Mohon tunggu...
Khalda Khairunnisa Fitriani
Khalda Khairunnisa Fitriani Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Universitas Muhammadiyah Jakarta

Saya seorang Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, program studi ilmu komunikasi 2023

Selanjutnya

Tutup

Seni

Melodi Nusantara : Keindahan Angklung dalam Kebudayaan Indonesia

7 Januari 2025   14:57 Diperbarui: 7 Januari 2025   15:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Melodi Nusantara : Keindahan Angklung dalam Kebudayaan Indonesia 

UAS Komunikasi Antar Budaya

Ilmu Komunikasi -Universitas Muhammadiyah Jakarta

Khalda Khairunnisa Fitriani 23010400103

Nabila Fitriani 2301040099,

Alma Zahra Tanjung 23010400151

Humairah Azzahra 23010400125

Annida Aqiilah 23010400122

Alat musik angklung diyakini sudah ada sebelum Indonesia dipengaruhi agama Hindu. Era Hindu sendiri dimulai sekitar abad ke-5 Masehi, dan meskipun dikenal di Jawa sebagai alat musik tradisional Jawa Barat,  alat musik angklung juga ada di pulau Sumatera Selatan dan Kalimantan, menurut Jaap Kunst of Music. Sejarah penggunaan angklung di Jawa Barat sendiri tercatat pada masa Kerajaan Sunda,  sekitar abad ke-12 hingga ke-16. Pada masa ini, angklung dimainkan untuk memuja Nyai Sri Pohachi sebagai lambang Dewi Sri (Dewi padi atau kesuburan). Menurut sejarah yang tercatat di Kidung Sunda,  alat musik bernama angklung juga dimainkan bersamaan dengan doa untuk merangsang semangat prajurit pada masa perang.

Meski seiring berjalannya waktu, angklung masih digunakan sebagai alat musik dalam berbagai pertunjukan. Pasca deklarasi, pada perundingan Lingarjati tahun 1946, pertunjukan Angklung dibawakan oleh tokoh nasional Deen Soetinya. Dehn Soetinya dikenal dengan julukan "Bapak Angklung Indonesia". Ia berhasil menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis sehingga  bisa dimainkan berbarengan dengan alat musik Barat lainnya. Usahanya melestarikan Angklung dilanjutkan oleh muridnya Ujo Ngaragena. Udjo Garregna dikenal sebagai pendiri Saung Angklung Udjo, salah satu objek wisata seni dan budaya yang mewakili Bandung. Karena popularitasnya di luar negeri, UNESCO menetapkan Angklung sebagai situs warisan budaya yang harus dilestarikan.

Angklung merupakan alat musik melodis yang menghasilkan bunyi apabila digoyang. Bunyi tersebut berasal dari benturan antara tabung dan bilah bambu yang dirangkai sedemikian rupa.

Angklung melambangkan nilai-nilai kebersamaan, harmoni, dan kerja sama. Bunyi yang dihasilkan hanya akan indah jika dimainkan bersama-sama, mencerminkan semangat gotong royong dalam masyarakat Indonesia.

Angklung bukan hanya alat musik, tetapi juga representasi dari identitas budaya dan kebanggaan bangsa Indonesia.

Angklung telah mengalami berbagai transformasi fungsi seiring berjalannya waktu. Alat musik ini awalnya berakar pada tradisi dan ritual masyarakat agraris, kemudian berkembang menjadi bagian dari seni, pendidikan, hingga diplomasi budaya. Berikut adalah fungsi angklung dari zaman ke zaman:

  • Zaman Prasejarah dan Tradisional
  • Ritual Keagamaan dan Spiritualitas

Angklung digunakan dalam upacara penghormatan kepada Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, untuk memohon berkah panen melimpah. Bunyi angklung dipercaya dapat menarik perhatian roh-roh baik.

  • Media Komunikasi

Dalam beberapa komunitas, angklung digunakan untuk menyampaikan pesan atau memberi tanda, misalnya dalam acara adat atau panggilan berkumpul.

  • Simbol Keharmonisan Alam

Angklung melambangkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Alunan musiknya mencerminkan keindahan alam dan kehidupan agraris masyarakat.

  • Zaman Kerajaan
  • Hiburan Istana

Pada masa Kerajaan Sunda, angklung dimainkan sebagai hiburan di istana dan menjadi bagian dari seni pertunjukan tradisional.

