Mohon tunggu...
Algan Khalaza
Algan Khalaza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Hai!

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Eksploitasi Seksual di Internet, Cybercrime yang Mengancam Anak-Anak

2 Januari 2022   12:43 Diperbarui: 2 Januari 2022   19:17 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era serba digital ini, kejahatan banyak berubah bentuknya menjadi berbagai macam. Sehingga, kejahatan bisa selalu terjadi di mana saja, dan ruang siber menjadi tempat paling nyaman untuk melakukan berbagai kejahatan, salah satunya adalah kejahatan seksual. Kejahatan berupa pelecehan seksual sendiri mengindikasikan dan menggambarkan pada diri seseorang bahwa dia tidak memiliki norma-norma yang jelas sehingga kebebasan dan hak hidup orang lain dilanggar demi keuntungannya sendiri (AM Salamor, 2020). Kejahatan ini banyak sekali terjadi di dunia nyata dan mengancam setiap orang yang mudah diperdaya. Tak hanya itu, kejahatan seksual juga menjadi kejahatan yang paling banyak kasus kejadiannya di internet, dan anak-anak menjadi sasaran empuk sebagai korban. Hal ini disebabkan karena anak akan sangat mudah menerima ajakan orang jika belum memiliki pengetahuan yang cukup dan belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. 

Memasuki masa pandemi Covid-19, berbagai kegiatan lebih fokus dilakukan dengan online untuk mencegah penyebaran virus, termasuk sekolah. Sistem sekolah yang biasanya dilakukan secara tatap muka, kini harus diubah dengan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring, sehingga anak pun mau tidak mau harus menggunakan perangkat gawai dan mengakses internet untuk belajar. Mengingat internet menjadi tempat yang rawan, maka akan sangat khawatir jika anak akan mengakses apa pun di internet yang seharusnya tidak mereka akses di usianya.  Terlebih lagi jika mereka sudah memiliki media sosial, maka hal tersebut menjadi suatu ancaman yang penting untuk segera diatasi. Anak belum sepenuhnya memiliki kemampuan menyaring informasi yang mereka bagikan dan dapatkan, kemudian akan sangat mungkin jika mereka membagikan segala privasi yang dimiliki, juga berinteraksi dengan orang asing tak dikenal di media sosial. Hal tersebut bisa memanfaatkan pelaku kejahatan untuk menjadikan mereka sebagai korban selanjutnya. 

Dikutip dari situs indonesiabaik.id, bahwa hasil dari temuan awal yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia mengenai rentannya anak dari eksploitasi seksual secara online di saat pandemi Covid-19 cukup memprihatinkan. Hasil dari temuan awal yang dilakukan, dari 1203 responden, ada 287 responden yang mendapatkan pengalaman buruk saat menggunakan internet di masa pandemi. Pengalaman buruk tersebut ada beragam, seperti dikirimi pesan teks yang tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman dan yang menampilkan pornografi, serta hal-hal lainnya yang bersifat seksual dan pornografi. Tentunya ini sudah menjadi kejahatan yang melampaui batas karena anak-anak tidak seharusnya dipertemukan dengan hal-hal tersebut di usia mereka yang masih di bawah umur. Bagi anak-anak hendaknya berhati-hati dalam berteman di media sosial. 

Kejahatan seksual di internet harus dicegah, agar anak merasa nyaman dalam menggunakan internet. Ilustrasi gambar: freepik.com
Kejahatan seksual di internet harus dicegah, agar anak merasa nyaman dalam menggunakan internet. Ilustrasi gambar: freepik.com

Menurut ECPAT Indonesia, ada beberapa macam bentuk dari kejahatan eksploitasi seksual yang dilakukan terhadap anak. Pertama adalah materi - materi yang menampilkan konten pornografi anak, seperti memperlihatkan aksi kekerasan seksual kepada anak dan juga menampilkan kelamin milik anak. Ini termasuk bentuk eksploitasi kepada anak-anak. Kedua adalah Grooming Online yang berakar pada pertemanan di media sosial. Grooming online yang dilakukan untuk tujuan seksual bisa dikatakan sebagai suatu proses untuk menjalin atau menciptakan suatu hubungan dengan anak di bawah umur melalui internet atau teknologi digital lainnya untuk memfasilitasi pemenuhan hasrat seksual pelaku, baik secara online atau offline terhadap anak tersebut. Tindakan grooming ini dilakukan secara manipulatif oleh pelaku terhadap korban agar dapat dengan mudah menarik perhatian korban. Tindakan ini juga tidak hanya dilakukan dengan kontak secara nyata, tetapi juga berlaku pada berbagai macam tindakan yang dilakukan secara online. Ketiga adalah membuat konten seksual oleh diri sendiri, yaitu memperlihatkan atau penggambaran bagian tubuh secara telanjang dengan memanfaatkan teknologi dan Internet (Sexting). ’Sexting’ sering terjadi di kalangan anak muda, dan tanpa disadari dapat memunculkan permasalahan yang bisa merugikan dirinya. Keempat adalah pemerasan seksual yang diakibatkan dari Sexting (Sextortion), adalah pemerasan terhadap anak dengan bantuan gambar dari anak tersebut yang dibuat sendiri untuk mendapatkan imbalan seks, uang atau keuntungan lain dari orang tersebut di bawah ancaman akan disebarkan tanpa persetujuan dari anak tersebut. Kelima adalah melakukan siaran langsung di internet, berupa media sosial. Siaran langsung kekerasan seksual terhadap anak merupakan paksaan terhadap seorang anak untuk orang lain yang menjadi penonton. Sering kali, orang yang menonton dari siaran langsung di internet tersebut adalah orang-orang yang telah meminta juga memesan apa yang harus dilakukan terhadap anak tersebut, atau agar perlakuan seksual tersebut dapat terjadi pada si anak. 

Sampai saat ini, pelaku kejahatan seksual dalam mendekati target korban selanjutnya selalu menggunakan profil palsu dengan berpura-pura sebagai publik figur yang disukai banyak orang, terutama anak-anak. Dampak dari perilaku yang telah disebutkan sebelumnya membuat anak-anak merasa tidak nyaman. Sedangkan, saat ini banyak sekali konten berhubungan dengan hal tersebut. Sehingga, dikhawatirkan dapat mempengaruhi kejiwaan mereka. Ada beberapa dampak berbahaya bagi anak yang telah mengalami eksploitasi atau pelecehan seksual di internet. Pertama, mereka akan mengalami trauma yang mendalam, seperti mudah merasa cemas, gelisah, stres, dan ketakutan yang parah, sehingga anak akan merasa tidak nyaman. Kedua, mereka mungkin akan melakukan penyalahgunaan zat-zat terlarang sebagai obat penenang trauma mereka, dan hal ini dapat memicu hambatan untuk penyembuhan trauma mereka miliki. Ketiga, mereka akan merasakan depresi. Depresi yang mereka alami bisa ditandai ketika mereka mulai kehilangan minat terhadap apa yang mereka suka, penarikan sosial, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan juga perubahan-perubahan yang signifikan pada perilaku dan fisik anak. Depresi yang dialami oleh anak tersebut bisa juga dipicu karena eksploitasi seksual yang dilakukan membuat mereka tidak nyaman, sehingga menimbulkan gejala kesedihan yang berkepanjangan (Permatasari, 2016).

Hal ini sangat diperlukan pengawasan dari orang tua dan siapa pun yang berkewajiban membimbing anak selain orang tua. Oleh karena itu, pendidikan dan bimbingan perlu dioptimalkan kepada anak. Anak harus diberi tahu apa saja yang harus mereka lakukan dan tidak ketika berinteraksi dengan orang lain di ruang media sosial, baik dengan orang yang dekat dengan mereka ataupun orang asing. Kemudian anak juga perlu tahu, apa yang harus mereka bagikan dan tidak di media sosial. Karena sangat memungkinkan jika pelaku kejahatan tersebut sudah mengamati sang anak yang akan dijadikan target selanjutnya melalui apa yang anak bagikan di media sosial. Sebagai antisipasi, diharapkan orang tua mengawasi dan melarang anak-anak agar tidak dengan mudah menyebarluaskan foto pribadi mereka di media sosial yang dapat menjadi media untuk memeras korban anak dengan mudah. Adapun jika anak sudah menjadi korban, segera laporkan pada pihak berwajib dan juga kepada lembaga bantuan hukum yang menangani masalah kejahatan seksual. Selain itu, anak yang sudah menjadi korban pun harus mendapatkan pendampingan yang maksimal, agar traumanya bisa teratasi, dan dapat menjadi seorang anak yang seutuhnya, yang menikmati masa-masa mereka sebagai anak-anak.

REFERENSI

Salamor, dkk. (2020). Child Grooming Sebagai Bentuk Pelecehan Seksual Anak Melalui Aplikasi Permainan Daring. SASI, Vol. 26 No. 4, h: 490-499. Diakses 31 Desember 2021, dari Fakultas Hukum Universitas Pattimura.

Permatasari, dkk. (2016). Perlindungan Terhadap Anak Korban Eksploitasi Seksual dalam Perspektif Yuridis-Normatif dan Psikologis (Studi Kasus Wilayah Hukum Polres Lampung Timur). AL-’ADALAH, Vol. XIII No. 2, Desember, 2016. 

Indonesia Baik. (2020). Lindungi Anak! Adanya Kerentanan Eksploitasi Seksual Online di Tengah Pandemi. Diakses 27 Desember 2021, dari https://indonesiabaik.id/infografis/lindungi-anak-adanya-kerentanan-eksploitasi-seksual-online-di-tengah-pandemi

ECPAT Indonesia. (2021). Mengidentifikasi Bentuk Pelanggaran dan Eksploitasi Seksual Anak Online. Diakses 29 Desember 2021, dari https://ecpatindonesia.org/sumber/mengidentifikasi-bentuk-pelanggaran-dan-eksploitasi-seksual-anak-online/ 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun