Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prof. Sri-Edi Swasono, Manis dan Tidak Manisnya Beliau pada Saya… (1)

8 Juli 2011   08:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin, saya menghadiri Deklarasi 21 PTN/PTS di Jawa Timur yang melakukan MoU untuk memasukkan matakuliah Koperasi dalam Kurikulum Pendidikan di PT masing-masing. Acara deklarasi tersebut diselenggarakan oleh DekopinWilJatim bersama Universitas dr. Soetomo yang tengah merayakan Dies Natalisnya. Saya hadir di acara itu sebagai undangan pribadi dari Pak Edi. Ya, saya biasa memanggil Prof. Sri-Edi Swasono dengan Pak Edi sebagaimana beliau biasa menyebutkan dirinya dengan Pak Edi pula. Saya belanin meluangkan hadir di acara tersebut juga mengingat saya tidak menghadiri undangan pernikahan putranya bulan Mei lalu.

Kemarin, Pak Edi sangat maniiiiis sekali pada saya. Ketika saya sampai di tempat acara, ada Mbak Novi ---anak dari mantan Promovendanya Pak Edi yang sering membantu Pak Edi jika berada di Surabaya--- yang langsung menyambut saya. Katanya, dia dikirimi SMS Pak Edi untuk mencari saya. Mungkin maksudnya agar Mbak Novi dan saya sama-sama tidak merasa sendirian di acara tersebut.

1310131224386518138
1310131224386518138
Ketika Pak Edi memasuki hall acara ditemani sejumlah panitia dan pengurus DekopinWilJatim, Pak Edi yang melihat saya langsung menghampiri menyapa sembari menepuk-nepukkan tangannya di pipi saya. Persis kayak ayah ke anak atau kakek ke cucu. Buat saya, perlakuan Pak Edi agak berbeda. Sebab biasanya Pak Edi hanya mengelus kepala saya. Rasanya, baru kali ini deh Pak Edi menepuk-nepuk pipi saya, apalagi di depan orang banyak kayak gitu. Pak Edi juga menanyakan kabar sahabat saya yang hari itu tengah menjalani operasi Caesar.

Pada saat acara berlangsung, Pak Edi memisahkan diri dan duduk bersama para rektor/pembantu rektor PTN/PTS, ketua/wakil ketua sekolah tinggi, Kepala Dinas Koperasi & UMKM, serta beberapa pengurus DekopinWilJatim. Saya mengikuti seluruh rangkaian acara, mulai dari acara sambutan Tari Reog Ponorogo Jombangan, pembacaan deklarasi, penandatangan MoU, hingga akhirnya ceramah tunggal (orasi ilmiah) Pak Edi yang ditutup dengan Tari Sparkling Surabaya.

1310113064423771283
1310113064423771283
Ceramahnya Pak Edi melampaui jatah waktu yang diberikan panitia. Ketika masih molor 45 menit, saya mengirimkan SMS. Mbak Novi mencoba menelpon. Tapi tidak ada yang mempan hingga Pak Edi terus saja berceramah bak sedang memberi perkuliahan. Tiba-tiba saya mendapati missed-call dari staf Pascasarjana di kampus yang rencananya hendak menemui Pak Edi pula. Saya kemudian keluar hall untuk mencoba menghubungi staf tersebut. Setelah beberapa saat, saya kemudian masuk lagi. Mbak Novi kemudian menyampaikan bahwa Pak Edi mencari saya. Mmm, manisss banget kan, di tengah-tengah orang banyak bisa mengetahui bahwa saya ‘menghilang’ sejenak di hall tersebut dan di tengah-tengah orasi di depan podium masih sempat menanyakan saya ada di mana. Hehehe…

Setelah 2 jam bicara melampaui jatah waktunya, akhirnya Pak Edi menyudahi ceramahnya. Turun dari podium, Pak Edi melambai-lambaikan tangannya sembari tersenyum ke arah saya. Saya menengok ke belakang, jangan-jangan melambai pada orang lain. Entahlah, mungkin melambainya memang diarahkan kepada saya atau juga Mbak Novi yang jaraknya tidak begitu jauh dari saya. Ah, Pak Edi, berdada-dada ria bak melambai-lambai pada seorang bocah cilik…

Setelah seremoni berlangsung beberapa waktu, panitia membawa Pak Edi dan Kepala Dinas serta Ketua DekopinWil Jatim ke Coffee Shop untuk memberi kesempatan pada media melakukan wawancara. Saya berduaan dengan Mas Udin, staf Pascasarjana yang hendak bertemu Pak Edi. Tiba-tiba kemudian saya mendengar beberapa orang memanggil “Mbak… Mbak… Dicari Pak Edi…”. Saya kemudian melihat agak jauh Pak Edi melambai-lambaikan tangan menyuruh saya menghampirinya. Setelah dekat dengan mejanya, Pak Edi bertanya, “Kamu hari ini puasa gak? Kalau enggak puasa, kamu harus ikut makan siang ya. Sek, saya selesaikan urusan dengan Mas Udin dulu yo… “.