  • Penyemangat Perang

Dalam beberapa catatan, angklung digunakan untuk memotivasi prajurit sebelum bertempur. Suaranya yang ritmis memberikan semangat dan keberanian.

  • Zaman Kolonial
  • Simbol Perlawanan

Angklung kerap dimainkan oleh masyarakat sebagai bentuk ekspresi budaya dan identitas lokal saat menghadapi penjajahan. Ini menjadi simbol perlawanan budaya terhadap kolonialisme.

  • Pertunjukan Rakyat

Pada masa kolonial, angklung sering digunakan dalam pertunjukan rakyat untuk menyampaikan kritik sosial secara terselubung.

  • Era Modern dan Kontemporer
  • Pendidikan dan Pengajaran

Angklung diperkenalkan sebagai alat pendidikan, terutama setelah Daeng Soetigna menciptakan angklung diatonis (1938). Alat ini digunakan untuk mengajarkan musik, kerja sama, dan kreativitas di sekolah-sekolah.

Angklung menjadi bagian dari seni pertunjukan modern. Pertunjukan angklung kini tidak hanya terbatas pada lagu tradisional, tetapi juga mencakup lagu-lagu pop, klasik, dan internasional.

  • Diplomasi Budaya

Angklung sering digunakan sebagai alat diplomasi budaya oleh pemerintah Indonesia dalam acara internasional. Misalnya, pertunjukan angklung di forum-forum dunia untuk mempromosikan budaya Indonesia.

  • Ekspresi Identitas Nasional

Angklung menjadi simbol kebanggaan nasional setelah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia oleh UNESCO pada 2010.

  • Era Globalisasi
  • Penggerak Ekonomi Kreatif

Angklung kini menjadi bagian dari industri kreatif, mulai dari produksi hingga pertunjukan. Wisata budaya yang melibatkan angklung, seperti Saung Angklung Udjo di Bandung, menarik wisatawan lokal dan internasional.

  • Media Persatuan dan Kerukunan

Dalam berbagai kegiatan, angklung dimainkan oleh kelompok dengan latar belakang beragam. Hal ini mencerminkan semangat persatuan dan gotong royong yang menjadi inti budaya Indonesia.

Beberapa Jenis Angklung Tradisional :

Beberapa jenis angklung tradisio-nal  yang  hingga  kini  masih  ada  di lingkung-an  masyarakat  Sunda  di  Jawa Barat dan Banten, di antaranya adalah:

  • Angklung Kanekes

Kanekes  adalah  nama  sebuah desa  di  wilayah  Kecamatan  Ciboleger, Kabupaten  Lebak,  Provinsi  Banten.  Di desa  ini  terdapat  53  kampung  adat  yang dihuni  oleh  orang  Baduy.  Seluruh kampung  adat  tersebut  terdiri  atas:  3 kampung  adat  tangtu,  yang  sering  juga disebut  "Baduy  Jero",  yaitu  :  Cikeusik, Cikertawana,  dan  Cibeo.  50  kampung lainnnya merupakan kampung panamping.

Kampung-kampung  adat  ini  masih  erat memegang dan melaksanakan tradisi yang diwarisi dari para leluhur mereka. Berbagai jenis  upacara tradisional,  khususnya yang berkaitan dengan aktivitas pertanian, masih dilaksanakan  secara  rutin.  Dalam  kaitan ini, angklung di daerah Kanekes digunakan terutama karena hubungannya dengan ritus padi, bukan semata-mata untuk hiburan.  Terdapat  perbedaan  cara  atau model dalam menabuh angklung di  antara masyarakat  Baduy Tangtu  dengan  Baduy Panamping.

Di  Baduy  Tangtu  angklung dibunyikan  dengan  cara  dikurulungkeun, yaitu dibunyikan secara  bebas tanpa nada dan  irama. Sedangkan  di  Panamping dan Dangka  (luar)  angklung  dibunyikan dengan  ritmis  atau  irama  tertentu. Perbedaan  cara  dan  irama  memainkan angklung  ini  berhubungan  dengan intensitas  kontak  masyarakatnya  dengan masyarakat  di  luar  komunitas  mereka. Komunitas  masyarakat  Baduy  Tangtu sifatnya  tertutup  dan  intensitas  kontak dengan  masyarakat  luar  sangat  rendah, sehingga  kondisi  kebudaya-annya  pun relatif  lebih  "murni"  dan  tidak  terlalu banyak  mendapat  pengaruh  dari  luar. Demikian  pula  dalam  hal  memainkan angklung,  irama yang  muncul  dari bunyi angklung  yang  hanya  "dikurulungkeun" (dibunyikan  tanpa  irama  dan  nada),  ter-dengar  monoton,  bahkan  sepintas terdengar tanpa ritme. Lain halnya dengan masyarakat Baduy Panamping dan Dangka yang  sudah  lebih  terbuka,  sehingga  adat istiadat dan kebudayaan mereka pun sudah mendapat  pengaruh  dari  luar  dan  ini nampak  dalam  irama  angklung  yang mereka mainkan.

Meskipun  permainan  angklung terkait erat  dengan  ritus  padi, akan  tetapi angklung ini biasa juga ditampilkan di luar ritus  padi.  Untuk permainan  angklung  di luar  ritus  padi,  ada  aturan-aturan  adat, misalnya  angklung  hanya  boleh  ditabuh hingga  masa  ngubaran  pare 'mengobati padi',  yaitu  sekitar  tiga  bulan  dari  sejak ditanamnya padi. Setelah itu, selama enam bulan  berikutnya  semua  kesenian  tidak boleh dimainkan, dan boleh dimainkan lagi pada  musim  menanam  padi  berikutnya.

Menutup  angklung  dilaksanakan  dengan acara yang disebut musungkeun angklung, yaitu  nitipkeun 'menitipkan,  menyimpan' angklung setelah dipakai.  Sebagai sajian  hiburan, kesenian angklung  biasanya  dimainkan  pada  saat terang  bulan.  Mereka  memainkan angklung  di  buruan 'halaman  luas  di pedesaan' sambil menyanyikan bermacam-macam  lagu.

Komposisi  pemain  musik angklung  tradisional  dalam  pertunjukan hiburan  adalah  sebagai  berikut:  para penabuh angklung sebanyak delapan orang dan  tiga  penabuh  bedug  ukuran  kecil membuat  posisi  berdiri  sambil  berjalan dalam  formasi  lingkaran.  Sementara  itu yang  lainnya  ada  yang  ngalage 'menari' dengan gerakan  tertentu yang  telah baku, tetapi  sederhana.  Semuanya  dilakukan hanya oleh laki-laki.

Nama-nama  angklung  di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung, ringkung,  dongdong,  gunjing,  engklok, indung leutik, torolok, dan roel. Roel yang terdiri dari 2 buah angklung dipegang oleh seorang.  Nama-nama  bedug  dari  yang terpanjang  adalah:  bedug,  talingtit,  dan ketuk.   Di  Kanekes  yang  berhak membuat angklung adalah orang Tangtu di Kajeroan.  Di  Tangtu  pun  tidak  semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan  dan  berhak  saja  yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat  ritual.  Masyarakat  di  luar  Tangtu membeli angklung dari orang Kajeroan.

2. Angklung Dogdog Lojor

Kesenian Dogdog Lojor terdapat di  lingkungan  masyarakat  Kasepuhan Pancer  Pangawinan  atau  Kesatuan  Adat Banten  Kidul.  Komunitas  ini  tersebar  di sekitar  Gunung  Halimun,  yang  secara administratif  berbatasan  dengan  DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lebak.  Meski  kesenian  ini  dinamakan Dogdog  Lojor,  yaitu  nama  salah  satu instrumen di dalamnya, tetapi di sana juga digunakan angklung, bahkan angklung ini cukup  dominan.

Seperti  juga  permainan kesenian  Angklung di  Kanekes,  kesenian Angklung  Dogdog  Lojor  pun  dalam penggunaannya  berkaitan  dengan  acara ritual  padi.  Setiap  tahun,  selepas  panen padi, masyarakat di lingkungan Kasepuhan mengadakan acara Serah Taun  atau Seren Taun yang dipusatkan di Kampung Gede.  Ada  beberapa  kasepuhan  yang lokasinya  di  kaki  Gunung  Halimun,  di antaranya:  Kasepuhan  Ciptamulya,  Kase-puhan  Ciptagelar,  dan  Kasepuhan Sinaresmi.

Secara tradisi mereka mengakui sebagai  keturunan  dari  para  pejabat  dan prajurit Kerajaan Pajajaran dalam baresan pangawinan  'prajurit  bertombak'. Masya-rakat Kasepuhan ini telah menganut agama Islam  dan  dalam  beberapa  hal  mereka sudah  agak  terbuka  terhadap  pengaruh moderni-sasi.  Sikap  keterbukaan  ini berpengaruh  pula  terhadap  keberadaan kesenian  Angklung  Dogdog  Lojor. Kalau pada  mulanya  kesenian  Angklung  ini hanya  memiliki  fungsi  sakral  dalam konteks  upacara  penghormatan  terhadap padi, maka kini kesenian ini juga memiliki fungsi hiburan.

Instrumen yang digunakan dalam kesenian  Angklung  Dogdog  Lojor  terdiri atas  2  buah  dogdog  lojor  dan  4  buah angklung  besar.  Keempat  buah  angklung ini  mempu-nyai  nama  masing-masing, yaitu: yang terbesar dinamakan gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap  instrumen  dimainkan  oleh  seorang, sehingga jumlah pemain semuanya adalah enam orang.

Kesimpulan :

Kesenian  Angklung  yang  kini telah  dikenal  oleh  masyarakat  dunia sebagai  salah  satu  jenis  kesenian  yang berasal  dari  Indonesia,  telah  menapaki perjalanan  sejarah  yang  amat  panjang. Lahir dari konsep kepercayaan masyarakat agraris  tentang  mitologi  Dewi  Sri,  yang diyakini sebagai dewi padi,  angklung pun pada awalnya muncul sebagai suatu bentuk media ritual untuk mengundang Dewi Sri.

Citra  estetika  masyarakat  telah menambahkan nuansa seni ke dalam media ritual  ini,  sehingga  angklung  pun bertambah fungsinya, tidak hanya  sebagai media  ritual  semata,  melainkan  juga memiliki nilai seni.  Pada  awal  kemunculannya sebagai  sebuah  jenis  kesenian,  angklung muncul  sebagai  kesenian  tradisional masyarakat agraris.

Nada-nada bunyi yang dihasilkan-nya  berlaras  pentatonik (da,mi,na,ti,la).  Penampilannya senantiasa dikaitkan  dengan  penyelenggaraan  ritual-ritual adat seputar aktivitas pertanian.  Awal  abad  ke-20  keberadaan musik angklung  sempat mengalami keter-purukan. Ketika itu musik angklung hanya dimainkan  oleh  para  pengamen  untuk mengais  rezeki  dari  rumah  ke  rumah.  Kebangkitan  kembali  musik  angklung diprakarsai oleh  Daeng  Soetigna, seorang guru  sekolah  di  HIS,  yang  dengan  daya kreativitas  dan inovasinya  mampu meng-ubah nada-nada angklung tradisional yang pentatonis  ke  dalam  nada  diatonis  yang bersolmisasi.

Ini terjadi pada sekitar tahun 1938.   Situasi  politik  pada  masa kolonialis  Belanda  sempat  membuat kesenian  Angklung  terpuruk  lagi.  Ketika itu  pemerintah  kolonial  menganggap bahwa  musik  angklung  dapat menggugah semangat  juang  masyarakat  Indonesia, sehingga  mereka  mengeluarkan  larangan memainkan  musik  angklung. Akhirnya,  kesenian Angklung  pun  dapat  tampil  di  dunia internasional.  Sang  maestro  Daeng Soetigna  pun  mampu  mempergelarkan kesenian  Angklung  dalam  konser-konser besar yang berskala dunia. Puncak  keberhasilan  kesenian Angklung  diperoleh  ketika  badan  dunia UNESCO  mendeklarasikan  angklung sebagai  The  Representative  List  of  the Intangible Cultural Heritage of Humanity, yang dideklarasikan pada 16 Januari 2011.

DAFTAR PUSTAKA

- Kurnia, Ganjar. 2003.  Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan dan  Pariwisata Jawa Barat.

- Agus S. Djaya. (2011). "Angklung Badeng: Tradisi dan Transformasi Musik Sunda".

- Rosyadi.  (2012). Angklung,  Dari  Angklung  Tradisional  ke  Angklung  Modern.  Jurnal  Patanjala  Vol. 4,  No.1,  Maret 2012.

- Sumaludi, M. Maman. (2022). ANGKLUNG TRADISIONAL SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH LOKAL. Journal of History Education, 2(1) 52-65.

- Murwaningrum, Dyah. (2017). POPULARITAS ANGKLUNG DALAM SEJARAH. Jurnal Awilaras, 4(2).

- Hermawan, Deni dkk. (2013). Angklung Sunda Sebagai Wahana Industri Kreatif dan Pembentukan Karakter Bangsa. Jurnal Seni & Budaya Panggung, 23(2).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun