Sudah sejak awal Maret, saya kian kerap diajak berdiskusi tentang rencana kenaikan harga BBM. Saya termasuk orang yang bersikukuh tidak setuju dengan rencana kenaikan BBM. Tetapi, saya tidak pandai menyampaikan pendapat secara lisan. Saya juga tidak pandai berdebat dan saya cenderung menghindari perdebatan. Oleh karena itulah, saya mencoba menuliskan 10 argumen utama saya untuk menjelaskan mengapa rencana kenaikan harga BBM tersebut harus ditolak.
Pertama, saya tidak sepakat jika dalih yang digunakan untuk menaikkan harga BBM dalam rangka menyelamatkan APBN. Menurut saya, yang harusnya diselamatkan adalah rakyat. Mungkin hal ini tampak klise karena hanya berbeda redaksional. Saya kira tidak. Dari titik tolak ini, maka proses berikutnya akan menghasilkan progres yang berbeda karena berangkatnya dari cara berpikir yang berbeda.
Kedua, saya melihat pemerintah melihat posisi dirinya sebagai pemilik APBN. Seharusnya, pemerintah melihat dirinya sebagai pengelola rekening rakyat yang berbentuk APBN. Mungkin hal ini juga tampak klise karena hanya ada sedikit perbedaan dalam hal redaksional. Sekali lagi saya sampaikan, tidak. Berangkat dari cara pandang yang berbeda ini, maka kebijakan yang akan dilahirkan ke depan tentu akan berbeda pula arahnya. Pemerintah dan rakyat adalah 2 entitas berbeda dan memiliki kepentingan yang tentu berbeda pula.
[caption id="attachment_177030" align="alignleft" width="210" caption="Sumber: www.gudangvirtual.blogspot.com"]
[/caption]
Ketiga,persoalan subsidi selalu menjadi polemik dalam kebijakan fiskal di Indonesia lantaran adanya perbedaan paradigma berpikir dalam menyikapi keberadaan subsidi. Sikap atau pandangan terhadap subsidi sangat bergantung pada paham apa yang dianut oleh negara. Bagi para elite negara ini, kita bisa melihat bahwa subsidi dipandang sebagai beban. Subsidi adalah distorsi. Subsidi adalah inefisensi. Subsidi membuat rakyat tidak mandiri. Atas dasar itu pula, pemerintah secara perlahan namun pasti akan menghilangkan subsidi. Tapi jika pemerintah menyikapi dan memandang subsidi sebagai sebuah kewajiban untuk memenuhi hak rakyat untuk memperoleh subsidi, tentu hal ini akan menjadi berbeda. Pada tataran inilah, kita bisa melihat bahwa perbedaan paradigma dan filosofi dapat memberi pengaruh yang amat besar bagi kebijakan publik. [caption id="attachment_177024" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: www.jgmotor.co.id"]
[/caption] Keempat, seperti yang banyak diberitakan di media, penyerapan anggaran setiap tahunnya tidak selalu mulus. Pola yang terbentuk, banyak instansi yang jor-joran menyerap anggaran ketika menjelang akhir tahun. Awal Desember 2011, Kemenkeu menyatakan potensi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) tahun tersebut mencapai Rp 20-30 triliun jika realisasi defisit anggaran di kisaran 1,6% terhadap PDB. Proyeksi defisit anggaran itu kemungkinan lebih rendah daripada asumsi APBN-P 2011 sebesar 2,1% PDB. Turunnya persentase defisit anggaran tersebut didasarkan pada estimasi realisasi belanja negara yang mencapai 95%. SILPA 2011 tersebut berarti akan menambah akumulasi saldo anggaran lebih (SAL) yang sampai saat itu berada di kisaran Rp 97 triliun. Tahun sebelumnya, APBN 2010 juga tercatat mengalami kelebihan Rp 47 triliun yang berasal SILPA. Dengan demikian, bukankah ini mengindikasikan bahwa pemerintah sebenarnya tidak mengalami tekanan dana! Kalaupun SILPA atau SAL hendak dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, saya yakin tidak mungkin dana tersebut akan langsung terserap seketika. Seorang anggota dewan dari partai oposisi malah sempat menyampaikan data bahwa banyak pos pendapatan dari tahun ini yang sebenarnya masih dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan subsidi. Bukankah ini mengindikasikan bahwa menaikkan harga BBM bukanlah opsi terakhir!!!
