Terkadang ingin rasanya memaki, mencaci, menjerit yang kencang, sekencang-kencangnya, liar, tak berarah, bebas, lepas tak terkekang oleh rasa yang penuh dengan tatanan tak beraturan.Â
Alam pun seakan marah, ketika sang otak tak mampu diajak berfikir untuk bebas dan lepas. Angin, mendung, hitam dan kelam seakan menegur diri untuk tidak liar dan menyaksikan diri yang sakit namun tak berdarah.Â
Ya, liar tanpa batas, liar tak berbatas, liar terhempas bagaikan sang angin yang menghempas ombak, namun karang yang menari-nari didasar lautan.Â
Walaupun belum genap dua purnama, namun hitungan windu bagiku tak ada arti jika harapan hanya akan ditutup oleh sebuah kenistaan yang menyakitkan.Â
Tertatih ku melangkah dengan sebuah harapan baru dengan tidak melupakan cacat yang lalu.Â
Pikiran liar yang terus datang, terkadang dibantu oleh sang malaikat hati untuk penyempurna, dengan berbisik kepada telinga bahwa tidak sepelik itu Tuhan dalam menguji rasa.Â
Terimakasih Tuhan, terimakasih atas amanah yang engkau pikulkan kepada anak bumi ini. Otak tak akan berfikir jahat, dan kesadaran untuk sebuah rasa akan terus berbisik bahwa engkau Tuhan memang maha asyik dalam menguji rasa.Â
Brebes, 29 Mei 2020
KBC-24 | Kompasianer Brebes
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H