Sudah sepekan ini saya menghadapi sejumlah persoalan di pekerjaan dan organisasi secara beruntun. Sejak pekan lalu, saya sudah begitu ingin menuliskan curhatan ini. Tapi waktu sempit dan rasa lelah yang membuat saya tidak sempat menuliskannya. Tapi hari ini, entahlah, rasanya saya sudah tidak mampu untuk tidak menuliskannya. Menulis buat saya adalah bagian dari menjaga keseimbangan emosional diri...
Jakarta, 23 Desember 2010
Saya diminta oleh staf ahli kementerian X untuk menjadi narasumber kajian. Pesertanya adalah sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Sejak tanggal 22, saya sudah di Jakarta bersama rekan dan sahabat saya yang ikut terlibat dalam kajian tersebut. Sebelumnya, kami berdua sudah kasak kusuk bahwa kegiatan tersebut terselenggara untuk penyerapan anggaran di akhir tahun. Kami diinapkan di hotel baru yang cukup mewah. Hati kecil saya begitu menyayangkan dengan pengeluaran yang seharusnya dapat lebih sederhana.
Pada saat jelang acara, saya berkenalan dengan seorang profesor dari Fakultas Peternakan UGM. Beliau termasuk profesor yang relatif masih muda. Lulusan Perancis. Rendah hati dan sangat santun. Kami memperbincangkan hal senada tentang kegiatan tersebut. Kami bertiga sepakat bahwa kegiatan ini lebih pada seremonial guna penyerapan anggaran.
Acara yang semula dijadwalkan pukul 9 pagi, berubah menjadi jam 12. Berikutnya, berubah lagi menjadi jam 13.Saya sudah agak resah dengan perubahan jadwal tersebut karena pesawat saya ke Surabaya terjadwal pukul 17.30. Artinya, paling lambat pukul 15.00 saya sudah harus keluar hotel untuk mengantisipasi kemacetan Jakarta.
Acara ternyata baru mulai pukul 14.00. Rekan saya memulai presentasi kami. Saya memang cenderung untuk berada di belakang layar. Lebih mudah bagi saya untuk menyampaikan isi kepala via tulisan daripada harus berbicara langsung.
Usai presentasi, Kabiro Perencanaan dari Kementerian X tersebut langsung minta kesempatan bicara kepada moderator. Bla.... bla..... bla.... bla.... bla.... bla....
Intinya jika saya terjemahkan dengan bahasa yang lebih sederhana adalah seperti ini: Beliau tidak puas dengan paparan kami. Analisis kami tidak menjawab angka-angka yang ia butuhkan untuk implementasi program kegiatan yang akan menjadi rencana aksi mereka. Dst....
Saya kemudian menjawab: Kelemahan kajian kami memang adalah pada persoalan data kuantitatif. Ketika kami ke lapangan, pejabat setempat yang kami temui pun tidak mampu memberikan angka pada kami. Padahal, seorang pejabat dengan level Kepala Dinas seyogyanya mengetahui berapa pengangguran, berapa penyerapan tenaga kerja dari program kegiatan pemerintah, dst. Tidak hanya itu, industri terkait dengan kajian kami ini terindikasikan melakukan kartel kepada petani. Bla.... Bla... Bla... Bla... Bla...
Kemudian Kabiro Perencanaan dan sejumlah audiens berkomentar tentang hal-hal yang saya dan rekan saya tidak mengerti. Dikatakan bahwa kami telah menulis laporan pendahuluan dan ada berita acara yang meminta subtansi perbaikan, lalu tentang kontrak besar yang kami tandatangani, dst.
Rekan saya yang sudah tampak tak tahan untuk berbicara, dihalangi oleh moderator untuk berbicara. Moderator mengingatkan kami bahwa kami sebaiknya minta izin keluar supaya tidak tertinggal pesawat.
Akhirul kalam, kami mengeluarkan semua uneg-uneg di kendaraan yang mengantarkan kami berdua ke Cengkareng. Kami menyamakan persepsi atas "omelan" Kabiro Perencanaan dan audiens dari Kementerian X tersebut. Kami sepakat bahwa Kabiro Perencanaan tersebut salah tembak sasaran. Kami tidak paham dengan apa-apa yang diampaikan beliau. Kami merasa, ada skenario yang tidak menguntungkan kami berdua dan juga profesor UGM tersebut. Kami kurang berkenan dengan caranya yang arogan dan merendahkan kerja kami. Sungguh, kami diminta untuk membuat kajian tersebut hanya sekitar seminggu. Tak ada kontrak. Tak ada uang.Kamipun tidak mengajukan tarif. Kami terima permintaan kajian tersebut karena kami senang dengan topik tersebut. Kami berharap dapat memotret persoalan di lapangan untuk disampaikan pada pemerintah.
Keesokan harinya, saya dan rekan berusaha untuk mencari imel Kabiro Perencanaan. Kami ingin mengklarifikasi. Kami berharap beliau menyadari bahwa yang seharusnya mencari solusi dari persoalan-persoalan di lapangan adalah mereka-mereka yang bekerja di kementerian ini. Bukankah mereka dibayar oleh negara untuk itu? Kapasitas saya dan rekan (juga Profesor) adalah menjadi narasumber, bukan orang yang punya kapasitas untuk menentukan berapa anggaran yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan program-program pemerintah untuk masyarakat. Apalagi sampai pada Peraturan Pemerintah atau Peraturan Kementerian apa yang harus diterbitkan....
Sampai di Juanda, saya duduk sejenak untuk menghubungi sejumlah orang. Saya belum bisa memutuskan akan pulang Lumajang atau tetap di Surabaya. Saya lupa bahwa tanggal 24 Desember adalah hari cuti bersama. Saya berkepentingan bertahan di Surabaya untuk menyelesaikan dan menyerahkan revisi proposal disertasi saya. Tapi, besok hari ada pembagian raport di sekolah anak saya. Saya berkepentingan untuk mengikuti pembagian raport karena Ustadz/Ustadzah meminta saya mengadakan pertemuan Formula (Forum Orang Tua Wali Murid) dengan para wali murid. Semula saya sudah bertekat hendak membatalkan pertemuan tersebut karena seluruh pengurus tidak ada yang bisa hadir. Tapi ketika mendengar Ustadzah berkata, "Bu, tadi sore, anak-anak sudah merapikan kursi-kursi untuk pertemuan Formula lho, Bu. Anak-anak juga sudah saya pesani untuk menyampaikan pada ayah ibunya tentang pertemuan Formula", akhirnya saya putuskan untuk menunda revisi proposal saya dan menganggap pertemuan Formula jauh lebih penting dan membutuhkan kehadiran saya.
Akhirnya, saya pulang Lumajang. Ditambah Porong yang macet hampir 2 jam, alhasil saya sampai rumah sekitar pukul 1 lebih dinihari.
Meski lelah, saya berusaha hadir on time di pertemuan tersebut. Saya sangat paham, tidak banyak orang tua wali murid yang antusias dengan Formula. Dulu saya pun demikian. Tapi karena dipaksa dan terpaksa oleh keadaan, saya pun akhirnya mengiyakan menerima amanah Ketua Formula kelas 4.
Pertemuan ini menjadi penting karena ada beberapa persoalan yang muncul dalam program kegiatan Formula untuk anak-anak. Saya berkepentingan untuk mengklarifikasi agar tidak terjadi fitnah. Hingga saat ini, setidaknya yang saya tahu pasti ada 1 orang Ibu yang selalu mempermasalahkan program kegiatan Formula yang saya pimpin. Keluhannya menyebar kepada wali murid lain dan menyerempet-menyerempet personal Ustadz/Ustadzah.
Sayamemulai pertemuan dengan peserta yang hadir tidak sampai 15 orang. Itu pun sudah molor setengah jam. Tak lama, kemudian peserta terus bertambah dan memenuhi ruangan. Jika semua hadir, seharusnya ada sekitar 97 orang wali murid kelas 4 yang hadir. Ditambah 7 orang Ustadz/Ustadzah yang menjadi wali kelas 4A, 4B, 4C dan pengasuh mata pelajaran tertentu.
Akhirnya, sosok Ibu yang sering komplain itupun mengacungkan jari minta kesempatan untuk bicara. Saya baru kali itu mengetahui sosoknya. Cantik. Langsing. Bla... Bla... Bla... Bla... Bla...
Intinya jika saya terjemahkan dengan bahasa yang lebih sederhana adalah seperti ini: Ibu itumengeluhkan air minum yang disubsidi Formula "hanyalah" berupa air isi ulang dan bukan air Aqua asli. Dia merasa air minum isi ulang tidak terjamin kesehatannya untuk anak-anaknya. Kemudian, ibu itu mengeluhkan anaknya yang tidak memperoleh jatah makan siang. Anaknya pernah mengeluh karena hanya dikasih nasi oleh Ustadz/Ustadzah tanpa ada lauk pauk. Dst.
Selain ibu itu, ada 3 orang wali murid lainnya lagi yang mendapat perhatian besar dari saya. Seorang bapak komplain pada Ustadz/Ustadzah bahwa piring makan siang di sekolah ini membuat anaknya tidak berselera makan. Ketika saya tanya lebih detil tentang maksud "piring" yang dimaksud bapak tersebut, bapak itu tidak memberi jawaban pasti. Saya katakan, "Maaf Pak, yang dikeluhkan anak bapak tentang piring di sekolah itu yang seperti apa? Apakah piringnya kekecilan? Atau piringnya kotor? Atau piringnya kurang cantik?". Bapak itu hanya menjawab, "Ya saya enggak tahu. Pokoknya anak saya tidak bersemangat makan dengan piring yang ada disekolah ini".
Komplain lainnya dari seorang Ibu yang meminta Formula 4 tidak memberi extra fooding berupa snacks yang mengandung MSG yang banyak dijual di minimarket.
Komplain yang tidak kalah serunya dari seorang bapak yang berapi-api "memarahi" Ustadz/Ustadzah. Dengan bergaya orasi, bapak itu menuding-nuding Ustadz/Ustadzah yang tidak memperhatikan anak-anak di sekolah. "Ini semua adalah kesalahan Ustadz/Ustadzah. Anak kami bukan mainan. Tolong!!! Saya minta tolong agar anak-anak kami LEBIH diperhatikan!!!".
Hmmmmffffh... Saya kemudian menjawab satu-persatu pertanyaan maupun pernyataan yang terkumpul setelah meminta perpanjangan waktu. Yang terkait dengan kurikulum maupun persoalan akademis, saya minta Ustadz/Ustadzah yang membantu menjawab. Yang terkait dengan persoalan Formula, saya yang menjawab.
Saya mengalah untuk meralat kebijakan subsidi air minum tidak lagi selang seling antara air Aqua asli dengan air isi ulang. Semuanya sekarang menggunakan air Aqua. Saya tidak lupa menyampaikan konsekuensinya. Air galon minum di setiap kelas rata-rata habis 2 hari. Artinya, iuran Formula yang "hanya" sebesar Rp 10 ribu perbulan itu akan terserap pada air minum Aqua asli: Rp 12 ribu per galon x 3 kelas atau sama dengan Rp 36 ribu x 2 galon x 4 minggu atau Rp 288ribu per bulan. Artinya lagi, air minum ini akan menyerap sekitar 55% dari total penerimaan iuran Formula.
Soal snack, saya membantah memberikan extra fooding dalam bentuk demikian. hal ini pun diamini oleh ibu-ibu yang lain. Entahlah bagaimana ceritanya hingga Ibu itu menganggap snacks yang dimakan anaknya berasal dari Formula.
Soal piring, Ustadzah mengambilkan piring melamin polos berwarna merah kinclong yang menurut si bapak membuat anaknya tidak berselera makan. Ketika ditanya apa yang dikehendaki Bapak tersebut dengan piring tersebut, Bapak itu tidak menjawab.
Soal makanan tanpa lauk, Ustadz/Ustadzah membantah tidak pernah membiarkan anak-anak makan tanpa lauk pauk. Semua pasti mendapatkan porsi yang sama. Tetapi persoalan sering mengemuka ketika ada anak yang tidak mau makan dengan alasan malas, belum lapar atau lebih memilih jajanan yang dibeli dari uang jajannya.
Hmmmmfffffffh.... banyaaaaak sekali yang dibicarakan. Saya tidak mempermasalahkan materi yang para wali murid sampaikan. Mereka punya hak. Tetapi yang saya sayangkan adalah cara penyampaiannya yang terkesanmenyalahkan, arogan, bahkan menuding-nuding.
Setelah acara berakhir, beberapa pengurus dan Ustadzah menemui saya. Mereka mengatakan agar saya tidak mengambil hati. Ternyata Bapak yang "berorasi" dengan menuding-nuding itu seorang Camat. Dan ternyata Ibu yang sering mengeluhkan kepemimpinan saya itu adalah mantan Ketua Formula ketika anak-anak kami kelas 3. Ibu itu membandingkan kepemimpinan saya yang banyak masalah daripada di masa kepemimpinannya. Dan ternyata, Ibu itu memang termasuk salah satu orang kaya dari seluruh wali murid di sekolah ini. Anaknya memang mendapat perlakuan paling spesial daripada anak lainnya. Ya, Ibu itu pernah menuding saya terpilih menjadi Ketua Formula karena ditunjuk oleh Ustadzah. Ibu itu juga pernah menyatakan keberatannya karena Formula dipimpin oleh orang yang jarang ada di Lumajang.
Sebelum saya pamit, saya sempat mendengar Ustadz/Ustadzah berkata, "Akan saya ingat terus wajah Ibu itu, Bu. Orang kaya kok sombong sekali. Apa dia pikir roda kehidupan tidak berputar." Seorang Ustadzah kemudian ada juga yang menyahut, "Apa Pak Camat itu mengira kita ini bawahannya? Kok ngomong kepada para guru seolah kita ini bawahannya dengan marah-marah menunjuk-nunjuk". Seorang Ustadz juga ada yang berkomentar, "Apa bapak ibu itu tidak menyadari bahwa pembentukan perilaku anak bukan hanya dari sekolah, tetapi juga dari rumah...". Dst.
Sebelum Jum'atan tadi, saya menerima telepon dari Wakil Ketua Dharma Wanita Fakultas. Ia menanyakan kabar saya. Ya, sepekan ini ada kegiatan Dharma Wanita yang acaranya saya delegasikan kepada Wakil ketua saya. Untuk acara seremonial, makan-makan, undangan pertemuan dengan Dharma Wanita Pusat, saya memang kerap meminta tolong Wakil Ketua untuk menggantikan saya. Tetapi untuk rapat di fakultas, saya selalu berusaha hadir agar bertemu dengan para anggota. Sarana silaturahmi yang paling mungkin saya lakukan dengan anggota ya memang hanya pada saat rapat fakultas. Untuk yang lainnya, saya memonitor melalui telepon kepada Sekretaris dan Wakil Ketua.
Yang membuat saya kemudian terhenyak dengan telepon tersebut adalah ketika Wakil Ketua saya meminta maaf dan minta saya untuk tidak tersinggung. Ternyata... Ketua Dharma Wanita Fakultas yang saya gantikan kepemimpinannya tidak berkenan dengan cara pakaian saya... Beliau meminta Wakil Ketua saya untuk menyampaikan kepada saya untuk mengganti penampilan. Katanya, tidak pantas Ketua Dharma Wanita memakai jeans belel. Ditambah lagi jaket saya yang lusuh.
Yayaya, meski hal tersebut tidak begitu menyakitkan hati, tapi ternyata hal ini membuat saya menjadi termenung-menung. Saya mencoba memahami cara pandang beliau. Dengan perbedaan usia kami mungkin sekitar 35 tahun, tentu ada perbedaan dalam gaya hidup. Ditambah beliau yang seorang modis n fashionable dengan taraf kemakmuran yang sudah jauh di ambang batas, tentu cara berpakaian saya ini sangat tidak digemarinya.
Ini adalah yang kedua kalinya saya memperoleh kritik dari beliau. Zamannya Pileg adalah saat pertama saya berkenalan dengan beliau. Dalam suatu kesempatan, beliau pernah mengatakan agar saya menggunakan jasa konsultan untuk memilih pakaian. Katanya, "Mosok Caleg berpakaian lusuh n tidak rapi"...
Yayaya, saya sangat menyadari cara berpakaian saya yang “rada aneh”. Sebetulnya tidak aneh. Tapi karena saya banyak mobilitas dengan kendaraan umum (bis, taksi, lyn, dan jarang menggunakan kendaraan+sopir), makanya style saya adalah celana jeans, batik, jaketn sepatu kets/sepatu ceper serta tas ransel. Dan pada pertemuan terakhir saya di rapat Dharma Wanitadi Jember, saya harus langsung menuju Surabaya. Saya masih harus mencari tiket kereta. Karena banyak bergumul dengan kendaraan umum n kerap berdesakan n berkeringat, saya memilih cara berpakaian kasual saja untuk memudahkan dan supaya tidak perlu membawa pakaian berat-berat.
Mmmfffh, jika saja saya bisa mengatakan pada beliau. “Bu, jangan lihat penampilan saya. Lihat isi kepala saya. Saya memang tidak biasa bergincu dan bermake-up tebal. Saya tidak biasa menggunakan sepatu yang sangat wanita atau berpakaian modis. Saya seperti ini adanya. Saya memang bukan Ibu yang sudah sangat tercukupi oleh gaji suami yang seorang spesialis. Ibu mungkin tidak bisa memahami saya seperti halnya saya sulit memahami Ibu. Ibu pernah bertanya, “Ngapain kamu sekolah?”. Keheranan Ibu seperti juga keheranan saya dengan aktivitas Ibu yang hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan dan shopping atau berwisata kuliner. Jika Ibu bangga mengetahui daerah-daerah indah dan makanan-makanan enak di seluruh penjuru Indonesia, saya pun bangga dengan artikel, makalah, dan kajian-kajian yang saya tulis untuk turut berkontribusi bagi pengembangan keilmuan dan pengabdian pada masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Maaf Bu, saya hanyalah ibu rumah tangga biasa yang harus menunda cita-cita demi masa depan yang lebih baik untuk anak-anak saya. Maaf juga Bu, saya lebih memilih berpakaian belel untuk beternak bebek dan membuat kompos demi memberdayakan masyarakat daripada berpakaian rapi, berdandan cantik, dan wangi dalam acara-acara arisan, demo kecantikan, demo masak, dan seputarnya. Saya lebih memilih menjadi entitas saya pribadi daripada sekedar label seorang Ketua Dharma Wanita…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H