[caption id="attachment_177025" align="alignright" width="300" caption="Sumber: www.fxcl.web.id"]
[/caption]
Kelima, Indonesia saat ini hanya bisa memproduksi dari ladang minyak yang ada sebanyak 800-900 ribu barel per hari (bph). Padahal, kebutuhan DN sekitar 1,3 juta bph. Dulu, zaman Pak Harto, produksi minyak Indonesia dapat mencapai 1,6 juta bph. Dengan demikian, dapat diterjemahkan dari fakta tersebut bahwa penyebab mahalnya BBM lebih disebabkan oleh selisih kekurangan pasokan DN yang kemudian dipenuhi dari impor. Saya meyakini, impor itulah yang mmebuat BBM mahal sehingga harus disubsidi. Ini tentu ulah eksportirDN/importir LN yang nakal yang dipelihara oleh oknum elite untuk mencari keuntungan. Jadi, yang seharusnya dipermasalahkan pemerintah bukanlah tentang subsidi tersebut, melainkan si eksportir DN/importir LN yang nakal beserta oknum elite tersebut. Mereka yang menanam, mengapa harus rakyat Indonesia kebanyakan yang menuai! Keenam, jika disimak, tidak semua ladang minyak dioptimalkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah ladang minyak di Cepu. Bahkan saya membaca jika Cepu juga memiliki potensi gas. Sungguh mengherankan kan, bangsa ini mengekspor gas ke LN, tetapi kebutuhan DN sendiri tidak dicukupi terlebih dahulu. Kita sekarang sibuk mencari impor gas dari luar. Apalagi yang bisa kita terjemahkan dari fakta ini jika bukan ada oknum yang sengaja mengekspor gas ke LN demi mencari keuntungan dan membiarkan DN mengalami kekacauan lantaran kekurangan pasokan. Dan pemerintah harusnya bersikap tegas pada oknum-oknum ini dan bukannya bertindak tegas kepada rakyat untuk mau mengikuti kebijakan administered price dari pemerintah.
[caption id="attachment_177026" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: www.matanews.com"]
[/caption]
Ketujuh,benarkah ada subsidi? Di sejumlah literatur, Kwik Kian Gie pernah menyampaikan pertanyaan ini. Selain ilustrasi sederhana tentang mekanisme pembentukan harga BBM domestik dan nilai impor, Kwik secara tegas menyatakan bahwa yang dikatakan ‘subsidi’ selama ini oleh pemerintah adalah pengertian abstrak yang sama sekali tidak berimplikasi pada keluarnya uang. Ditinjau dari sudut keluar masuknya uang, sesungguhnya pemerintah masih kelebihan uang tunai ketika harga minyak dunia melonjak. Dinyatakan Kwik, ‘subsidi’ yang selama ini disampaikan pemerintah sesungguhnya adalah selisih jika BBM itu dijual ke LN dengan harga yang dijual ke dalam negeri. Dengan demikian, tidak benar jika ‘subsidi’ dipersepsikan sebagai dana APBN yang dikeluarkan pemerintah kepada rakyat. Kenyataannya, pemerintah mendapatkan kelebihan uang. Hanya, kelebihannya tidak sebesar seandainya rakyat Indonesia diharuskan membeli BBM produksi DN dengan harga dunia [caption id="attachment_177028" align="alignright" width="300" caption="Sumber: www.dokterhijau.worpress.com"]
[/caption]
Kedelapan,katanya, sebanyak 10% orang kaya Indonesia menerima manfaat subsidi hingga Rp 5 triliun dan kalangan
miskin yang seharusnya menjadi target penerima subsidi hanya menyerap BBM sebesar Rp 0,27 triliun. Jika memang benar demikian, bukankah seharusnya 10% itu yang ditertibkan dan bukan memaksa 90% untuk mengikuti yang 10%. Katanya, selama ini pengguna terbanyak subsidi BBM justru berasal dari masyarakat mampu. Buat saya, slogan ‘subsidi BBM tidak tepat sasaran dan lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya’ merupakan bagian dari edukasi untuk memperbesar peran mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Padahal, pasar sarat dengan ketidakmampuan. Bagaimana mungkin orang miskin dibiarkan berperang dengan orang yang memiliki kapital besar. Bahkan tega-teganya seorang ekonom mengatakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi berpihak kepada masyarakat
ekonomi kecil.
[caption id="attachment_177029" align="alignright" width="300" caption="Sumber: www.pdk.or.id"]
[/caption]
Kesembilan, utang Indonesia awal tahun ini sudah mencapai Rp 1.937,05 triliun. Hampir menyentuh Rp 2.000 triliun! Dari data perkembangan utang negara yang dirilis Kemenkeu, setiap tahunnya pembayaan bunga utang (saja) berkisar 8-10% dari belanja negara atau 9-11% dari penerimaan negara. Tahun 2012 saja diprediksi bunga utang yang harus dibayar sebanyak Rp 122 triliun! Mengapa ini tidak diteriak-teriakkan oleh pemerintah sebagai beban, sedangkan subsidi selalu dikoar-koarkan sebagai beban. Legitimasi yang selalu disampaikan untuk membenarkan adalah ‘tambahan utang di negara maju lebih besar dibandingkan di negara berkembang’ atau ‘rasio utang Indonesia tidak sebesar negara maju’ atau sebagainya. Jangan mengkomparasi Indonesia dengan negara maju! Lihat bagaimana sekarang kawasan Eropa mengalami kebangkrutran karena utang yang melilit. Jangan jadikan rasio utang sebagai argumen untuk menunjukkan bahwa utang kita semakin berkurang. Tapi, lihat angka nominalnya yang terus membengkak! Bukankah ini juga beban! Bukankah pelan tapi pasti kita harus mengurangi utang dan bukan dengan menerbitkan instrumen utang berbunga untuk menggali lubang tutup lubang utang! Jadi, buat saya, subsidi BBM sesungguhnya tidak layak dijadikan kambing hitam atas berbagai tekanan terhadap APBN. Beban berat anggaran negara nyatanya juga lebih disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap berbagai sektor padat modal dan besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang setiap tahun.
Kesepuluh, pemerintah menaikkan harga BBM demi menghemat pengeluaran sebesar 38-55 triliun. Tetapi, sebagai kompensasi, pemerintah memberikan 4 jenis kompensasi. Untuk jenis bantuan langsung tunai (BLT) saja, nilainya sudah mencapai sekitar Rp 25 triliun. Dari hitung-hitungan sederhana, penghematan riil yang dilakukan pemerintah sesungguhnya ‘hanya’ sebesar Rp 13-30 triliun. Angka ini saya yakini tidak sebanding dengan dampak ikutan yang terjadi di masyarakat. Bagi kelompok miskin, mereka sudah sulit untuk menghemat lagi karena tingkat konsumsinya sudah berada di titik terbawah. Dan dana BLT yang terserap dapat dipastikan akan lebih banyak menguap dalam perut. Uang di tangan hanya dapat bertahan dalam hitungan hari. Padahal, dana senilai tersebut jika digunakan untuk pembangunan fasilitas publik ataupun lapangan kerja yang menggerakkan sektor riil yang produktif, maka akan dapat memberi manfaat dalam jangka menengah dan panjang. Jadi, salah kelola APBN oleh pemerintah jangan disandarkan pada masyarakat miskin. Dampak ini saja belum memperhitungkan jumlah keluarga menengah yang berpotensi jatuh pada kategori miskin.
Tidak perlu teori ekonomi yang rumit atau model ekonometrika untuk menghubungkan dampak kenaikan harga BBM terhadap sendi-sendi kehidupan yang lain. Bagi penganut ekonomi mainstream, berbicara tanpa data dan metode penghitungan kuantitatif sering divonis sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif atau empirik sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif.
[caption id="attachment_177032" align="alignright" width="240" caption="Sumber: www.ipoetmedia.blogspot.com"]
[/caption] Jelas, energi adalah salah satu kebutuhan dasar manusia yang substansial di abad ini. Manusia berserikat di dalamnya. Persoalan energi dapat menjadi pemicu konflik dan memiliki efek domino yang signifikan dalam mempengaruhi ekonomi masyarakat. Demi menjamin ketersediaan energi dalam jangka panjang, pemerintah harusnya sesegera mungkin mempersiapkan kemandirian energi. Pemerintah harusnya mempunyai kebijakan energi nasional yang terpadu yang mengikat semua pihak. Kegagalan sejumlah upaya diversifikasi energi di waktu lampau disebabkan tidak adanya konsistensi kebijakan energi dan tidak jelasnya format kebijakan harga BBM. Padahal, jika program diversifikasi ini gagal, hal itu akan sangat membahayakan ketahanan ekonomi masyarakat dan ketahanan keamanan nasional dalam jangka panjang karena ketergantungan pada minyak impor akan terus meningkat. Kita punya matahari, laut, etanol, sampah dan ragam sumber daya alternatif lainnya yang harusnya dapat dikongkretkan sebagai bagian dari membangun kemandirian dan ketahanan energi.
Yang tidak kalah penting, penegakan hukum seyogyanya ditegakkan. Ketika disparitas harga kian tinggi, sesungguhnya adalah peluang bagi oknum pejabat, oknum aparat, dan oknum pengusaha untuk memanfaatkan situasi. Untuk itu, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah penegakan hukum dan bukan menyalahkan disparitas harga domestik dengan internasional. Saya tidak tahu, apakah memang benar cerita-cerita yang saya sering dengar bahwa eksportir dan importir nakal itu sesungguhnya memang selalu menjadi peliharaan setiap rezim. Entahlah. Wallahu a’lam bish showab.
Sumber:
Makalah pribadi yang dipresentasikan dalam Seminar dan Simposium Internasional IAEI berjudul ‘Epistemologi Ekonomi Islam Terhadap Subsidi BBM di Indonesia’ di Universitas Airlangga, 2008.
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/453605/
http://economy.okezone.com/read/2011/01/03/20/409884/silpa-apbn-2010-rp47-triliun
http://berita.liputan6.com/read/375941/lsm-bendera-utang-indonesia-kini-134-t
http://bisnis.vivanews.com/news/read/297053-pos-pendapatan-apbn-yang-bisa-cegah-bbm-naik
http://bisnis.vivanews.com/news/read/297044-orang-kaya-ri-serap-subsidi-bbm-hingga-rp5-t
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Politik Selengkapnya