Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Literasi Media, Menyikapi dari Sisi Berbeda

5 Februari 2017   23:06 Diperbarui: 6 Februari 2017   00:22 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat saya, like & share dapat menjadi instrumen test the water. Apalagi bila diberi caption menggantung atau dengan kalimat-kalimat pertanyaan. Seharusnya pernyataan tersebut dapat disikapi sebagai kehati-hatian dalam menilai sesuatu yang ia like & share. Lain persoalan bila pernyataan yang mengikutinya sudah menunjukkan kecenderungan sikap dan pandangan. Kalaupun seseorang memiliki kecederungan sikap dan pandangan yang berbeda, cukuplah dipahami saja. 

Tidak perlu memantiknya. Intinya, perbedaan itu seharusnya dapat kita sikapi tidak berlebihan, apalagi untuk memvonis orang lain. Cukup jadi muhasabah untuk menjaga ukhuwah. Namun demikian, saya tidak memungkiri, kalaupun saya mungkin juga pernah gemas sehingga membuat status yang ‘menggemaskan’. Ya, saya kan manusia biasa yang bisa lepas juga...

Secara keseluruhan, saya mau bilang, sehandal-handalnya literasi media dilakukan, tetaplah pendekatan tersebut punya keterbatasan. Sejarah menunjukkan bahwa berbagai kisah dan peristiwa di masa lalu ternyata memiliki sejumlah versi yang terkadang saling kontra. Pengalaman empirik juga membuktikan bahwa penilaian baik, buruk, salah, benar itu kerap kali tergantung keberpihakan hati. Keputusan terkadang diambil bukan karena kebaikan, melainkan karena di bawah tekanan. Apalagi di penghujung zaman seperti saat ini yang sarat dengan warna-warna yang saling mendegradasi...

Lalu bagaimana menyikapi perbedaan? Mungkin kita perlu merenungkan nasehat Imam Syafi’i, “...Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi SAW, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku. Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk (meralat) dari pendapatku tadi, baik semasa hidupku maupun sesudah matiku. Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.....”

Catatan:

Tulisan ini sejatinya adalah mengingatkan diri saya sendiri dalam menghadapi dunia nyata dan dunia maya yang semakin menggundahkan untuk tidak selalu merasa paling tahu, merasa paling benar, merasa paling bijak, merasa paliiiiing segalanya. Karena ketika itu terjadi, tanpa sadar penyakit hati telah menyemai. 

Padahal saya hanya manusia biasa dengan iman yang pasang surut, kerap kali pula mengalami futur, bahkan mungkin tanpa sadar belum lepas dari dosa khilaf maksiat. Ketika kita mengetahui sesuatu, tidak semua harus diungkap. Ketika kita tidak setuju, tidak semua harus ditunjukkan. Ketika kita senang, tidak semua harus diceritakan. Ketika perbedaan menguak, belajar untuk menahan diri. Ketika dipojokkan, belajar berbesar hati...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun