Penulis : Khairunnisa Ika Putri | Editor : Khairunnisa Ika Putri
Perpecahan antara kelompok Islam Sunni dan Syiah telah menjadi fokus perhatian umat  islam selama berabad-abad yang menciptakan dinamika yang kompleks. Perbedaan pandangan seputar kepemimpinan dan warisan sejak zaman awal Islam telah membentuk dua kelompok besar dengan tradisi, keyakinan, dan praktik-praktik keagamaan yang berbeda.
Sejarah Perpecahan
Perpecahan antara Sunni dan Syiah bermula dari adanya ketidaksepakatan mengenai siapa yang berhak menjadi penerus Nabi Muhammad setelah wafatnya. Kelompok Sunni memilih pemimpin melalui musyawarah dan persetujuan umat, sementara kelompok Syiah meyakini bahwa kepemimpinan seharusnya hanya dari keturunan Nabi Muhammad yang pantas menjadi khalifah.
Konflik awal mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Imam Ali dan kemudian kematian tragis cucunya, Imam Husain, dalam Pertempuran Karbala pada tahun 680 Masehi. Peristiwa ini membekas dalam ingatan umat Islam Syiah sebagai lambang perlawanan terhadap ketidakadilan dan tirani.
Awal Kontroversial
Perbedaan pokok antara Sunni dan Syiah mencakup pemahaman terhadap kepemimpinan, pandangan terhadap Ali dan keturunannya, serta penekanan pada sumber otoritatif seperti hadis. Sunni lebih menitikberatkan pada koleksi hadis yang diterima secara umum, sementara Syiah mengandalkan hadis yang memberi otoritas kepada Ahlul Bayt.
Tradisi perayaan dan berkabung juga menjadi pembeda. Sunni merayakan Idul Fitri dan Idul Adha tanpa upacara berkabung khusus, sementara Syiah merayakan Ashura dengan intensitas emosional yang tinggi, mengenang peristiwa Karbala dan syahidnya Imam Husain.
Dampak dalam Dunia Islam
Perpecahan Sunni-Syiah tidak hanya memengaruhi dinamika internal umat Islam tetapi juga memberikan dampak pada tingkat nasional dan regional. Konflik-konflik politik dan sosial yang berkaitan dengan perbedaan ini dapat ditemui dalam sejarah banyak negara Muslim, termasuk Irak, Suriah, dan Lebanon.
Pentingnya pemahaman dan dialog antara Sunni dan Syiah semakin mendesak untuk mengatasi konflik-konflik yang terus berlanjut. Keterbukaan untuk saling menghormati perbedaan keyakinan dan membangun dialog yang konstruktif dapat menjadi langkah penting dalam mencapai perdamaian dan stabilitas di dunia Islam.