Bahasa hukum sebagai alat komunikasi memiliki beberapa fungsi diantaranya (1) fungsi simbolik. Bahasa berfungsi memberikan kemampuan untuk mengartikan suatu hal dengan arti atau makna tertentu sehingga membantu manusia dalam melatih kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistemtis. Bahasa hukum harus mampu memberikan makna pada simbol-simbol tertentu dengan keterbatasan makna yang ada; (2) fungsi emotif. Bahasa berfungsi untuk mengutarakan emosi, namun unsur emosi di dalam hukum akan menghilangkan citra hukum sebagai suatu hal yang obyektif karena emosi adalah suatu hal yang sifatnya subyektif; dan (3) fungsi afektif. Bahasa berfungsi untuk mengembangkan sikap-sikap yang taat norma dan aturan hukum lainnya sehingga dapat menumbuhkan kesadaran hukum pada masyarakat[1]. Ragam bahasa yang digunakan di dalam peraturan perundang-undangan adalah ragam bahasa resmi atau yang lebih dikenal dengan ragam bahasa baku atau ragam bahasa standar yang ciri khasnya adalah penggunaan kaidah bahasa yang lengkap dan terstruktur. Peraturan perundang-undangan adalah salah satu alat hukum yang digunakan untuk menengakkan hukum yang bersifat memaksa dimana artinya peraturan harus bersifat tegas, lugas, dan tidak menimbulkan berbagai interpretasi karena dapat menodai makna hukum itu sendiri. Penggunaan bahasa Indonesia dan hukum juga menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena memahami aturan hukum juga bisa diartikan untuk memahami kaidah ragam bahasa yang digunakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H