Dunia khususnya Indonesia saat ini masih belum pulih dari pandemi covid-19 yang telah melanda sejak tahun 2019 silam. Kehadiran vaksin yang diharapkan mampu menjadi pemutus mata rantai hadirnya covid justru masih belum dapat berfungsi maksimal.
Selain karena masyarakat yang belum seluruhnya divaksin, kehadiran varian baru seperti varian delta yang diketahui lebih ganas membuat langkah pembatasan kegiatan berskala besar kembali diterapkan untuk menekan penyebaran covid 19 ini.
Hal ini akhirnya membuat seluruh kegiatan diharapkan dapat dilaksanakan dari rumah, baik kegiatan belajar mengajar maupun bekerja yang saat ini dikenal dengan istilah Work Form Home dan School From Home. Perubahan cara beraktivitas ini akhirnya sedikit banyak merubah pola perilaku kita dalam menyikapi dan menggunakan ruang, khususnya ruang-ruang di sekitar kita.
Ruang bekerja yang dulunya lekat dengan tipologi bangunan kantor, saat ini membaur menjadi satu dengan tipologi bangunan rumah akibat adanya kebijakan Work from Home. Padahal, jika dilihat dari sisi pemenuhan fungsi, rumah tidak selalu dapat menyediakan sarana dan prasarana yang tepat untuk mendukung agar seseorang dapat bekerja dengan optimal.
Sebagai contoh, seseorang yang bekerja di bidang fotografi, maka kebutuhannya adalah ruang studio dengan perlengkapan yang komplit dan besaran ruang yang memadai, sebuah hal yang belum tentu ada di rumah fotografer tersebut. Belum lagi jika misalkan rumah tersebut berbagi fungsi sebagai “sekolah” untuk anak, “ruang bertemu” untuk ibu dan sebagainya.
Maka, bisa dipastikan rumah setelah masa pandemi diwajibkan mempunyai fleksibilitas dalam pengaturan ruang, sehingga masing-masing kebutuhan tadi dapat diakomodasi dalam sebuah tempat yang kita sebut rumah.
Satu hal menarik yang bisa kita kaitkan terkait fenomena terkait pandemi ini dengan teori di ilmu Arsitektur, yakni terkait pemahaman kita tentang ruang dalam arsitektur dan hubungannya terhadap perilaku manusia. Dalam arsitektur dikenal dengan istilah ruang personal. Ruang personal adalah batas yang tak terlihat dan mengelilingi kita, dimana orang lain tidak dapat melanggarnya.
Jika isi dari ruang itu adalah manusia lain, orang langsung akan membuat suatu jarak tertentu antara dirinya dengan manusia tersebut, dan jarak yang timbul sangat ditentukan oleh kualitas hubungan antar orang yang bersangkutan (Laurens, 2004).
Ruang personal ini menurut Edward T. Hall terbagi menjadi empat, yakni jarak intim antara 0,00 meter sampai 0,50 meter, jarak personal antara 0,50 meter sampai 1,20 meter, jarak sosial antara 1,20 meter sampai 3,60 meter dan jarak publik antara 3,60 sampai lebih dari 7,50 meter.
Dari paparan diatas kita melihat bahwa semakin dekat seseorang tersebut secara hubungan dengan orang lain, maka akan semakin dekat pula jaraknya saat berinteraksi dengan orang tersebut. Faktor kedekatan merupakan faktor utama yang mempengaruhi seseorang saat menempatkan dirinya waktu berinteraksi dengan orang lain.
Namun, setelah pandemi covid-19 melanda, faktor utama yang mempengaruhi jarak antara seseorang dengan orang lain saat berinteraksi bukan lagi berdasarkan faktor kedekatan, tetapi berdasarkan jarak aman yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk mencegah penyebaran covid-19 yakni satu hingga dua meter.