13101174582038435310
13101174582038435310
Pak Edi kemudian pindah pada meja kosong dan duduk berhadapan dengan Mas Udin. Saya duduk dekat pak Edi. Pak Edi kemudian menandatangani beberapa helai kertas yang dibawa Mas Udin. Sembari menunggu, saya melihat sejumlah wartawan yang hendak mendekati meja kami. Mereka beringsut seolah takut mengganggu Pak Edi. Saya kemudian bilang, “Pak Edi, ada wartawan yang mau wawancara sama Pak Edi”. Pak Edi menjawab, “Saya enggak mau wawancara.” Saya menyahut, “Pak Edi kok begitu sih. Kasihan kan mereka menunggui Pak Edi dari tadi pagi. Saya juga mantan wartawan lho, Pak Edi. Saya bisa merasakan gimana rasanya dah nungguin lama, terus narasumbernya gak mau diwawancarai… “. “Yo wis yo wis, tapi kamu duduk di sini aja ya," angguk Pak Edi.

13101125221561697612
13101125221561697612
Selesai urusan dengan Mas Udin, Pak Edi minta Mas Udin duduk di meja sebelah. Kemudian Pak Edi mempersilahkan para wartawan duduk di meja kami. Melihat beberapa wartawan tidak bisa duduk dekat Pak Edi, saya kemudian keluar dari kursi dan mempersilahkan seorang wartawan menempati kursi saya. Saya kemudian ambil foto-foto Pak Edi yang sedang melakukan wawancara sembari tersenyum. Tersenyum? Iya, karena saya mendengar pertanyaan 2 orang wartawan yang dijawab Pak Edi dengan “Saya enggak mau jawab pertanyaan itu…”. Saya hafal dengan gelagat jawaban itu jika Pak Edi menolak pertanyaan yang sensitif untuk dirinya menjawab…

Akhirulkalam, saya kemudian menyusul Mas Udin yang berada di ruang tamu kamarnya Pak Edi. Pak Edi sudah bersiap-siap, sudah berganti baju, dan sudah menyiapkan kopernya untuk turun. “Sini Is, kowe tak kasih tahu yo. Hayo, keluarkan makalahmu yang tadi…Nah, Ini ini… Nah, dibaca ya yang ini…,” kata Pak Edi sembari mencari-cari halaman tertentu yang ingin ditunjukkan pada saya dan kemudian memberi tanda dengan pensil. Pensil? Ya, Pak Edi kemana-mana selalu membawa pensil dan penghapus sebagai ‘alat perangnya’.

“Iya Pak, nanti saya baca ya…,” jawab saya menimpali ceritanya Pak Edi tentang syukurnya mengajar di UIN Syarif Hidayatullah yang memperkaya pengetahuan agama beliau. Pak Edi kemudian menjanjikan akan mengirimkan buku seorang Promovenda untuk saya baca. “Lho, tempo hari kan Pak Edi sudah ngirimkan paket buku yang salah satunya ada buku disertasinya mahasiswa di UIN,” sahut saya. “Iya, ini beda. Kamu harus baca…,” seru Pak Edi.

“Iya, nanti saya baca. Sekarang foto dulu ya Pak Edi. Terakhir foto-fotoan sama Pak Edi tahun 2009. Saya gak punya foto terbaru bareng Pak Edi lagi. Mau saya upload di Fesbuk. Hehehe. Boleh yaaaa….,” kata saya. “Yo gak popo… Ayo Din, kamu ambil foto. Kamu sini Is dekat saya…,” kata Pak Edi sembari merapikan jasnya.

Usai foto-fotoan, saya dan Mas Udin kemudian menemani Pak Edi turun sampai ke lobi hotel. Seluruh satpam dan pegawai hotel bersalaman dengan Pak Edi seraya mengatakan “Selamat siang, Prof. Selamat jalan…”

Terus…. Ada mobil Innova yang menjemput Pak Edi dan Pak Edi meluncur sembari berdada-dada ria kembali pada saya dan Mas Udin.

Hufffffttt, Pak Edi… Hari ini rasanya bersikap sangat maniiiiis sekali pada saya. Eittttttsss, jangan mengira saya ke-GR-an dengan Pak Edi ya. Pak Edi memang demikian tidak hanya pada saya kok. Kepada Mbak Candra, sahabat saya, Pak Edi juga bersikap manis. Mmm, tapi saya juga bertanya-tanya dalam hati, apa Pak Edi memang demikian kepada semua muridnya? Mmm, saya sih lebih merasa kebaikan dan rasa sayangnya kepada saya, Mbak Novi atau Mbak Candra sebagai salah satu bentuk kasih dan kerinduannya pada putri kecilnya yang sudah tiada. Putri kecil? Ah, saya tidak mau membahas kisah sedih ini. Pak Edi pasti menitik air matanya…

Di judul tulisan ini, saya menulis “manis dan tidak manisnya” Pak Edi… Ya, itu yang manis-manis dari Pak Edi. Tidak manisnya? Buuuuuanyaaaaaaak… ^_*

1310123881770818681
1310123881770818681
Saya mengenal Pak Edi sejak 2007, ketika beliau untuk pertama kalinya mengajar Sistem Perekonomian di perkuliahan saya. Buat saya, beliau adalah salah satu pencerah yang perkuliahannya masuk ke hati saya. Tetapi yang sering bikin saya kesal dengan Pak Edi adalah gerutuan beliau tentang bahasa Inggris saya yang sering keliru-keliru. Hingga suatu hari, saya menyampaikan di kelas, “Iya Pak, bahasa Inggris saya sering salah-salah kan karena di kelas selalu saya yang disuruh membaca. Yang lainnya enggak pernah…” seru saya sambil manyun.

Di kelas, usia saya memang yang paling muda. Mungkin juga karena hal itulah yang membuat Pak Edi kerap menunjuk saya untuk membaca paragraf-paragraf berbahasa Inggris yang ingin dijelaskan Pak Edi. Ya, bahasa Inggris saya memang belepotan dengan medok Madura yang buat telinganya Pak Edi terasa kental dan mengganggu cara pengucapan. Tapi jika saya berada di Lumajang atau Jember, banyak yang mengira saya orang Sunda atau orang Jakarta lho…

Ya darah Madura memang mengalir asli pada saya… Dan Pak Edi sering mengisahkan cerita-cerita ‘unik’ tentang orang Madura di kelas yang selalu membuat teman-teman sekelas tertawa. Tapi saya hampir tidak pernah tertawa. Rasanya pernah beberapa kali saya protes kenapa selalu yang dikisahkan adalah orang Madura. Pernah juga rasanya saya mengatakan, “Memangnya orang Solo atau orang Yogya gak ada yang seperti itu!” Saya menyebut Solo karena Pak Edi orang Solo dan saya menyebut Yogya karena banyak kawan di kelas yang berasal dari Yogya.

Mmm, saya yakin Pak Edi tidak bermaksud SARA. Pak Edi mungkin sengaja mencari cerita orang Madura karena saya yang paling mudah dan muda untuk dijadikan bahan godaan. Ya, Pak Edi rasanya paham bahasa tubuh saya. Ketika materi perkualiahan membahas topik yang tidak saya pahami, saya biasanya menunduk menghindari pandangan mata pak Edi. Ya, tentu saja saya menunduk supaya tidak ditunjuk untuk menjawab. Sebab saya hampir selalu disuruh menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Nah, Pak Edi ternyata bisa membaca pikiran saya. Jam terbang membuat beliau mengetahui gelagat saya. “Hayooo, saya tahu, Iis ini dari tadi nunduk-nunduk pasti karena takut disuruh menjawab kan…”. Hiksss… ketauan…!!!

Ya, jam terbang pula yang menurut saya membuat Pak Edi dapat mengendalikan diri ketika suatu hari terperangah dengan pertanyaan saya yang mungkin terkesan meragukan kapasitas beliau. Saya bertanya, “Kata Pak Edi, kita harus mencintai rakyat kecil. Kita harus bisa memahami bagaimana keadaan mereka. Kata Pak Edi, kita harus lebih menyukai singkong daripada keju. Tapi… kok pak Edi sepertinya lebih bangga dengan kacamata, jam tangan atau sepatu yang berasal dari luar negeri? Kalau naik pesawat, juga enggak mau naik yang kelas Ekonomi.” Ahhhhh, ketika pertanyaan dan pernyataan itu terlontar dari mulut saya, suasana kelas langsung hening. Semua kawan sekelas melirik saya. Saya merasakan situasi blank saat itu. Tapi yang namanya dosen, guru besar, apalagi sekelas Pak Edi, selalu punya jawaban jitu untuk pertanyaan nyeleneh seperti saya.

Ya, saya nyeleneh mungkin juga karena saya saat itu sering kesal dengan Pak Edi. Di depan kelas, Pak Edi sering banget mengatakan, “Is, kamu itu mbok ya jangan lugu-lugu banget. Kamu itu harus tahu banyak supaya semakin pinter…”. Ih, saya sebel banget dibilang lugu. Saya gak merasa lugu kok…

Yang lainnya yang saya dulu sering kesal adalah cara beliau yang sedikit memaksakan cara berpikirnya kepada mahasiswa. Masak hanya karena berbeda pendapat, lalu berarti pendapat berbeda itu pasti salah. Ya enggak bisa begitu kan. Dalam beberapa hal, saya dan mungkin juga kawan-kawan lain memiliki cara pandang berbeda dengan Pak Edi. Tidak semua hal kami sepakat. Tetapi, satu hal yang tidak dapat kami ingkari, apa-apa yang disampaikan Pak Edi membawa pencerahan bagi kami semua.

Begitu pula dengan SMS, ada yang manis-manis dan ada juga yang tidak manis-manis. Yang tidak manis-manis adalah ketika Pak Edi mengirimkan SMS yang tak saya sepakati. Biasanya kalau saya tidak sepakat dengan pendapat pak Edi di SMS, saya tidak membalas langsung. Saya perlu mencari kata-kata yang tetap menunjukkan pandangan saya tanpa harus berselisih dengan Pak Edi. Untuk SMS-SMS yang saya sulit untuk menjawabnya, saya sering juga tidak membalas sama sekali. Saya yakin Pak Edi memahami itu. Pernah karena saya tidak menjawab SMS, beliau kemudian mengirimkan SMS kembali “Kamu tidak suka ya dengan SMS saya” dalam bahasa Inggris. Hehehe, pandai sekali Pak Edi membaca isi kepala saya.

Yang manis-manis dari SMS Pak Edi juga ada. Ketika suatu hari saya menyampaikan pendapat dan ternyata beliau senang dengan jawaban saya, SMS-nya berbunyi, “Kamu memang pinter. Guru besarmu bangga padamu…”. Atau puisi-puisi yang kerap dikirimkan beliau jelang dini hari tentang resahnya pada kehidupan atau tentang gundahnya dari negeri ini. Hal lain yang mengesankan saya dari Pak Edi adalah cintanya yang begitu besar pada Ibunya yang sangat terbaca dari cerita-ceritanya. Begitu pula tersiratkan betapa besar kasihnya pada Bu Meutia yang sering dipuji beliau cantik. Ketika saya dan Pak Edi ber-SMS-an tentang anak, SMS beliau yang menyentuh hati saya menjelang pukul 1 dinihari “Janganlah pernah anak2mu kau pukul, kau sakiti jasmani dan hatinya. Dekati dg pengertian bila anak2 sdng nakal. Ajari mereka tahu harga diri dan kesadaran diri tanpa sombong, dekaplah dan ciumlah bila merekasdng duka. Jgn dibiarkan mereka malas berbuat dan malas berpikir. Kasih tahu mereka tentang kebesaran Tuhan sehingga mengenal human nobility dan the culture of excellence. Ajarkan humanism Islam, tdk eksklusif dan tdk diskriminatif. Cinta mereka kpd engkau sebagai Ibu akan langgeng bila mereka mengenal human nobility and the culture of excellence, budaya adiluhung dlm diri pribadi sang anak”.

Mmm, bagaimanapun beliau, dengan segala kelemahan dan kelebihannya, dengan segala sepakat dan tidak sepakat kami dalam melihat persoalan di negeri ini, dengan segala perbedaan dalam memaknai Ekonomi Islam atau Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan, dengan segala gerutuannya tentang saya, saya dari lubuk hati terdalam sangat menghormati dan menyayangi beliau…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun