseru, "Wahai Muhammad, wahai Mu'tashim!" Setelah informasi itu terdengar oleh khalifah, ia pun segera menunggang kudanya dan membawa bala tentara untuk menyelamatkan wanita tersebut plus menaklukkan kota tempat wanita itu ditawan. Setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut al-Mu'tashim mengatakan, "Kupenuhi seruanmu, wahai wanita!". Kisah ketiga adalah tentang Sultan al-Hajib al-Manshur, salah seorang pemimpin Daulah Amiriyah di Andalusia yang menggerakkan pasukan utuh dan lengkap untuk menyelamatkan tiga wanita Muslimah yang menjadi tawanan di kerajaan Navarre. Saat itu kerajaan Navarre terikat perjanjian dengan al-Hajib al-Mansur yang salah satu perjanjiannya adalah pihak kerajaan Navarre tidak dibenarkan menawan seorang kaum muslimin atau menahan mereka. Pihak kerajaan menjawab, "Kami sama sekali tidak mengetahui hal tsb." Maka, setelah diperlihatkan tiga Muslimah yang ditawan, sang raja Navarre kemudian mengirimkan surat permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada al-Manshur dan menyampaikan bahwa ia akan menghancurkan gereja tsb. Pasukan sultan pun kembali ke negerinya dengan membawa ketiga Muslimah tersebut. [3]

Hanya Islam yang akan Selamatkan Manusia

Fakta pelecehan perempuan di Indonesia yang meningkat setiap tahunnya tidak dapat dipisahkan dari statistik pelecehan perempuan di seluruh negara. Seperti layaknya CEDAW yang bertujuan untuk menyediakan kebebasan seksual di seluruh negara yang meratifikasinya, perlawanan yang seharusnya dilakukan sudah selayaknya perlawanan yang sifatnya lintas negara, karena masalah yang dihadapi bukanlah masalah regional. Permasalahan yang timbul dari ratifikasi CEDAW ini, diantaranya masalah cabang berupa pelecehan seksual perempuan dan lebih jauh lagi adalah perusakan perempuan dan generasi ini harus diselesaikan. Tidak bisa dengan solusi tambal sulam, dengan memikirkan solusi RUU baru yang masih sama salah dan sesatnya dengan ide awalnya yang merusak. Solusi satu-satunya adalah mengganti aturan manusia tersebut dengan aturan kehidupan yang benar, Islam. Ide yang akan mengembalikan fitrah manusia dan pengaturannya pada aturan Yang Maha Mengetahui. Menyuarakan perempuan untuk menempatkan dirinya sesuai dengan aturan Allah SWT akan mencakup juga ide untuk melindungi perempuan, dan mengembalikan keadaan aman bagi perempuan seperti masa Kekhilafahan lalu. Kampanye untuk kembali kepada hukum Allah ini tidak lain adalah kampanye penegakkan institusi penegakkan aturan Allah, Khilafah.

Wallahu alam bisshawab.

[1] https://thisisgender.com/napas-liberal-dalam-cedaw/

[2] An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Pergaulan dalam Islam. 

[3] https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2015/02/27/39594/beginilah-islam-membela-para-muslimah.html


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun